Perempuan PMII dan Tantangan Gerakan Revolusi 4.0

Oleh: Herwanita S.Sos.I., M.I.Kom, Pengurus LTN NU Sulsel

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam sejarah gerakan perempuan di Indonesia, baik dalam masa pos-kolonial maupun pasca kemerdekaan lahirnya sebuah wadah gerakan diilhami oleh beberapa konteks yang menyertainya, bisa karena bagian dari sejarah perlawanan maupun karena kebutuhan alat perjuangan dalam menorehkan gagasan dan gerakan perempuan.

Setiap lokus gerakan tersebut, selalu menemukan momentum dan strateginya untuk meng(ada) diantara keragaman pola relasi antara laki-laki dan perempuan, serta paham patriliner dan matrilinear yang berdiaspora dalam ragam budaya, sejarah dan politik di Indonesia.

Demikian pula dengan Korps PMII Puteri (KOPRI), sebagai bagian dari otonomi gerakan sebuah  organisasi besar mahasiswa di Pergerakan Mahasiswa Islam Indoneisa (PMII), kehadirannya tentu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam satu nafas Manhaj Al Fikr yang secara historis memiliki akar yang sama dengan lembaga dan badan otonom perempuan NU seperti Muslimat, Fatayat dan IPPNU.

Berdiri pada tahun 1967 dan telah memasuki usia emas 52 tahun dengan segala dinamika dan warna isu gerakan perempuan yang mengirinya, KOPRI sudah harus melihat kembali positioning dan garis tegasnya sebagai Kawah Candradimuka kaderisasi perempuan NU di tingkatan mahasiswa. Baik ditingkat wacana maupun praksis gerakan yang akan menjadi lokusnya di era revolusi industry 4.0

Sebagai bagian integral dari filosofi liberasi PMII, wacana pembebasan pada ketidakadilan dan ketidaksetraan yang merendahkan martabat kemanusiaan karena pola relasi antara laki-laki dan perempuan, tentu tetap akan menjadi diskursus wacana gerakan perempuan PMII dengan beberapa konteks dan isu mainstream yang menjadi lokus perjuangan gerakan perempuan hari ini. Sebut saja misalnya, isu kekerasan pada perempuan dan anak, perdagangan manusia, dan ketidakadilan akses ekonomi pada perempuan dan lain-lain. Sebagai organisasi kaderisasi dengan sasaran generasi milenial ditingkat mahasiswa, fase ini tentu akan menjadi bagian dari penyadaran struktur kognitif, pengisian kerangka pikir dan penataan muatan epistimologi bagi perempuan PMII.

Sebagai organisasi Islam, argumen teologis atas pola relasi antara laki-laki dan perempuan tentunya harus tetap dipertimbangkan bagaimana menciptakan ruang negosiasi dan interaksi yang seimbang atas martabat kemanusiaan, meletakkan teks teks agama secara netral dari bias dan hegemoni serta membangun kerangka teologis bagi kesetraan hubungan antara laki-laki dan perempuan. 

Dalam bukunya Qiraah Mubadalah, Faqihuddin menawarkan Konsep Mubadalah untuk menafsirkan teks teks agama, hukum dan relaitas sosial, perspektif ini dikembangkan untuk memposisikan baik perempuan dan laki-laki sebagai subjek yang sama dan setara dihadapan teks agama dan Konsep Kesalehan Berkeadilansebagai kritik atas konsep teori feminisme modern.

Konsep Mubadalah ini misalnya mengajarkan kita untuk memandang orang lain dan diri sendiri sebagai manusia yang sama sama terhormat sesuai dengan hadis Laa Yu’minu ahadukum hatta yuhibbu li akhihi ma yuhibba linafsihi” . Tentunya sebagai bagian dari manhaj Al Fikr Aswaja Annahdiyah dan sebagai tafaqquh fiddin, perempuan PMII perlu merespon teori feminisme global dengan melihat konsep keadilan yang bersumber pada Alquran dan Hadis untuk memberikan kritik penyeimbang teori barat terhadap ilmu keagamaan yang mengedepankan kemaslahatan umat. Keragaman dan pilihan argument teologis tersebut  memberikan ruang diskursus yang komprehenship bagi kader perempuan PMII tentang wacana gender dan feminisme serta meletakkannya dalam epistemologi pengetahuan yang tetap beradaptasi dengan lokalitas dan prinsip liberasi PMII.

Baca Juga:  Penuh Makna, Ini Nasihat Seorang Kyai Sepuh Kepada Para Santri

PMII Sebagai organisasi besar dengan sebaran kader perempuan yang hampir ada di seluruh pelosok Indonesia dengan latar sejarah, budaya dan kearifan lokalnya. Maka  adaptasi prinsip dan nilai-nilai feminisme yang beragam sebagai warisan leluhur patut digali lebih mendalam sebagai counter opinion terhadap superiornya wacana barat sebagai peletak dasar lahirnya feminisme dalam sejarah gerakan perempuan. Di Indonesia, beragam teks kuno yang membahas mengenai pengalaman perempuan Nusantara yang jika dikaji dan dilihat kembali mereka juga termasuk tokoh tokoh yang feminis. Perempuan nusantara tersebut tertulis dalam serat, babad, prasasti, sureq, lontarak, dan teks-teks kuno. Mereka tokoh tokoh perempuan di zamannya yang memiliki lompatan gerakan yang melampaui zamannya seperti Retno Kencana Colliq Pujie di Sulawesi Selatan, Datu Balanipa di Tanah Mandar, Raja Tribuana Tunggadewi dari Kerajaan Majapahit, Ratu Kalinyamat dari Jepara, Nyi Ratu Mas Gandasari dari Aceh, Ratu Sima, Ken dedes, Ratu Kilisuci dan perempuan perempuan Nusantara yang lain yang hadir dan melekat dalam ingatan kolektif dan representasi sosial masyarakat di Nusantara. Feminism is Here! Feminisme itu sudah ada di(dari) sini, bukan disana!.

Pada tahun 2012, Penulis ikut dalam satu Tim kecil dalam riset bersama Risa Permanadeli Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial Indonesia (PKRS).  Tim ini menelusuri beberapa tempat dan mengkaji representasi sosial makna I Lagaligo bagi masyarakat Sulawesi Selatan.  I Lagaligo adalah sebuah epos terpanjang di dunia yang lahir dari tanah Sulawesi Selatan. Penelitian representasi sosial ini mengambil telaah budaya dan sejarah sebagai akar epistemologinya dan  melakukan penjangkaran makna  dan bahasa pada beberapa kerangka sosial masyarakat salah satunya pada Perempuan. Dalam perjalanan penelitian, tertemukan banyak serakan makna bagaimana tingginya posisi dan peran perempuan bugis Makassar  yang meng(ada) tanpa resistensi dan teriakan feminisme yang ditemukan dalam budaya dan bahasa masyarakat Sulawesi Selatan, semuanya tetap tebal menjadi endapan budaya dan laku hidup  yang hanya perlu digali kembali dan dimunculkan sebagai sebuah pengetahuan.

Baca Juga:  Perempuan Tidak Perlu Pendidikan Tinggi? Hati-hati, Jangan Sampai Keliru!

Risa Permanadeli yang juga penulis buku “Representasi Sosial Perempuan Jawa di Era Modern (2015) dan mengembangkan teori representasi sosialnya Serge Moscovici di Indonesia mendorong bagaimana sebuah pengetahuan baru sebagai sebuah kemungkinan dalam mengeluarkan Indonesia dalam posisinya hanya sebagai annexe dari sebuah ruang besar bernama Peradaban Modern. Dalam konteks keterperangkapan dan berharap pada kekayaan pengetahuan dari luar sebagaimana yang selama ini kita anut. Tak terkecuali mungkin pada narasi dan teori gerakan perempuan dan  feminisme yang  membuat patahan sejarah dan pengetahuan. Maka satu-satunya kemungkinan menurutnya adalah membuka pintu pada kekayaan sejarah dan kebudayaan yang berasal dari tanah sendiri, sehingga Pengetahuan tentang keIndonesiaan bukan hanya memberi kemungkinan pada banyak hal, akan tetapi juga perasaan berharga sebagai orang Indonesia. 

Olehnya, kenapa adaptasi dengan lokalitas ini penting dalam cara  berpengetahuan bagi perempuan PMII, selain pada keragaman argumentasi teologi yang menjadi lokus wacana dan gerakan. Karena sebagai organisasi yang berlabel gerakan, kecenderungan berselancar dalam lautan teori dalam mencari pisau analisis atas keragaman masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, epistemologi pengetahuannya memiliki tumpuan pijakan untuk melihat kembali pada kearifan lokal dan akar masalah pada hal-hal mikro. Dimana  pada akhirnya akan bermuara pada lahirnya corak baru dan akar kultural yang lebih kuat bagi pemberdayaan perempuan di Indonesia dalam menyambut arus Revolusi Industri 4.0 .

Revolusi Industri 4.0 yang diwarnai oleh kecerdasan buatan (artifisial intelegence), Era super komputer, rekayasa genetik, inovasi dan perubahan cepat yang berdampak pada ekonomi, industri, pemerintahan dan politik. Tantangan besar bagi organisasi kader perempuan seperti Korps PMII Puteri yang lokusnya pada kaderisasi di lingkungan akademik dan perannya sebagai agen of change di masyarakat tentu perlu melakukan akselerasi pada perannya sebagai kawah candradimuka. Wadah akan lahirnya kader-kader perempuan yang memiliki pijakan epistemologi pengetahuan yang mempuni dan peningkatan Capacity Building  dalam berbagai sektor keilmuan serta Life Skill  dalam menghadapi tantangan kompetisi dan kolaborasi di Revolusi Industry 4.0

Sebagai organisasi mahasiswa perempuan, penempaan pada persiapan kader perempuan  dalam mengisi leading-leading sektor  seperti  di bidang ekonomi, industri, pemerintahan, politik dan lain-lain patut diprioritaskan dengan sistem kaderisasi fakultatif dan skill keilmuan dengan pola dan strategi milenial dalam pemetaan potensi kader. Era Digitalisasi dan gejala membanjirnya sumber informasi melalui kanal media sosial seperti youtube, instagram, Facebook  dan lain-lain harus mampu dimanfaatkan oleh kader perempuan PMII untuk melakukan Personal Branding baik pada tingkatan wacana, praksis gerakan maupun persiapan menghadapi Bonus Demografi serta menyambut pencapaian target planet 50-50 pada keterwakilan perempuan di semua sektor pada tahun 2030.

Baca Juga:  Mengenal Tipologi Pesantren ala Buya Husain Muhammad

Data Badan Pusat Statistik (BPS)  tahun 2017 mencatat hanya 30 Persen pekerja perempuan di bidang industri sains, teknologi, teknik dan matematik (STEM). Padahal STEM memiliki prospek yang menjanjikan dimasa depan.  Sebagai organisasi kader, menformulasi ulang kembali format kaderisasi fakultatif, khususnya untuk  jurusan dalam rumpun keilmuan STEM adalah sebuah keniscayaan bagaimana perempuan PMII bersiap merebut ruang-ruang strategis di masa depan.

Terakhir, sebagai Organisasi Mahasiswa Islam yang senantiasa menanamakan nilai-nilai kebangsaan dan ke-Indonesiaan,  KOPRI harus tetap menjadi lokus kaderisasi perempuan yang mampu meminimalisir tumbuhnya dan berkembangnya benih-benih paham radikalisme di dunia kampus. Deradikalisasi Paham Radikal yang menyasar mahasiswa perempuan dengan menjadi bagian dari kampanye Islam yang damai, inklusif, toleran dan rahmatal lil Alamin. Hasil Jejak Pendapat BNPT pada tahun 2017 memperlihatkan 39% mahasiswa di 15 Provinsi di Indonesia telah terpapar paham radikal, sedangkan Mata Air Foundation dan Alvara Research Center menyebut 23,5% mahasiswa di Indonesia menganggap Indonesia perlu diperjuangkan menjadi Negara Islam yang menerapkan hukum agama secara utuh. Olehnya kaderisasi berbasis preventif dalam menangkal berdiasporanya benih radikalisme di kampus melalui mahasiswi perempuan dibutuhkan untuk menjaga  bagaimana Islam yang inklusif dan pemahaman eksklusif mahasiswi  bisa diminimalisir dalam berbagai pendekatan.

Memang tak mudah, menegasikan diri sebagai bagian dari Generasi Milenial pada Revolusi Industri 4.0 dan Sebagai Organisasi gerakan yang mewarnai diskursus berpengetahuan yang berpijak pada Aswaja dan kearifan lokal yang oleh peradaban modern dianggap sebagai bagian dari konservatisme, Tapi itulah identitas, yang akan menjadi pembeda. 

Panjang umur pergerakan!, Selamat Harlah KOPRI yang ke -52 tetaplah menjadi kader perempuan yang memiliki kesadaran kritis, memiliki identitas dan citra diri sebagai kader yang berkarakter kuat. Kader yang memiliki otonomi diri dan resistensi pada arus nilai, budaya ,pengetahuan dan teknologi yang dikonstruk oleh pihak luar yang mengancam terseraknya nilai nilai pergerakan , nilai nilai keindonesiaan, nilai-nilai keislaman aswaja Annahdiyah dan kearifan lokal.

  • Penulis adalah Komisioner KPID Sulawesi Selatan dan Mantan Sekjend KOPRI PB PMII Periode 2011-2014
Redaksi