Perkembangan Model Penafsiran Feminis dalam Studi Al Qur’an

model penafsiran feminis alquran

Pecihitam.org – Sejak abad ke-20 hingga abad ke-21, model penafsiran feminis berkembang pesat. Mayoritas penafsir feminis, baik laki-laki atau pun perempuan, mengkritik sentralitas laki-laki dalam melakukan penafsiran Alquran, mereka menekankan argumentasi bahwa bias gender penafsir hingga kini masih didominasi pria, yang sebagian besar telah membentuk paradigma pemahaman Alquran dan Islam secara umum.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Berbeda dengan feminis sekuler, sarjana feminis Muslim tidak menolak Islam itu sendiri. Sebaliknya, mereka mengacu pada Alquran dan sunah Nabi untuk mendukung klaim mereka bahwa Alquran perlu ditafsirkan kembali.

Tulisan pendek ini akan secara khusus mencoba mengkaji dan menelusuri konsep kesetaraan gender dalam Islam. Menganalisis tentang bagaimana sesungguhnya hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, apakah pandangan-pandangan ulama masa lalu masih relevan dalam memposisikan status laki-laki dan perempuan.

Dengan kata lain, tulisan ini mencoba melakukan pembacaan kontemporer terhadap konsep kesetaraan gender dalam Islam. Penulis mencoba membedah secara kritis hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam, serta dilakukan pembacaan kontemporer terhadapnya. Sehingga diharapkan mampu menghasilkan sebuah produk pemikiran baru tentang gender dalam Islam yang lebih kontekstual dan sesuai dengan dinamika zaman.

Di masa sekarang ini, isu kesetaraan gender menjadi salah satu isu terpanas dalam pemikiran Islam. Banyak mufasir kategori tekstualis menilai bahwa Alquran memberikan lebih banyak hak kepada laki-laki ketimbang perempuan. Pendekatan tekstual ini sangat bergantung pada tafsir-tafsir pra-modern mengenai beberapa teks Alquran. Meski pandangan “kesetaraan yang tidak setara” ini bisa jadi diterima pada masa pra-modern dan mungkin sejalan dengan konteks makro periode tersebut.

Baca Juga:  Empirisme David Hume dalam Melihat Negara Pancasila

Menurut Abdullah Saeed (2016), para pengusung tafsir kontekstual berpendapat bahwa konteks makro saat ini sangat berbeda dengan konteks makro pra-modern. Sehingga kini diperlukan penafsiran segar atas teks-teks Alquran yang telah digunakan pada masa pra-modern untuk menjastifikasi ketidaksetaraan kaum perempuan. Artinya, perlu upaya pembacaan baru yang lebih relevan untuk mengatasi berbagai polemik kesetaraan dan sebuah jalan yang diharapkan mampu menjembatani hubungan laki-laki dan perempuan di ranah sosial yang lebih luas.

Asma Barlas, seorang mufasir perempuan abad dua puluh satu, yang fokus pada pengujian bagaimana umat Islam menafsirkan dan menghidupkan ajaran-ajaran Alquran, telah melahirkan sejumlah karya yang menguji asal-usul tafsir Alquran yang bernuansa patriarkal. Barlas berpendapat bahwa ide-ide ketidaksetaraan dan patriarki yang digunakan untuk membaca Alquran pada dasarnya adalah untuk menjastifikasi struktur sosial yang ada.

Kemudian Barlas menelaah ulang sejumlah isu-isu ini dan menunjukkan bahwa ajaran Alquran tidak mendukung patriarki, melainkan sangat egaliter. Dia juga mengusulkan perlunya menghindari ‘maskulinitas Tuhan’, dan karena itu adalah hak setiap Muslim untuk membaca dan menafsirkan Alquran untuk mereka sendiri. Dengan kata lain, ide emansipasi dalam Islam ini tidak lahir dari perkembangan gerakan feminis di Barat, tetapi lebih pada kesadaran baru yang secara internal telah ada dalam diri umat Islam yang kajian teks Alquran.

Baca Juga:  Menghidupkan Lagi Rasa Ke-beragama-an dengan Berfikir

Lebih lanjut, menurut kelompok yang memperjuangkan kesetaraan gender dalam Islam, penafsiran terhadap Alquran disinyalir tidak terlepas dari konteks feodalisme kaum laki-laki. Dominasi laki-laki terhadap perempuan memiliki pengaruh langsung dalam menafsirkan teks-teks skriptural Islam. Dalam sebuah penafsiran, pengaruh psikis penafsir tidak dapat dihindarkan. Fatima Mernissi (1991) juga menandaskan bahwa rekonstruksi teks-teks suci telah dimanipulasi demi melanggengkan kekuasaan laki-laki dan menjadi ciri struktur kekuasaan dalam masyarakat Muslim.

Dalam pembacaan Alquran secara hermenutis, para pejuang kesetaraan memang sedari awal membedakan secara tegas antara konsep seks dan gender. Menurut mereka, seks itu bersifat given, terberi, kodrat, tidak dapat diubah, seperti perempuan memiliki rahim, menstruasi, dan lainnya. Sedangkan gender merupakan konstruksi sosial, politik dan budaya. Singkatnya, seks adalah perbedaan alamiah antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender adalah perbedaan yang tidak alamiah melalui proses sosial dan kultural yang panjang, yang cenderung mensubordinasikan dan menindas kaum perempuan.

Dalam pandangan Nasaruddin Umar (1991), gender merupakan konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari aspek sosial dan budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Sehingga permasalahan jenis kelamin tidak ada kaitannya dengan masalah gender, karena jenis kelamin bersifat alamiah. Berbeda dengan gender, yang dianggap oleh kaum feminis bersifat sosial dan budaya yang dibuat oleh manusia, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dan dari kebudayaan satu dengan kebudayaan yang lain.

Baca Juga:  Banyak Ustadz Dadakan, Salah Siapa?

Dengan demikian, pembacaan kontemporer terhadap Alquran sangatlah penting untuk dilakukan, khususnya dalam konteks pendekatan feminis. Sebab, dalam pendekatan apapun, Alquran tetap harus dibaca sesuai dengan semangat zaman, agar umat Islam mudah menemukan nilai-nilai instrumentalnya dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah dan tak akan pernah sama dengan masalah yang dihadapi oleh ulama terdahulu.

Pembacaan feminis amatlah penting karena perempuan bukanlah mesin reproduksi semata atau sebatas fotocopy yang peranannya banyak diabaikan. Kita perlu memulai cara baru dalam memposisikan perempuan yang tidak perlu lagi menggunakan kategori-kategori dikotomis, superior-inferior, atau yang kuat menguasai yang lemah, mulailah melihat dari sudut pandang hari ini bahwa laki-laki dan perempaun adalah kawan. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain, baik dalam konteks pembagian peran sosialnya secara komplementer, atau hak-hak yang harus terpenuhi antar keduanya.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *