Begini Kondisi Umat Islam Masa Kolonial dan Hubungan Mereka dengan Belanda

Begini Kondisi Umat Islam Masa Kolonial dan Hubungan Mereka dengan Belanda

Pecihitam.org- Aktifitas keagamaan umat Islam Nusantara masa kolonial tetap berjalan, akan tetapi memiliki kendala-kendala tersendiri dalam proses penyebarannya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Arus kolonialisasi telah teradi sejak lama, bahkan sebelum Islam muncul, arus tersebut berasal dari India mengalir ke pulau Jawa dan pulau-pulau sekitarnya.

Setelah sebagian bangsa India memeluk Islam, maka orang-orang Islam dari India pun turut mengambil bagian dalam lalu lintas dan imigrasi ke Nusantara. Sebagaimana telah diterima oleh Bangsa Indonesia, agama Islam sebelumnya sudah mengalami proses penyesuaian diri dengan agama Hindu.

Bermula pembangunan rumah ibadah atau masjid, agama Islam masuk ke Hindia Belanda. Masjid di Hindia Belanda berfungsi sebagai pusat penyebaran dakwah agama ke seluruh kehidupan masyarakat dan memberikan bimbingan kepada segala macam pernyataan hidup masyarakat pribumi yang pada hakikatnya tunduk kepada hukum Islam.

Di pulau Jawa, kebanyakan perkara maupun sengketa diselesaikan di serambi masjid. Masjid menjadi ruang pengadilan bagi berbagai macam urusan hukum seperti hukum waris, hukum perkawinan dan lain sebagainya.

Penganut Islam terutama di Jawa senantiasa mensejajarkan syariah dan adat sebagai dua tiang tumpuan bagi kehidupan mereka. Ada pula sebagian golongan kecil dari masyarakat pribumi yang jarang mengunjungi masjid.

Baca Juga:  4 Nama Sahabat Nabi Beserta Gelarnya

Hampir kebanyakan dari mereka yang selalu mengabaikan kewajibannya untuk beribadah. Mereka yang rajin menjalankan ibadah sholat saja juga jarang pergi ke masjid.

Walaupun Islam di wilayah Hindia Belanda banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, namun pada waktu itu orang Islam di wilayah ini memandang agamanya sebagai media pengikat kuat yang membedakan dirinya dari orang lain.

Masalah sinkretisme agama Islam, terutama di kalangan suku Jawa, memang banyak disoroti oleh banyak orang. Islam di Hindia Belanda, juga mengalami permasalahan dengan berbagai peraturan adat.

Pertentangan yang sangat mencolok salah satunya adalah mengenai adat di Minangkabau antara adat dan Islam tidak terdapat korelasi yang baik. Di satu pihak adat memperbolehkan untuk melakukan sabung ayam, berjudi dan minum-minuman keras, namun di pihak lain Islam sangat menentang kegiatan-kegiatan seperti itu.

Di Jawa juga terdapat pertentangan sistem adat dengan Islam, namun tidak menonjol seperti halnya di Minangkabau. Di dalam masyarakat Jawa dikenal dengan penggolongan antara abangan dan putihan.

Baca Juga:  Kisah Nabi Musa Telanjang Berlarian Mengejar Batu

Melihat fakta-fakta sejarah, hubungan Umat Islam masa kolonial dengan Bangsa Belanda tentu tidak harmonis, meskipun sebagian dari kaum bangsawan masih berada di bawah kekuasaan Belanda.

Aneka perlawanan terhadap pemerintah Belanda seperti Perang Paderi (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903) sudah dapat membuktikan bahwa kedua bangsa tersebut pernah berselisih. Hal ini terjadi disebabkan orang Belanda datang untuk menjajah dan mengambil kekayaan Nusantara.

Sejak awal Bangsa Barat datang untuk mencari dan menguasai sumber rempah-rempah Hal ini tentu mengganggu stabilitas bangsa Melayu sebagai pedagang. Apalagi melalui VOC, Bangsa Belanda datang untuk memonopoli perdagangan. Tentunya Hal ini tidak bisa diterima oleh bangsa pribumi.

Selain itu, Belanda terlalu jauh mencampuri urusan keagamaan, meskipun di sisi lain pemerintah Kolonial Belanda memberikan kebebasan tentang hal keagamaan. Kolonial Belanda menganggap bahwa Umat Islam yang berangkat haji memiliki potensi untuk memberontak sehingga mereka selalu dimata-matai.

Akhirnya perang pun terjadi karena Umat Islam fanatik tidak bisa menerima perlakuan Bangsa Belanda. Bahkan ulama pun ikut berperang melawan Belanda. Setelah itu, gerak-gerik ulama pun diperhatikan oleh Bangsa Belanda.

Baca Juga:  Masjid Agung Jawa Tengah, Tempat Ibadah Sekaligus Wisata Religi di Semarang

Bahkan ulama menganggap bahwa bangsa pribumi yang berlindung di bawah kekuasaan Belanda adalah kafir dan harus disyahadatkan kembali. Hal tersebut terjadi akibat dari saling kecurigaan antara kaum pribumi dengan Bangsa Belanda sebagai bangsa asing yang menjajah Nusantara dan mempekerjakan bangsa pribumi dengan paksa dan upah yang sedikit.

Tentu sudah jelas dengan melihat perlakuan Bangsa Belanda terhadap bangsa pribumi, bahwa hubungan mereka tidak harmonis. Dan akhirnya peperangan pun terjadi sebab bangsa pribumi memberontak atas perlakuan yang mereka terima.

Mochamad Ari Irawan