Perdebatan Terkait Hukum Makan Kodok Dan Kepiting Dikalangan Para Ulama’

Perdebatan Terkait Hukum Makan Kodok Dan Kepiting Dikalangan Para Ulama'

Pecihitam.org- Kodok dan kepiting merupakan dua spesies hewan yang hidup didua alam yakni di darat dan air. Kedua hewan tersebut jika dijadikan sajian makanan memang cukup menggugah selera, apalagi Sajian kepiting, baik direbus dengan saos tiram dan sebagainya, tentu amat mengundang selera.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di balik kelezatannya, sejatinya masih menimbulkan pertanyaan di sebagian umat terkait status kehalalan kepiting, apakah hukumnya sama dengan haramnya kodok, atau ada perbedaan diantara keduanya. Nah, disini akan dibahas terkait hukum makan kodok dan kepiting, dengan menggunakan analisis fatwa MUI tentang status kehalalan makan kepiting.   

Pada dasarnya, ketika kita berbicara mengenai konsumsi makanan, maka dalam hal ini Allah SWT telah menetapkan aturan-aturan yang jelas dan harus dipatuhi segenap umat. Allah Subhanahu wa ta`ala telah menghalalkan sesuatu yang baik, serta mengharamkan segala yang kotor dan buruk, sebagaimana dalam firmannya, dalam QS : Al’Araaf (7): 157 berbunyi:

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Hewan yang hidup di darat dan di air/laut seperti kodok, ular dan termasuk kepiting, maka dalam hal ini, para ulama berpendapat, hukumnya haram dengan alasan kotor dan membawa bahaya.

Baca Juga:  Ketentuan Menguburkan Jenazah serta Problematikanya dalam Islam

Syeikh Muhammad Al-Khathib Al-Syarbaini dalam kitabnya; “Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani al-Minhaj” adalah salah satu yang berpendapat demikian. Sejak lama telah muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait media hidup kepiting ini.

Ada pandangan bahwa kepiting termasuk hewan darat, ada pula pendapat menyebut kepiting merupakan hewan laut. Sebagian ulama juga menyatakan bahwa kepiting itu hidupnya di dua alam (darat dan air).

Hanya saja, para ulama zaman dahulu pada umumnya sepakat mengkategorikan kepiting sebagai makhluk yang hidup di dua alam, maka itu hukumnya haram untuk dikonsumsi. Ini sebagaimana pendapat al-Imam ar-Ramli dalam kitabnya,“Nihayah Al-Muhtaj ila Ma’rifah Al-Fadz Al-Minhaj”.

Di antara ulama mazhab, juga muncul perbedaan pandangan seputar hewan yang hidup di dua alam, semisal kodok, kura-kura, ular, buaya, anjing laut dan sejenisnya.

  1. Mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyyah berpendapat, kepiting tidak boleh dimakan sebab dianggap termasuk kategori khabaits (hewan yang kotor).
  2. Mazhab Al-Malikiyah berpendapat, memakan kodok, serangga, kura-kura dan kepiting hukumnya dibolehkan, selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas mengharamkannya. Sedangkan mengkategorikan hewan-hewan itu sebagai khabaits (kotor) tidak bisa dengan standar masing-masing individu, karena amat subjektif.
  3. Mazhab Hanabilah menyatakan semua hewan laut yang bisa hidup di darat tidak halal dimakan, kecuali dengan jalan menyembelihnya terlebih dahulu. Sebagai contohnya adalah burung air, kura-kura dan anjing laut. Kecuali itu,bila hewan itu tidak punya darah seperti kepiting, maka tidakperlu menyembelih. Kepiting sendiri boleh dimakan, karena sebagai binatang laut yang bisa hidup di darat dan kepiting tidak punya darah, sehingga tidak butuh disembelih.
Baca Juga:  Hukum Meminta Giveaway dalam Islam, Boleh atau Tidak? Berikut Uraiannya

Berabad-abad lamanya, sebagian umat memegang teguh pendapat ini. Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), muncul penemuan-penemuan yang pada akhirnya membawa kesimpulan baru terhadap hal ini. Sejumlah peneliti menyatakan bahwa:

“kepiting bukanlah termasuk binatang yang hidup di dua alam, di darat dan di air. Kepiting merupakan hewan laut atau sungai, sehingga media hidupnya adalah di air. Adapun kepiting yang ada di darat, dapat bertahan hidup karena adanya kantung air di dalam tempurungnya. Dengan demikian, kepiting pun tidak bisa berlama-lama di darat, sebab jika persediaan airnya habis, maka ia bisa mati”

Memperhatikan pendapat para ulama tentang definisi dari “binatang yang hidup di air/laut” dan “binatang yang hidup di laut dan di darat,” maka Komisi Fatwa MUI dalam rapatnya menyimpulkan bahwa kepiting adalah binatang air, bukan binatang yang hidup di dua alam (laut dan darat), sehingga hukum mengonsumsinya adalah halal berdasarkan keumuman dalil tentang binatang laut.

Jadi dapat kita fahami bahwa kepiting itu berbeda dengan kodok atau katak, kepiting merupakan hewan air, sedangkan kodok menurut para pakar kesehatan sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, katak mempunyai dua jenis, katak darat dan katak lautan (biasa di perairan). Katak darat bisa membunuh pemakannya sedangkan katak laut bisa membahayakan kesehatan pemakannya. 

Baca Juga:  Hukum Narkoba dalam Islam, Apakah Termasuk Khamr?

Para pakar kesehatan mengatakan, sesungguhnya katak ada dua jenis, daratan dan lautan. Yang daratan bisa membunuh, sedangkan yang spesies air bisa membahayakan kesehatan.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, juz 9, halaman 619).

Hukum keharaman hukum makan kodok atau katak didasarkan pada keharaman membunuh katak. nash hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman: 

Suatu ketika ada seorang tabib yang berada di dekat Rasulullah menyebutkan tentang obat-obatan. Di antaranya disebutkan bahwa katak digunakan untuk obat. Lalu Rasul melarang membunuh katak.” (HR Ahmad: 15757).

Pada hadits di atas disebutkan keharaman membunuh katak. Menurut Al-Mundziri hadits tersebut memberikan pengertian, selain membunuh, hukum makan kodok atau katak juga diharamkan. “Al-Mundziri mengatakan ‘hadits tersebut menunjukkan keharaman makan katak.” (Ali Al-Qari, Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, [Darul Fikr, Beirut, 2002], juz 7, halaman 2659).


Mochamad Ari Irawan