Hadits Shahih Al-Bukhari No. 576 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 576 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Apa Yang Diucapkan Saat Mendengar Adzan” Hadis ini menjelaskan apa saja yang diucapkan ketika seseorang mendengar adzan dikumandangkan oleh Muadzin. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 39-46.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Ibnu Syihab] dari [‘Atha bin Yazid Al Laitsi] dari [Abu Sa’id Al Khudri], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti apa yang diucapkan mu’adzin.”

Keterangan Hadis: Lafazh judul bab di atas adalah lafazh riwayat yang dinukil oleh Abu Daud Ath-Thayalisi dari Ibnu Al Mubarak, dari Yunus, dari Az­Zuhri sehubungan dengan hadits bab ini.

Imam Bukhari lebih memilih untuk tidak menetapkan hukum masalah ini karena kuatnya perbedaan pendapat dalam hal ini seperti yang akan diterangkan. Namun yang nampak dari sikapnya adalah mendukung pendapat jumhur ulama, yaitu mengucapkan sebagaimana yang diucapkan oleh muadzdzin kecuali “hai ‘alatain حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ karena hadits Abu Sa’id yang pertama disebutkan di bab ini bersifat umum, sedangkan hadits Muawiyah yang disebutkan sesudahnya bersifat khusus. Sementara dalam kaidah dikatakan bahwa nash yang bersifat khusus harus didahulukan daripada nash yang bersifat umum.

إِذَا سَمِعْتُمْ (apabila kalian mendengar) secara lahiriah keharusan untuk mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh orang yang mengumandangkan adzan adalah hanya bagi mereka yang mendengarnya, sehingga apabila seseorang melihat muadzdzin di atas menara ketika masuk waktu shalat, dan ia mengetahui bahwa muadzdzin sedang mengumandangkan adzan namun tidak mendengar suaranya, baik karena tuli atau karena jarak yang sangat jauh, maka ia tidak disyari’atkan untuk mengikuti ucapan muadzdzin (menjawab adzan). Demikian pernyataan Imam An-Nawawi dalam kitabnya Syarh Al Muhadzdzab.

فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُول الْمُؤَذِّنُ (maka katakanlah sama seperti yang dikatakan oleh muadzdzin) Ibnu Wadhdhah mengklaim bahwa lafazh “muadzdzin” dalam hadits ini termasuk lafazh ‘mudraj’[1] dan bahwasanya hadits tersebut berhenti sampai, فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُول (seperti apa yang ia katakan). Namun pandangan ini dapat disangkal, dimana pemyataan bahwa suatu lafazh termasuk mudraj tidak dapat hanya berdasarkan klaim tanpa bukti yang kuat, sementara riwayat-riwayat dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta Al Muwaththa’ mencantumkan lafazh “Muadzdzin”. Adapun tindakan penulis kitab Al ‘Umdah yang tidak mencantumkan lafazh tersebut dinilai tidak tepat.

مَا يَقُول (apa yang dikatakannya). Al Karmani berkata, “Lafazh yang dipakai adalah bentuk mudhari‘ (present/kata kerja bentuk sekarang)” dan tidak menggunakan bentuk madhi (lampau) مَا قَالَ Hal itu sebagai isyarat bahwa jawaban orang yang mendengar adzan diucapkan setiap muadzdzin selesai mengucapkan satu kalimat.”

Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa pernyataan tegas mengenai hal ini sebagaimana riwayat Imam An-Nasa’i dari hadits Ummu Habibah yang menyebutkan, أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُول كَمَا يَقُول الْمُؤَذِّنُ حَتَّى يَسْكُتَ (beliau SAW mengucapkan sama seperti yang dikatakan oleh muadzdzin hingga ia berhenti).”

Adapun Abu Al Fath Al Ya’mari mengatakan bahwa makna lahiriah hadits tersebut adalah Nabi SAW mengucapkan seperti apa yang diucapkan muadzdzin setelah selesai. Akan tetapi hadits-hadits yang menyatakan bahwa jawaban adzan diucapkan setiap selesai satu kalimat menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah menjawab setiap kalimat setiap kali selesai diucapkan oleh muadzdzin.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 192-193 – Kitab Wudhu

Beliau hendak mengisyaratkan dengan perkataannya ini pada hadits Umar bin Al Khaththab yang dikutip oleh Imam Muslim dan lainnya. Apabila seseorang tidak menjawab adzan hingga selesai, maka ia boleh menjawahnya dengan segera selama jarak waktu belum terlalu lama Hal ini dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh Al Muhadzdzab sebagai masalah yang membutuhkan penelitian. Para ulama telah mengatakan hal serupa jika seseorang terhalang menjawab adzan, seperti sedang melakukan shalat.

Secara lahiriah lafazh مِثْلَ (seperti) menunjukkan bahwa jawaban adzan sama persis seperti yang diucapkan oleh muadzdzin dalam semua kalimat. Tetapi hadits Umar dan hadits Muawiyah (yang akan disebutkan) mengecualikan lafazh (حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ) dan ((حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ dimana jawaban keduanya adalah لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاَللَّهِ (tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah semata ). Inilah yang dijadikan dalil oleh Ibnu Khuzaimah, yang juga merupakan pandangan jumhur ulama. Namun Ibnu Al Manayyar berkata, “Ada kemungkinan hal itu termasuk perbedaan yang diperbolehkan, sehingga bisa saja suatu saat mengucapkan seperti di atas dan pada kali yang lain mengucapkan seperti apa yang dikatakan oleh muadzdzin.”

Sementara sebagian ulama muta’akhirin menukil dari sebagian ahli ushul, bahwa apabila lafazh yang bersifat khusus dapat dikompromikan dengan lafazh yang bersifat umum, maka indikasi keduanya wajib diamalkan. Lalu mereka (sebagian ulama muta’akhirin) menegaskan, “Jika demikian mengapa tidak dikatakan disukainya bagi yang mendengar untuk mengucapkan (حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ) atau ((حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ dan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاَللَّهِ sekaligus.” Tapi pendapat ini kembali dijawab dengan mengatakan bahwa yang masyhur dari segi makna bahwasanya lafazh-lafazh adzan selain “hai ‘alah ” antara muadzdzin dan pendengar mendapat pahala yang sama. Adapun “hai’alah” maksudnya adalah panggilan untuk shalat, dan yang demikian itu khusus bagi muadzdzin. Maka pendengar yang tidak mendapatkan pahala “hai ‘alah” diberi ganti dengan pahala “hauqalah “. Namun mereka yang tidak sependapat bisa saja mengatakan, “Orang yang menjawab mendapatkan pahala mengucapkan ‘hai ‘alah’ dilihat dari ketaataannya terhadap perintah. Sehingga mungkin kesadarannya semakin bertambah serta semakin bergegas untuk menegakkan shalat bila kalimat panggilan itu terulang-­ulang dalam pendengarannya, pertama ia dengar dari muadzdzin dan kedua ia dengar dari dirinya sendiri.” Persoalan ini mirip dengan perselisihan mengenai perkataan makmum, ‘Sami’allahu liman hamidah’ seperti yang akan dijelaskan.

Ath-Thaibi berkata, “Makna hai’alah adalah ‘Marilah menghadap sesama lahir dan batin kepada petunjuk yang ada di hadapan mata serta keberuntungan dan kenikmatan yang akan datang.” Maka sangat sesuai bila orang yang mendengar mengatakan, ‘Ini adalah perkara besar, aku tidak mampu melakukannya melihat kelemahan yang ada pada diriku, kecuali apabila Allah memberi taufik kepadaku dengan daya dan upaya-Nya’ .”

Keterangan seperti itu sangat sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Ibnu Juraij, dia berkata, “Telah diceritakan kepadaku bahwa manusia diam saat adzan, sebagaimana mereka diam saat mendengar bacaan Al Qur’an. Mereka tidak mengatakan apa-apa kecuali mengucapkan seperti apa yang dikatakan oleh muadzdzin. Hingga apabila muadzdzin mengucapkan (حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ) mereka mengatakan, لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاَللَّهِ dan apabila muadzdzin mengucapkan, ((حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ mereka mengatakan, مَا شَاءَ اللَّه (apa yang dikehendai Allah).”

Jawaban seperti hadits ini menjadi pendapat sebagian madzhab Hanafi. Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Utsman seperti itu. Lain diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, dia berkata, “Jawaban bagi hai’alah adalah, سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا (kami dengar dan kami taat). Di samping itu masih terdapat pandangan-pandangan lainnya, dimana sebagian berpendapat tidak ada jawaban bagi muadzdzin kecuali saat ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Ada pula yang mengatakan seperti itu dan takbir. Yang lain mengatakan ditambah dengan ucapan ‘hauqalah ‘ tanpa ucapan yang akhir. Sebagian lagi mengatakan, bahwa mengungkapkan kalimat yang berindikasi tauhid dan keikhlasan sudah mencukupi, dan inilah pendapat yang dipilih Ath­Thahawi.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 583-585 – Kitab Adzan

Kemudian para ulama menukil pula perbedaan pendapat yang lain seperti; apakah ada jawaban apabila muadzdzin melakukan tarji,[2] dan apabila seseorang mendengar suara muadzdzin yang lain maka apakah ia hams menjawabnya atau tidak setelah ia menjawab adzan yang pertama. An-Nawawi berkata, “Saya tidak melihat pembahasan mengenai hal ini di kalangan ulama madzhab kami.” Sementara Ibnu Abdussalam berkata, “Hendaknya setiap adzan itu dijawab. Namun jawaban adzan pertama adalah lebih utama, kecuali pada adzan Shubuh dan Jum’at, dimana kedudukan kedua adzan pada waktu-­waktu tersebut adalah sama karena keduanya telah disyariatkan.”

Pada hadits ini terdapat dalil bahwa lafazh مِثْلَ (seperti) tidak mengharuskan persamaan dari segala segi, karena kalimat “Sama seperti apa yang ia (muadzdzin) ucapkan” tidak berarti mengeraskan suara sebagaimana halnya muadzdzin. Demikian yang dikatakan dalam salah satu pendapat. Namun pada hakikatnya masalah ini perlu dibahas lebih mendalam, sebab maksud “persamaan” pada hadits ini adalah dalam ucapan bukan sifat ucapan itu. Adapun perbedaan antara muadzdzin dengan orang yang mendengar dalam hal ini adalah bahwa maksud muadzdzin adalah menyeru atau memberitahukan sehingga membutuhkan suara yang keras, sedangkan maksud orang yang mendengar adalah dzikir sehingga cukup dengan suara perlahan atau sedikit keras (tidak terlalu keras seperti muadzdzin). Namun tidak cukup bila hanya diucapkan dalam hati tanpa melafazhkan dengan lisan berdasarkan makna lahiriah hadits yang memerintahkan untuk mengatakannya (dengan lisan).

Ibnu Al Manayyar mengemukakan pendapat yang ganjil, dimana ia mengatakan bahwa hakikat adzan adalah apa yang berasal dari muadzdzin; baik perkataan, perbuatan maupun penampilan. Pendapat ini disangkal, karena makna adzan secara bahasa adalah pemberitahuan, kemudian syariat mengkhususkannya pada lafazh-­lafazh dan waktu-waktu tertentu. Apabila syarat-syarat ini telah terpenuhi, maka adzan dianggap sah. Adapun masalah perkataan, perbuatan maupun penampilan hanyalah sebagai pelengkap saja, karena wujud adzan telah konkrit tanpa semua itu. Apabila apa yang dikatakan oleh Ibnu Al Manayyar benar, maka bacaan tasbih yang dibaca sebelum adzan Subuh dan Jum’at serta shalawat Nabi SAW adalah termasuk bagian adzan. Padahal semua ini tidak termasuk adzan, baik dalam tinjauan bahasa (etimologi) maupun dalam tinjauan syariat (terminologi).

Hadits ini dijadikan dalil bolehnya menjawab muadzdzin meski sedang melakukan shalat sebagai pengamalan makna lahiriah perintah yang ada, sebab orang yang menjawab adzan tidak bermaksud berbincang-bincang. Namun sebagian mengatakan hendaknya orang yang sedang shalat menjawab adzan setelah selesai shalat, karena dalam shalat terdapat kesibukan. Sebagian lagi membolehkan orang yang shalat untuk menjawab adzan kecuali saat muadzdzin mengatakan, “hayya alash-shalaah” dan “hayya alal falaah “, karena kedua kalimat ini seperti pembicaraan yang ditujukan kepada manusia. Sedangkan lafazh adzan yang lainnya berupa dzikir, maka diperbolehkan untuk diucapkan saat shalat. Akan tetapi bagi mereka yang menjawab kedua kalimat tadi dengan lafazh “laa haula walaa quwwata ilia billah “, maka tidak ada halangan untuk mengucapkannya saat shalat, karena kalimat ini termasuk dzikir. Demikian dikatakan oleh Ibnu Daqiq Al ‘Id. Sedangkan Ibnu Abdussalam dalam fatwanya mengatakan, bahwa seorang yang shalat tidak diperkenankan menjawab adzan apabila sedang membaca Al Faatihah, karena membaca Al Faatihah secara berkesinambungan adalah wajib hukumnya. Tetapi apabila tidak sedang membaca Al Faatihah, maka diperbolehkan untuk menjawab adzan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 387 – Kitab Shalat

Berdasarkan pendapat tersebut, maka apabila seseorang menjawab adzan ketika sedang membaca Al Faatihah ia wajib mengulangi bacaannya dari awal. Apa yang beliau katakan ini merupakan hasil penelitian. Adapun pandangan yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah tidak disukainya menjawab adzan saat shalat, bahkan diakhirkan hingga selesai shalat. Demikian pula halnya apabila seseorang sedang berhubungan intim atau buang hajat. Hanya saja apabila orang yang shalat tadi menjawab dengan mengatakan, “hayya alash-shalaah” dan “hayya alal falaah “, maka shalatnya dianggap batal. Akan tetapi Imam Syafi’i menyatakan secara tekstual dalam kitabnya, Al Umm, bahwa shalat tidak batal dengan sebab menjawab seperti itu.

Selanjutnya hadits dalam bah ini dijadikan pula sebagai dalil disyariatkannya menjawab ucapan muadzdzin saat qamat. Mereka mengatakan, “Kecuali dua kalimat qamat yang dijawab dengan mengatakan, ‘aqaamahallahu wa adaamahu (semoga Allah menegakkan dan melestarikannya)’. Alasan sehingga kalimat ‘hayya alash-shalaah’ dan ‘hayya alal falaah‘ pada saat adzan dijawab dengan kalimat ‘laa haula walaa quwwata ilia billah ‘, dikemukakan pula sebagai alasan di tempat ini. Akan tetapi mungkin dibedakan bahwa adzan merupakan pemberitahuan yang bersifat umum sehingga terasa sulit bila semuanya menjadi orang-orang yang mengajak kepada shalat. Sedangkan qamat adalah pemberitahuan yang bersifat khusus dan jumlah orang yang mendengarkannya juga terbatas, maka tidak ada kesulitan bila di antara mereka saling mengajak satu sama lain.”

Hadits dalam bah ini juga dijadikan dalil tentang wajibnya menjawab adzan, sebagai.mana diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dari sebagian kaum salaf. Inilah pendapat yang dipegang dalam madzhab Hanafi, golongan Zhahiriyah dan Ibnu Wahab. Sementara jumhur (mayoritas) ulama mendukung pandangan mereka dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan selainnya, “Bahwasanya Rasulullah SAW mendengar muadzdzin (mengumandangkan adzan)

Ketika ia bertakbir, Rasulullah SAW mengatakan, ‘Alai fithrah (di atas fithrah)’. Ketika ia mengucapkan dua kalimat syahadat, maka

beliau SAW mengatakan, ‘Kharaja minannaar (ia keluar dari neraka).”

Jumhur mengatakan, “Karena Rasulullah SAW mengatakan selain yang diucapkan oleh muadzdzin, maka kami pun mengetahui

bahwa perintah untuk menjawab adzan hukumnya mustahab (disukai).” Akan tetapi perkataan mereka dikritik, karena tidak ditemukan keterangan dalam hadits yang menunjukkan bahwa beliau SAW tidak mengatakan seperti yang dikatakan oleh muadzdzin. Bisa saja beliau SAW mengatakan hal itu namun tidak dinukil oleh perawi sebab ucapan tersebut termasuk hal yang telah dimaklumi oleh semua. Oleh karena itu, perawi hanya menukil lafazh tambahan yang tidak biasa diucapkan oleh beliau SAW. Di samping itu, kemungkinan peristiwa dalam hadits ini terjadi sebelum adanya perintah untuk menjawab adzan dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh muadzdzin. Kemungkinan lain bahwa ketika beliau memerintahkan hal itu, maka beliau tidak ingin memasukkan dirinya dalam golongan orang-orang yang menjadi sasaran perintah tersebut. Dikatakan pula bahwa kemungkinan yang dimaksud dalam hadits itu bukanlah adzan seperti yang kita kenal. Namun pandangan terakhir ini dibantah, karena pada sebagian jalur periwayatan hadits itu disebutkan bahwa ketika itu waktu shalat telah tiba.


[1] Lafazh mudraj adalah lafazh yang berasal dari perawi yang disisipkannya dalam lafazh hadits, tanpa memberi keterangan bahwa lafazh tersebut bukan bagian hadits- penerj.

[2] mengulangi syahadat empat kali -penerj

M Resky S