Bagaimana Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif yang Masih Diragukan Sanadnya?

Bagaimana Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif yang Sudah Jelas Tidak Bisa Dipertanggungjawabkan Sanadnya?

Pecihitam.org- Dalam klasifikasi terkait Tingkatan Hadits, terdapat satu tingkatan paling lemah di antara berbagai macam hadits itu, yakni Hadits Dhaif. Tentang Hadits ini, sebagian kalangan menolak untuk mengamalkan Hadits Dhaif tersebut.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Rasulullah SAW. Lantas sebenarnya yang disebut Hadits Dha’if itu apa? Bolehkan kita mengamalkan Hadits Dha’if?

Adapun pembagian hadis secara umum terbagi menjadi 3 bagian:

Pertama, Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang mempunyai sanad yang bersambung sampai ke Rasulullah SAW orang yang punya daya ingatan yang kuat, serta orang yang adil,  serta tidak menyalahi aturan umum. Berdasarkan kesepakatan Para ulama bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah aqidah, hukum, dan lain sebagainya.

Kedua, Hadits Hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits Shahih, Sebagaimana Hadits Shahih, Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil.

Ketiga, Hadits Dha’if, yakni hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits. Dalam Hadits Dha’if itu sendiri ada dua macam pembagian:

  1. Hadits Hasan li Ghairih yang artinya terdapat riwayat lain yang bisa menghilangkan dari ke-dha’if-annya. Hadis macam ini bisa diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i.
  2. Hadits yang tidak ada riwayat lain yang menguatkannya atau tetap dalam ke-dha’if-annya. Para ulama mengatakan bahwa Hadits yang kedua ini hanya dapat diberlakukan dalam fada’ilul a’mal, yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, hukum atau tafsir, seperti tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allah SWT).
Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 174 – Kitab Wudhu

Kebolehan mengamalkan Hadits Dhaif jika berkaitan dengan fadha’ilul a’mal ini, bahkan terjadi ijma’ disebagian ulama yang mengatakan bahwa boleh menggunakan hadis Dhaif ini sebagai fada’ilul a’mal. Berbeda jika dalam masalah akidah, hukum, serta tafsir ayat Al-Qur’ an maka tidak dapat dijadikan pedoman apa yang termaktub dalam hadits tersebut.

Dalam kitabnya Majmu’ Fatawi wa Rasa’il karangan Sayyid ‘Alawi al-Maliki, beliau mengatakan bahwa: ” Hadits Dha’if dapat dijadikan pedoman dalam masalah fadha’il al-a’mal berdasarkan kesepakatan Para ulama ahli Hadits dan ulama lainnya. Beberapa ulama yang membolehkannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, Sufyan, al-Anbari serta ulama lainnya.

Bahkan Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadfts) menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan Hadfts tentang fadha’il al-a’mal, maka kami melonggarkannya”. (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 251)

Baca Juga:  Macam-macam Kitab Arbain dan Keistimewaan Kitab Hadis Arbain Nawawi

Namun begitu, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat.

  • Bukan hadits yang sangat dha’if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.
  • Masih berada di kaidah-­kaidah yang universal serta di bawah naungan ketentuan umum. Maksudnya dalah, hadits tersebut tidak berlawanan dengan kaidah-kaidah agama, serta tidak sampai mengharamkan yang halal  atau menghalalkan yang haram.
  • Dalam masalah agama, tidak ada keyakinan bahwa perbuatan yang dilakukan atas dasar Hadits Dha’if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath atau berhati-hati.

Maka, dapat kita simpulkan bahwa, kita tidak serta merta menolak adanya Hadits Dha’if tersebut. Sebab dengan syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, kita masih diperkenankan mengamalkannya dalam hal-hal tertentu.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 498-499 – Kitab Waktu-waktu Shalat
Mochamad Ari Irawan