Bagaimana Hukum Makan Daging Buaya? Begini Penjelasan Para Ulama dalam Kitab-Kitab Klasik

Bagaimana Hukum Makan Daging Buaya? Begini Penjelasan Para Ulama dalam Kitab-Kitab Klasik

Pecihitam.org – Salah satu jenis makanan yang cukup langka saat ini yang hanya dapat ditemui di tempat-tempat tertentu adalah masakan daging buaya. Mereka rela merogoh kocek yang tinggi hanya untuk membeli makanan yang unik dan yang belum pernah mereka makan. Lantas bagaimana Hukum Makan Daging Buaya tersebut?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Mengingat tingkat ketertarikan masyarakat sekarang ini terhadap berbagi macam kuliner semakin meningkat. Mereka yang tak berlandasan iman yang kuat, tak pandang bulu akan apa yang dimakannya, entah itu halal atau haram mereka makan dengan lahapnya.

Sebelum membahas hukum makan daging buaya kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa buaya itu sendiri. Buaya adalah reptil bertubuh besar yang hidup di air. Secara ilmiah buaya (Crocodylidae) meliputi seluruh spesies buaya, termasuk buaya ikan (Tomistoma schlegelii).

Meski demikian, nama istilah “buaya‟ dapat pula dikenakan secara longgar untuk menyebut buaya alligator, kaiman, dan gavial, kerabat buaya berlainan suku.

Buaya umumnya hidup di perairan air tawar, seperti sungai, danau, rawa dan lahan basah lainnya, namun, adapula yang hidup di air payau seperti buaya muara. Makanan utama buaya adalah hewan-hewan yang bertulang belakang seperti bangsa ikan, reptil dan mamalia.

Tak seperti lazimnya reptil, buaya memiliki jantung beruang empat, sekat rongga badan (diafragama). Bentuk tubuhnya sangat memungkinkan berenang cepat. Buaya dapat melipat kakinya kebelakang. Jari-jari kaki belakangnya berselaput renang, yang member keuntungan kala buaya perlu bergerak atau berjalan di air dangkal.

Baca Juga:  Upaya Ulama dalam Hal Reaktualisasi Teori Hukuman pada Hukum Pidana Islam

Populasi buaya terus menurun sehingga perlu dilindungi. Spesies buaya yang hampir punah, yaitu buaya Orinoco, buaya Filipina, buaya Cuban, dan buaya Siam.

Dalam menjelaskan status halal-haramnya daging buaya ini, Ibnu Ruslan menjelaskan dalam nadzamnya: “Hewan yang memiliki kuku (cakar) dan gigi taring yang kuat, haram (dikonsumsi) seperti buaya dan hewan jakal (anjing hutan berbulu kuning),” (Ibnu Ruslan, Matan az-Zubad, hal. 43).

Berdasarkan referensi di atas dapat dipahami bahwa mengonsumsi daging buaya adalah haram dengan alasan berupa adanya gigi taring yang kuat dalam sosok hewan tersebut. Sebab segala hewan yang memiliki taring yang kuat maka dihukumi haram untuk dikonsumsi.

Namun demikian, alasan keharaman buaya rupanya masih menjadi perdebatan di antara ulama. Sebab jika alasan keharamannya adalah wujudnya gigi yang bertaring kuat dalam hewan tersebut maka mestinya ikan hiu juga tergolong hewan yang haram untuk dikonsumsi.

Padahal sangat jelas sekali bahwa hewan hiu tergolong sebagai ikan laut yang halal untuk dikonsumsi. Maka tak heran jika Imam ar-Rafi’i memiliki alasan lain dalam keharaman buaya, yakni dikarenakan hewan tersebut tergolong sebagai hewan yang menjijikkan dan membahayakan untuk dikonsumsi. Hal ini seperti dijelaskan dalam lanjutan referensi di kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra di atas:

Baca Juga:  Berfatwa dalam Islam Bukan Dilihat Dari Banyaknya Followers Loh! Lalu Siapakah yang Berwenang?

Hukum mengonsumsi buaya adalah haram, karena ia memperkuat diri dengan taringnya, alasan ini merupakan yang disampaikan oleh sebagian ashab (pengikut Imam Syafi’i). Syekh Muhibbuddin at-Thabari berkata dalam kitab Syarh at-Tanbih: hiu adalah hewan yang halal (untuk dikonsumsi). Lalu beliau berkata: jika engkau bertanya ‘Bukankah hiu termasuk hewan yang mendapatkan kekuatan dari taringnya? Berarti ia seperti buaya, padahal menurut pendapat yang shahih buaya adalah haram’ maka aku akan menjawab: ‘Aku tidak menerima kesimpulan bahwa hewan yang menjadi kuat dengan taringnya dari hewan laut adalah haram, sebab haramnya buaya karena dianggap menjijikkan dan membahayakan, seperti halnya alasan yang diungkapkan Imam ar-Rafi’i dalam kitab as-Syarh  al-Wajiz,” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz 1, hal. 237).

Sedangkan Imam Ibnu Hajar memiliki alasan lain mengenai keharaman hewan buaya ini, yakni karena hewan buaya dianggap mampu untuk hidup di dua alam. Sedangkan hewan yang mampu hidup di dua alam adalah hewan yang haram untuk dimakan. Dalam kitabnya beliau menjelaskan: 

Termasuk dari bagian ikan laut (yang halal) adalah ikan hiu. Gigi taring yang dimiliki hiu tidak dipertimbangkan (untuk dijadikan alasan keharamannya). Ulama yang memandang keharaman buaya dari aspek tersebut, sungguh ia telah teledor, sebab alasan yang benar tentang keharaman hewan tersebut adalah kemampuannya untuk hidup di daratan” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 14, hal. 212).

Baca Juga:  Bagaimana Hukum dan Keistimewaan Puasa di Awal Bulan Dzulhijjah?

Maka dapat disimpulkan bahwa hukum makan daging buaya adalah haram menurut pandangan Islam dan mayoritas para ulama. Perbuatan tersebut juga melanggar aturan negara yakni melindungi populasi hewan.

Apabila pemburuan buaya terus dilakukan yang hanya untuk diambil kulit dan dagingya untuk dikonsumsi, maka populasi buaya yang ada akan menurun dan lama kelamaan akan punah. Maka kita sebagai manusia yang baik harus terus menjaga populasi hewan-hewan yang ada di bumi.    


Mochamad Ari Irawan