Hadits Shahih Al-Bukhari No. 42 – Kitab Iman

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 42 – Kitab Iman ini, menjelaskan tentang bertambah dan berkurangnya iman. Orang yang tingkat keilmuannya rendah, maka tingkat keyakinannya sebesar biji dzarrah. Sedangkan orang yang tingkat keilmuannya lebih tinggi, maka tingkat keyakinannya sebesar biji burrah atau sya’ir. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Iman. Halaman 187-190.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ أَبَانُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا أَنَسٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِيمَانٍ مَكَانَ مِنْ خَيْرٍ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muslim bin Ibrahim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hisyam] berkata, telah menceritakan kepada kami [Qotadah] dari [Anas] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada Ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar jemawut. Dan akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar biji gandum. Dan akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar biji sawi.

Abu Abdullah berkata; [Aban] berkata; Telah menceritakan kepada kami [Qotadah] Telah menceritakan kepada kami [Anas] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda. Dan kata iman di dalam hadits ini diganti dengan kata kebaikan.

Keterangan Hadis: Allah SWT berfirman, “Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk,” (Qs. AlKahfi(lS): 13) dan firman-Nya, ‘Dan supaya orangorang yang beriman bertambah imannya. “ Firman-Nya pula, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, “(Qs. Al Maa’idah (5):3) “Apabila seseorang melakukan sesuatu secara tidak sempurna, maka berarti imannya telah berkurang. “

Dalam bab ke-16 sebelum bab ini telah dijelaskan tentang tingkatan amal orang-orang yang beriman (Ahlul Iman), dimana dalam bab tersebut disebutkan sebuah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri yang memiliki kesamaan makna dengan hadits Anas yang kita sebutkan dalam bab ini, sehingga ada yang berasumsi bahwa hal itu merupakan bentuk pengulangan.

Pernyataan ini tidak benar, karena bertambah atau berkurangnya iman seseorang dapat dilihat dari aspek perbuatan maupun keyakinan; kedua aspek ini masing-masing dapat dijadikan sebagai judul bab.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 181 – Kitab Wudhu

Dalam hal ini, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id dipaparkan dalam pembahasan tentang aspek perbuatan, karena hadits tersebut sama sekali tidak mengindikasikan adanya perbedaan tingkat keimanan manusia. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas menjelaskan tentang adanya perbedaan tingkat keimanan manusia tersebut, yaitu antara tingkatan sya ‘irah, burrah dan dzarrah.

Ibnu Baththal berkata, “Perbedaan tingkat keyakinan manusia disebabkan karena perbedaan tingkat keilmuan dan kebodohan seseorang. Orang yang tingkat keilmuannya rendah, maka tingkat keyakinannya sebesar biji dzarrah. Sedangkan orang yang tingkat keilmuannya lebih tinggi, maka tingkat keyakinannya sebesar biji burrah atau sya’ir. Meskipun demikian, dasar keyakinan yang terdapat dalam hati setiap orang tidak boleh berkurang, melainkan harus bertambah dengan bertambahnya ilmu.

Pada awal pembahasan tentang iman, telah dijelaskan tentang perkataan Imam Nawawi yang mengindikasikan hal tersebut. Adapun maksud dari ayat di atas adalah seperti yang diisyaratkan oleh Imam Bukhari mengenai hadits Sufyan bin Uyainah, yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Amru bin Utsman Ar-Raqi bahwa ia berkata, “Ada orang yang berkata kepada Ibnu Uyainah bahwa iman hanya terbatas pada ucapan saja.”

Kemudian Ibnu Uyainah pun menjawab, “Hal itu sebelum disyariatkannya hukum. Pada saat itu, Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk mengucapkan La Ilaha Illallah. Apabila mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka dilindungi. Ketika Allah mengetahui keyakinan mereka, maka Dia memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan shalat dan mereka pun mematuhinya. Adapun jika mereka tidak mematuhinya, maka ikrar kalimat La Ilaha Illallah itu tidak berguna.”

Kemudian Ibnu Uyainah menyebutkan rukun Islam yang lain dan berkata, “Setelah Allah mengetahui bahwa mereka menerima dan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, maka Allah pun berfirman, “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu.” (Qs. Al-Maaidah (5): 3) Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak melaksanakan salah satu dari kewajiban tersebut karena malas atau sengaja, maka kita harus memperingatkannya dan ia termasuk orang yang tidak sempurna imannya. Sedangkan orang yang tidak melaksanakannya karena membangkang, maka ia termasuk orang kafir.”

Kemudian dalam pembahasan tentang Iman, Abu Ubaid menjelaskan bahwa sebagian orang yang membangkang mengatakan bahwa iman tidaklah sama dengan agama, karena agama terdiri dari tiga bagian; yaitu iman, dan dua bagian lainnya adalah perbuatan.Perbuatan itu sendiri terdiri dari hal-hal yang wajib dan sunah.

Dalam hal ini Abu Ubaid membantah pernyataan tersebut, karena bertentangan dengan Al Qur’an sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” (Qs. Ali Imraan (3): 19) Hai ini disebabkan karena kata “Islam” jika disebutkan secara terpisah maka mengandung pengertian iman, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 182 – Kitab Wudhu

Jika ada pertanyaan, “Mengapa dalam bab ini disebutkan lagi dua ayat yang telah disebutkan dalam awal pembahasan tentang iman?” Maka jawabannya adalah, bahwa Imam Bukhari menyebutkan lagi kedua ayat tersebut dengan maksud agar makna kamal (kesempurnaan) dalam ayat ketiga dapat dipahami, karena kedua ayat tersebut mengindikasikan makna ziyadah (penambahan) dan sudah pasti juga menunjukkan makna naqshun (pengurangan).

Sedangkan kata kamal (kesempurnaan) tidak menunjukkan makna ziyadah, tetapi hanya menunjukkan makna naqshun. Akan tetapi karena kamal mengandung makna naqshun, maka kata kamal juga mengandung makna ziyadah.

Oleh karena itu Imam Bukhari berkata, “Apabila seseorang melakukan sesuatu secara tidak sempurna, maka berarti imannya telah berkurang.” Dari sini beliau menggunakan ungkapan قال الله  (Allah berfirman) sebelum menyebutkan ayat ketiga, sedangkan dalam menyebutkan dua ayat sebelumnya beliau menggunakan ungkapan قول الله  (firman Allah).

Hal ini dapat membantah pendapat yang mengatakan bahwa ayat “Kusempurnakan untukmu agamamu” tidak dapat dijadikan dalil bagi pernyataan Imam Bukhari yang terdapat dalam judul bab, karena kata ikmal (menyempurnakan) jika maksudnya adalah kemenangan kaum muslimin atas para pembangkang atau kaum musyrikin, maka ayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil bagi Imam Bukhari. Jika maksudnya adalah kesempurnaan dalam melaksanakan kewajiban, maka berarti sebelum turunnya ayat itu seseorang masih dalam kekurangan, sehingga para sahabat yang meninggal sebelum turunnya ayat tersebut berarti imannya tidak sempurna. Padahal kenyataannya tidak demikian, karena iman mereka masih tetap sempurna.

Mengenai hal ini, Al Qadhi Abu Bakar bin Al Arabi menjelaskan, bahwa kekurangan dalam agama adalah relatif, yaitu ada yang dapat menyebabkan dosa dan ada yang tidak. Yang dapat menyebabkan dosa adalah kekurangan yang dilakukan dengan sengaja seperti orang yang mengetahui kewajiban agama, akan tetapi ia meninggalkannya secara sengaja. Sedangkan yang tidak menyebabkan dosa adalah kekurangan yang tidak sengaja, seperti orang yang tidak mengetahui kewajiban agama atau belum dikenakan kewajiban.

Yang terakhir ini tidak dicela, bahkan dipuji karena jika diberitahu maka dia akan menerima dan mengerjakan. Inilah kondisi para sahabat yang meninggal sebelum turunnya ayat ini.

Kesimpulannya, kekurangan bagi mereka hanya bersifat formal atau imajinasi relatif Adapun dari segi makna, mereka memiliki tingkat kesempurnaan. Ini adalah rujukan bagi yang berpendapat bahwa syariat Muhammad lebih sempurna dari syariat Musa dan Isa, karena mencakup hukum yang tidak terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya. Dengan ini maka syariat Musa pada masanya telah sempurna kemudian direvisi pada syariat Isa, oleh karena itu kesempurnaan adalah perkara yang relatif sebagaimana yang diterangkan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 142 – Kitab Wudhu

مَنْ قَالَ لَا إِلَه إِلَّا اللَّه (Orang yang mengucapkan La Ilaha Illallah). Kalimat ini mengisyaratkan, bahwa mengucapkan La Ilaha Illallah merupakan syarat iman. Dapat juga dipahami bahwa kata “Qaul” (perkataan) maksudnya adalah Qaul An-Nafsi (perkataan jiwa), sehingga maksud kalimat tersebut adalah “Barangsiapa yang mengikrarkan tauhid dan meyakininya…”. Dengan demikian mengikrarkan tauhid merupakan kewajiban, sehingga kalimat tersebut diulang-ulang dalam hadits ini.

Jika ada pertanyaan, “Mengapa risalah tidak disebutkan dalam hadits ini?” Maka jawabannya adalah, karena kalimat tersebut telah mencakup keseluruhan dan dapat mewakili yang lain; seperti halnya jika seseorang berkata “Saya membaca Qul Huwallahu Ahad”, maka maksudnya adalah membaca surah Al Ikhlas seluruhnya.

بُرَّة (Sebesar biji gandum), maksudnya adalah gandum. Dari hadits ini dapat disimpulkan, bahwa berat burrah lebih ringan daripada berat sya ‘ir karena Rasulullah SAW menyebutkan sya ‘ir, kemudian burrah dan terakhir dzarrah.

Jika ada yang berpendapat bahwa konteks hadits tersebut menggunakan huruf “waw” yang tidak menunjukkan urutan, maka jawabannya adalah; bahwa dalam riwayat Muslim menggunakan kata tsumma (kemudian) yang mengindikasikan arti urutan.

ذَرَّة (Sebesar dzarrah). Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang arti kata dzarrah. Ada yang berpendapat bahwa dzarrah berarti sesuatu yang paling ringan timbangannya, dan ada pula yang berpendapat bahwa artinya adalah debu yang terlihat dalam sinar mentari seperti ujung jarum. Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa artinya adalah semut kecil.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, “jika engkau meletakkan kedua tanganmu di atas debu kemudian menepuknepukkannya, maka yang terjatuh itu dinamakan dzarrah.”” Kemudian ada juga yang berpendapat bahwa berat empat dzarrah sama dengan satu khardalah (biji sawi).

Pada akhir pembahasan tentang tauhid, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Humaid dari Anas bahwa Nabi bersabda, “Akan dimasukkan ke surga orang yang dalam hatinya terdapat (iman) sebiji sawi (khardalah) kemudian yang dalam hatinya terdapat yang lebih kecil dari itu”, dan inilah arti dari dzarrrah.

M Resky S