Makrifat dalam Pandangan Para Sufi

Makrifat dalam Pandangan Para Sufi

Pecihitam.org – Secara bahasa, semua kalangan sufi sepakat bahwa makrifat berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan, ma’rifat, yang dalam lidah Indonesia disebut dengan “makrifat”, artinya pengetahuan atau pengalaman batin.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Arti ini dalam penerapannya mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena makrifat telah dipahami oleh semua sufi sebagai “pengalaman spiritual”.

Pencapaian tertinggi dalam pengalaman spiritual ini tidak dapat diukur secara pasti melalui batasan-batasan keilmuan dan pengetahuan. Dalam kondisi pencapain tertinggi ini para sufi tidak dapat menuntut para pelaku spiritual lain untuk mengikuti “gaya” berspiritual apalagi menggapai pengalaman sebagaimana dirasakan dan digapai oleh seorang sufi.

Sebagai pengetahuan tentang rahasia hakikat, makrifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat lahir, namun lebih dalam dari semua itu yaitu terhadap batin dengan mengetahui rahasia-rahasianya.

Pada titik inilah, harus diakui bahwa bagaimanapun keterbatasan manusia itu, mereka tetap merupakan makhluk yang spiritual, yang ditakdirkan oleh Allah memiliki potensi akal pikiran yang tidak dimiliki oleh yang lain, dan dengan potensi itu manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, serta mampu membuat kesimpulan bahwa hakikat itu satu dan segala yang maujud (ada) berasal dari yang satu.

Baca Juga:  Menilik Kesadaran Manusia dari Sudut Pandang Tasawuf

Dengan begitu jelaslah bahwa manusia sejatinya adalah makhluk spiritual yang memiliki pengalaman fisik, bukan makhluk fisik yang memiliki pengalaman spiritual. Sebab fisik itu dimensinya terbatas, ia lahir dan dalam usia tertentu fisik manusia tidak bisa bertahan, yang tersisa hanyalah roh dan jiwanya.

Para sufi juga beranggapan bahwa satu-satunya petunjuk Tuhan adalah Tuhan itu sendiri. Pernyataan ini dapai dilihat dari jawaban salah seorang sufi bernama al-Nuri, ia ditanya oleh salah seorang muridnya; “Apakah petunjuk kepada Tuhan itu?” al-Nuri menjawab, “Tuhan”.

Kemudian ditanya lagi, “Lalu bagaimana dengan akal?”, al-Nuri menjawab, “Akal itu lemah, dan lemah itu hanya bisa menunjuk pada yang lemah”.

Seorang tokoh sufi bernama Abu Bakar Kalabadzi pernah menulis dalam kitabnya “Al-Ta’arruf li Madzhabi Ahl Tasawwuf”, bahwa “Tuhan membuat kita mengenal diri-Nya lewat Dia sendiri dan menuntun kita kepada pengetahuan tentang diri-Nya lewat diri-Nya sendiri, sehingga menyaksian makrifat muncul dari makrifat lewat makrifat, setelah dia yang memiliki makrifat diajari tentang makrifat oleh Dia yang merupakan objek makrifat”.

Baca Juga:  Kritik Imam Al Ghazali Terhadap Filsafat Islam

Dari ungkapan ini dapat dijelaskan bahwa makrifat itu tidak ada penyebabnya, yang terjadi hanyalah Tuhan mengajari makrifat kepada ahli makrifat sehingga menjadikannya mengenal-Nya. Hukum sebab-akibat dalam sains, dengan demikian, tidak berlaku bagi pengetahuan berbasis makrifat.

Ahli makrifat mendasarkan pengetahuan bukan pada kondisi-kondisi fisik atau material, pengetahuan dalam dimensi makrifat adalah “keadaan jiwa” yang disirami pengetahuan Ilahiah secara melimpah. Seorang ahli makrifat tidak pernah terlihat pada dua kesempatan dan dalam keadaan yang sama, sebab ia merasa selalu diawasi oleh Allah.

Menurut para ahli makrifat, pengetahuan yang benar tentang Allah tidak semata-mata mengetahui bahwa Allah itu Esa, sebagaimana banyak orang mengetahuinya, baik muslim maupun non muslim.

Baca Juga:  Corak Tasawuf Imam Al Ghazali, Sang Hujjatul Islam

Pengetahuan terhadap Allah (makrifat) bukan pula pengetahuan yang bersumber dari pembuktian dan pengetahuan akal sebagaimana yang dilakukan oleh para filsuf, ahli kalam, dan ahli hukum, namun pengetahuan yang mendasarkan pada astibur “kesatuan dengan Allah” sebagaimana yang dipraktikkan hamba-hamba-Nya yang suci, yang selalu menghadirkan nama Allah dalam setiap detak jantung mereka dengan penuh khusu’, sehingga apa yang mereka ungkapkan bukan untuk sesuatu yang ada dalam dunia, tapi melampaui dunia dan seisinya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makrifat yang dipahami oleh para sufi bukanlah hasil usaha manusia, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Allah. Dengan kata lain, makrifat merupakan pemberian Allah kepada hamba-Nya yang sanggup menerimanya.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *