Sejarah dan Filosofi Bubur Suro, Hidangan Istimewa Tahun Baru Islam

bubur suro

Pecihitam.org – Bagi umat muslim khususnya masyarakat Jawa, bulan Muharram menjadi salah satu satu bulan yang dianggap sakral dan memiliki banyak makna. Bulan Muharram merupakan bulan pertama di tahun di kalender Hijriyah yang juga bertepatan dengan bulan Suro dalam kalender Jawa.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebagai Tahun Baru Islam dan juga Tahun Baru Jawa, tanggal 1 Muharram atau 1 Suro ini dinilai sebagai tanggal yang sangat penuh makna. Di Jawa sendiri, ada beragam acara untuk menyambut datangnya Tahun Baru Islam dan juga Tahun baru Jawa ini.

Acara tersebut mulai dari prosesi adat, ruwatan, melakukan tirakatan, wayangan semalam suntuk, kirab budaya dan menyajikan makanan khas Tahun Baru Islam.

Salah satu sajian istimewayang khas dalam menyambut Tahun Baru Islam adalah bubur suro atau bubur Asyura. Makanan yang berupa bubur ini terbuat dari beras, santan, garam, jahe dan batang serai.

Rasa bubur ini begitu gurih apalagi saat disajikan dengan serpihan jeruk bali, bulir delima, tujuh jenis kacang, irisan mentimun dan beberapa lembar daun kemangi di atasnya.

Baca Juga:  Menjawab Tuduhan Ustadz Zainal Abidin Lc Tentang Shalawat Bid’ah

Sejarah dan Flosofi Bubur Suro

Bubur suro dijadikan sebagai sajian istimewa menyambut Tahun Baru Islam karena memiliki makna atau filosofi mendalam. Tidak sembarangan, di dalam sepiring bubur suro ternyata terdapat doa.

Mereka yang menyantap bubur suro di Tahun Baru Islam diharapkan diberi perlindungan oleh Allah SWT. Selain itu juga sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas keselamatan, rahmat dan kebahagiaan yang telah diberikan Allah Swt selama ini.

Menurut pemerhati budaya Jawa, Arie Novan, Bubur Suro merupakan lambang rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkah dan rezeki yang diperoleh. Konon hidangan ini sudah ada sejak Sultan Agung Tirtayasa bertahta di Jawa. Terlepas dari apapun itu tentu bubur Suro ini merupakan refleksi dari masyarakat Jawa atas berkah dan rezeki yang di berikan Allah SWT kepada mereka.

Bukan hanya itu, dalam sejarah Islam ternyata Bubur suro juga dimaknai sebagai simbol untuk memeringati kemenangan Nabi Musa AS atas raja kejam Fir’aun. Bubur Suro konon juga dianggap sebagai peringatan atas kemenangan Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar melawan musuh.

Baca Juga:  Fiqih Maqashid Ibnu Taimiyah, 4 Pokok Pemikirannya

Sementara sumber lainnya lagi menyebutkan bahwa Bubur Suro dibuat untuk mengenang hari di mana Nabi Nuh As selamat setelah 40 hari mengarungi banjir besar yang melanda dunia saat itu. Hal ini seperti yang tertera pada kitab ulama klasik, di antaranya Kitab Nihayatuz Zain (Syekh Nawawi Banten), Nuzhalul Majelis (Syekh Abdul Rahman Al-Usfuri), dan Jam’ul Fawaid (Syekh Daud Fatani).

Dikisahkan saat itu Nabi Nuh bertanya kepada para sahabat masih adakah makanan yang tersisa di dalam kapal.

Kemudian sahabat menjawab “Masih ada ya Nabi”, dengan menyebutkan bahan makanan yang tersisa mulai dari kacang poi, kacang adas, ba’ruz, tepung, dan kacang hinthon. Bahan tersebut kemudian dimasak bersamaan.

Inilah cikal bakal hidangan lezat yang kini dinamakan Bubur Suro. Hidangan tersebut terbuat dari beras yang dimasak dengan aneka bumbu dan rempah tradisional seperti santan, serai, dan daun salam sehingga rasanya lebih gurih dibandingkan bubur biasanya.

Baca Juga:  Rahasia Istimewa di Balik Perintah Shalat Lima Waktu

Tak hanya dinikmati sebagai makanan untuk menyambut Tahun Baru Islam, di beberapa negara seperti Brunaidarussalam dan Malaysia, bubur suro juga disajikan sebagai menu buka puasa Asyura. Di beberapa daerah lain, bubur suro ini juga dibuat dalam jumlah banyak dan dibagikan ke masyarakat sebagai bentuk sedekah.

Demikian semoga informasi ini bermanfaat. Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik