Begini Tabarruk Para Sahabat dari Peninggalan dan Tempat Shalat Nabi

Begini Tabarruk Para Sahabat dari Peninggalan dan Tempat Shalat Nabi

Pecihitam.org – Untuk lebih menguatkan akan argumentasi diperbolehkannya tabarruk dalam syariat Nabi Muhammad saw, maka di sini akan kita lanjutkan kajian kita pada telaah hadis-hadis yang menyebutkan bahwa para Salaf Saleh telah bertabarruk kepada peninggalan Rasul, pasca wafat beliau. Dimana semua itu selama ini dianggap sebagai bentuk kesyirikan oleh kaum yang mengaku-ngaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh. Mari kita sama-sama perhatikan secara teliti uraian hadis-hadis di bawah ini:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Baca juga: Begini Para Salaf As-Sholih Bertabarruk Terhadap Pribadi Rasulullah

Tabarruk para Sahabat dari tongkat, baju, sandal, cincin dan mimbar Nabi

1. Diriwayatkan dari Muhammad bin Jabir, berkata: Aku mendengar ayahku berkisah tentang kakekku, bahwa beliau adalah delegasi pertama Nabi dari Bani hanafiyah. Suatu saat kudapati dia menyiram kepalanya dan berkata: “Duduklah wahai saudara penghuni Yamamah, siramlah kepalamu!”. Lantas kusiram kepalaku dengan air bekas siraman Rasulullah…maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku potongan dari pakaianmu agar aku dapat merasakan ketentraman. Lantas beliau memberikannya kepadaku. Lantas berkata Muhammad bin Jabir: Ayahku berkata bahwa kami biasa menyiramkannya buat orang sakit untuk memohon kesembuhan”. (Lihat: Al-Ishabah 2/102 huruf Sin bagian pertama, tarjamah Sayawis Thalq al-Yamani nomer 3626)

Jika apa yang dimiliki Rasul sama dengan milik kebanyakan orang, lantas kenapa dia meminta kain Rasul untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasul itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk ketegori syirik, maka dari sekarang, selayaknya kaum Salafy tidak lagi mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Saleh).

2. Diriwayatkan dari Isa bin Thahman, berkata: Anas menyuruh untuk mengeluarkan sepasang sandal yang memiliki dua tali, sedang kala itu aku berada di samping Anas. Lantas kudengar Tsabit al-Banani berkata: “Itu adalah sandal Rasul”. (Lihat: Shohih Bukhari 7/199, 4/101, al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6 dan Thabaqoot karya Ibnu Sa’ad 1/478)

Jika sandal Rasul sama dengan sandal-sandal manusia lain yang tidak layak disimpan dan ditabarruki, lantas buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan sandal yang sudah tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk mengambil berkah dari Rasul, melalui sandal beliau.

3. Dalam sebuah riwayat, Rasul bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah di atas mimbarku dan dia berbohong walaupun terhadap selainnya maka selayaknya ia bersiap-siap mendapat tempat di neraka” (Lihat: Musnad Ahmad bin Hambal 4/357 hadis ke-14606 dan Fathul Bari 5/210).

Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya mimbar Rasul, menurut lisan Rasul sendiri, dan para sahabatpun meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid bin Tsabit takut untuk bersumpah di mimbar Rasul ketika menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 16/697 hadis ke-46389).

Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Yazid bin Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; “Aku melihat para sahabat Nabi sewaktu hendak meninggalkan masjid lantas mereka menyentuh pucuk mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi kanan kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdoa” (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul).

Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul Qori menyebutkan bahwa; beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat duduk Nabi di atas mimbar, lantas mengusapkannya ke mukanya. (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Habban halaman 9).

Jika kaum Wahaby (Salafy gadungan) selalu menyatakan syirik buat pengambil berkah –dari para penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah- dari mimbar Rasul, maka apakah layak kelompok yang berpegangan teguh kepada ‘ajaran aneh sang pengkhianat’, Muhammad bin Abdul Wahhab, untuk mengaku sebagai “penghidup Sunah menurut ajaran Salaf Saleh”? Ataukah mereka lebih layak disebut sebagai “penghidup bid’ah menurut ajaran Khalaf Thaleh (seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Albani, Bin Baz, Utsaimin, Aali Syeikh dsb)”?

Baca Juga:  Baju Koko; Pakaian Tionghoa yang Diadopsi Muslim di Indonesia

Guna mempersingkat tulisan maka kami hanya menyebutkan beberapa hadis saja. Namun, di sini akan kita singgung beberapa riwayat beserta rujukannya dengan harapan para pembaca yang budiman dapat merujuk kembali ke teks aslinya.

Dalam beberapa riwayat dan hadis lain disebutkan bahwa, ada beberapa hadis seperti yang membahasa tentang Anas bin Malik yang dikubur dengan tongkat Rasul (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6), para sahabat mengambil berkah dari cincin Rasul dengan meniru bentuknya (Lihat: Shahih Bukhari 7/55, Shohih Muslim 3/1656, an-Nasa’i 8/196, Musnad Ahmad bin Hanbal 2/96 hadis ke-472), para sahabat yang mengambil berkah dari sarung Rasul dengan memakainya secara bergilir dan dijadikannya kafan (Lihat: Shahih Bukhari 7/189, 2/98, 3/80, 8/16, Sunan Ibnu Majah 2/1177 dan Musnad Ahmad bin Hambal 6/456 hadis ke-22318, Fathul Bari 3/144 tentang hadis 1277),

Muawiyah bin Abi Sufyan yang bersikeras membeli selendang Rasul untuk dibawa mati dan menjadi kafannya (Lihat: Tarikh Islam karya adz-Dzahabi 2/412, as-Sirah al-Halabiyah 3/242 dan Tarikh Khulafa’ karya as-Suyuthi hal:19), hadis Ummu Athiyah tentang kehadiran Rasul ketika anak putrinya meninggal dan mengambil berkah dari sarungnya (Lihat: Shohih Bukhari 2/74 kitab Jana’iz bab pemberian Kafur, Shohih Muslim 2/647, Musnad Ahmad 7/556 hadis ke-26752, Sunan an-Nasa’i 4/31 dan as-Sunan al-Kubra 3/547 bab 34 hadis ke-6634 dan atau 4/6 bab 72 halaman 6764), dan masih banyak lagi yang akan bisa kita dapati pada edisi lengkap tulisan ini. Nantikan.

Tabarruk para Sahabat dari Tempat Shalat Nabi

1. Dari Musa bin Uqbah, beliau berkata: “Aku melihat Salim bin Abdullah bingung memilih tempat di jalanan untuk melaksanakan shalat. Dikatakan bahwa dahulu ayahnya pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Dan ia pernah melihat bahwa Rasul juga pernah melaksanakan shalat di tempat itu”. Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat di tempat-tempat itu.

Lantas kutanya kepada Salim karena aku tak pernah melihat Salim kecuali dia mengikuti Nafi’ dalam (memanfaatkan) semua tempat-tempat yang ada, kecuali mereka berdua berbeda dalam pada tempat sujud (masjid) sebagaimana kemuliaan alat putar penggiling (riha’). (Lihat: Shohih Bukhari 1/130, Al-ishobah 2/349 pada huruf ‘Ain’ pada bagian pertama, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer 4834, Al-Bidayah wa an-Nihayah 5/149 dan Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 6/247)

Dari hadis di atas itulah akhirnya Ibnu Hajar dalam mensyarahinya mengatakan; “Dari Shoni’ bin Umar dapat diambil pelajaran tentang disunahkannya mengikuti peninggalan dan kesan Nabi untuk bertabarruk padanya”. (Lihat: Fathul Bari 1/469, dan menurut as-Shorim: 108 dinyatakan bahwa Imam Malik menfatwakan; “Sunnah melakukan shalat di tempat-tempat yang pernah dibuat shalat oleh Nabi. Pernyataan yang sama juga dapat di kitab al-Isti’ab yang sebagai catatan kaki dari Al-Ishabah tentang Abullah bin Umar)

Tetapi pada kenyataannya, kenapa para muthawwi’ (rohaniawan Wahaby) berusaha menghalang-halangi para jamaah haji yang ingin bertabarruk dan melakukan shalat di Gua Hira’ tempat menyendiri Rasul yang beliau pakai untuk beribadah, termasuk shalat di sana, dengan alasan Rasul dan Salaf Saleh tidak pernah memberi contoh hal tersebut?

Baca juga: Betulkah Tabarruk Merupakan Perbuatan Bid’ah atau Syirik, Seperti Tuduhan Minhum?

2. Ibnu Atsir berkata bahwa, Ibnu Umar adalah pribadi yang seringnya selalu mengikuti kesan dan peninggalan Rasulullah saw. Sehingga nampak beliau berdiam di tempat (Rasul pernah berdiam di situ), dan melakukan shalat di tempat yang Rasul pernah melakukan shalat di situ, dan sampai pohon yang pernah disinggahi oleh Nabi (untuk berteduh) pun disinggahinya, bahkan beliau (Ibnu Umar) selalu menyiraminya agar tidak mati kekeringan. (Lihat: Usud al-Ghabah 3/340, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer 3080. Dan hal serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat dilihat dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hambal 2/269 hadis ke-5968, Shohih Bukhari 3/140, Shohih Muslim 2/1981)

Apakah tabarruk Ibnu Umar tersebut tergolong syirik dan berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasul? Apakah mungkin pribadi mulia nan agung seperti Ibnu Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasul? Jika ya, lantas kenapa para Salaf Saleh tidak pernah menegurnya, bukankah diamnya mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah kaum Wahaby menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan perbuatan yang mereka anggap syirik itu?

Baca Juga:  Hukum Perempuan Bekerja dalam Islam, Boleh Tapi ...

3. Suatu saat, datang Atban bin Malik -salah seorang sahabat Rasul dari Anshar yang mengikuti perang Badr bersama Rasul- kepada Rasul seraya berkata: “Wahai Rasulullah, telah lemah penglihatanku maka aku melakukan shalat bersama kaumku.

Jika hujan turun dan menggenangi lembah yang membentang antara tempatku dengan tempat mereka sehingga aku tak dapat melakukan shalat bersama mereka di masjid mereka. Wahai Rasul, aku mengharap engkau datang mengunjungiku dan melaksanakan shalat di rumahku.” Lantas Rasululah saw bersabda kepadanya: “Aku akan melaksanakannya, insya-Allah.” Atban berkata: “Keesokan harinya, di waktu siang, datanglah Rasul besama Abu Bakar.

Kemudian Rasul meminta izin kepadaku dan akupun memberikannya izin. Beliau tidak duduk ketika memasuki rumah dan langsung bersabda; “Di bagian manakah engkau ingin aku mengerjakan shalat di rumahmu?”. Lantas aku tunjuk satu sudut yang berada di rumahku. Lantas Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kamipun turut berdiri dan mengambil saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan membaca salam”. (Lihat: Shohih Bukhari 1/115, 170 dan 175. Shohih Muslim 1/445, 61 dan 62)

Anehnya, dalam menetapkan pelarangan bertabarruk pada tempat-tempat dan benda-benda yang dianggap sakral (muqaddas), al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru’ hal: 68-69” berargumen dengan hadis Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas (hadis ketiga) untuk menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada tempat dan benda’.

Dia dalam kitab itu menyatakan: “Hal itu (sebagaimana yang diceritakan dalam hadis di atas) bukan berarti menunjukkan bahwa Atban hendak bertabarruk (mencari berkah) dari tempat yang pernah dibuat shalat oleh Rasul. Akan tetapi ia hanya ingin menetapkan (iqrar) kepada Rasul untuk shalat berjamaah di rumahnya ketika dia tidak mampu untuk melakukan shalat jamaah, sewaktu terjadi genangan di lembah itu. Maka di saat itu ia hendak meresmika masjid di rumahnya dengan mengundang Rasul. Atas dasar itu akhirnya Bukhari memberikan judul dalam kumpulan hadis semacam ini dengan sebutan: “Bab Masjid-Masjid di Rumah” (Babul Masajid fil Bayt).

Dan sebagaimana yang dilakukan oleh al-Barra’ bin ‘Azib yang melakukan shalat di masjid yang berada di rumahnya –ini adalah ajaran fikihnya- dimana yang dimaksudkan adalah, Rasul telah mensunahkan untuk melakukan shalat berjamaah di rumah ketika sewaktu terdapat hajat. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat lain yang bernama al-Barra’ bin ‘Azib yang melaksanakan shalat jamaah di rumahnya sedang (Rasul) tidak menkritisinya. Padahal dia hidup di zaman hidupnya Rasul (tasyri’).

Boleh jadi maksud Atban tadi adalah ingin menetapkan arah kiblat yang benar, karena Rasul tidak akan menetapkan kesalahan jika ia melaksanakan shalat menghadap bukan ke arah kiblat”. Ini adalah kemungkinan interpretasi yang diberikan al-Ulyani dari hadis di atas tadi.

Untuk mengkritisinya maka marilah kita perhatikan poin-poin di bawah ini:

  • – Tidak diragukan lagi bahwa sahabat Atban menginginkan untuk melaksankan shalat berjamaah di rumahnya. Ini adalah salah satu sebab dari kemunculan hadis tersebut. Akan tetapi bukan sebab satu-satunya, sebab keinginannya untuk bertabarruk kepada Rasulpun secara jelas nampak dalam teks hadis tersebut. Dan Nabi pun memahami apa yang diinginkan oleh Atban. Oleh karenanya beliau lantas menanyakan kepada Atban tentang tempat dalam rumahnya yang diinginkannya untuk dilakukan shalat oleh Rasul. Jika apa yang dinyatakan oleh al-Ulyani benar maka seharusnya Rasul langsung melakukan shalat di rumahnya, tanpa menanyakan dengan redaksi dan model pertanyaan semacam itu.
  • – Kalaupun apa yang dinyatakan al-Ulyani benar bahwa tujuan sahabat ‘Atban tadi adalah ingin memastikan kebenaran arah kiblat karena ia tidak dapat melihat dengan baik, dengan cara mendatangkan Rasul ke rumahnya, maka hal inipun sulit diterima. Dikarenakan untuk memperoleh arah kiblat yang benar oleh ‘Atban yang penglihatannya lemah, bisa saja ia meminta tolong anggota keluarga, sanak-famili ataupun melibatkan sahabat Rasul lain untuk memberikan arahan yang sesuai arah kiblat yang benar, bukan dengan memangil Rasul, apalagi lantas dilanjutkan dengan pelaksanaan dua rakaat shalat oleh Rasul. Dan dikarenakan Rasul hanya shalat dua rakaat (diwaktu siang sebagaimana teks hadis) maka ini membuktikan bahwa shalat yang dilakukan Rasul adalah shalat sunah, bukan shalat wajib. Oleh karenanya, jika Rasul hanya berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat yang benar saja lantas buat apa beliau melakukan shalat sunah, cukup memberitahu dengan lisan dan tunjuk saja.
  • – Kami tidak yakin intelektual orang seperti al-Ulyani lebih bagus dari pribadi seperti al-Allamah Ibnu Hajar al-Asqolani, termasuk dalam memahami hadis di atas tadi. dan kita tahu bahwa Ibnu Hajar menyatakan dalam syarah Shohih Bukharinya yang berjudul “Fathul Bari” dengan pernyataannya sebagai berikut:
  • — “Sewaktu Nabi diundang dan diminta untuk melakukan shalat, hal itu tiada lain adalah agar pemilik rumah dapat mengambil berkah (tabarruk) dari tempat shalat tadi. Maka dari itu beliau bertanya tentang tempat yang memang dikhususkan untuk itu…”. (Lihat: Fathul Bari 1/433)
  • — “Dalam hadis ‘Atban yang meminta Nabi melaksanakan shalat di rumahnya dan Nabipun memenuhi keinginan tersebut adalah bukti pembolehan (hujjah) akan tabarruk atas kesan dan peninggalan para manusia shaleh”. (Lihat: Fathul Bari 1/469)
Baca Juga:  Mengusap Wajah Setelah Berdoa, Apakah Bid'ah Seperti Tuduhan Wahabi?

Hadis-hadis semacam itu (Hadis ‘Atban) banyak akan kita dapati dalam kitab-kitab terkemuka lain. Untuk mempersingkat, kita akan sebutkan kitab, jilid dan halaman saja untuk dirujuk oleh para pembaca yang budiman.

Jika kita memberi sedikit toleransi terhadap pernyataan al-Ulyani berkaitan dengan hadis ‘Atban, dan memberi secuil kemungkinan kebenaran pada perkiraannya karena belas kasihan kita, maka bagaimana pendapat al-Ulyani dengan hadis-hadis lain yang secara jelas menyatakan keinginan para sahabat untuk bertabarruk kepada Rasul?

Sebagai contoh, seperti hadis Ummu Sulaim dan beberapa sahabat lain yang dapat kita temui hadis tersebut dalam kitab; Sunan an-Nasa’i 1/268, kitab al-Masajid, bab 43 shalat ‘alal hashir hadis ke-816, atau dalam kitab Sunan Ibnu Majah 1/249 kitab al-Masajid, bab alMasajid fid Daur hadis ke-756, atau kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 3/586 hadis ke 11920 cetakan Muassasah at-Tarikh al-Arabi dan dalam Musnad Imam Ahmad 3/130 terdapat dua sanad yang berbeda, atau lihat kitab Musnad Anas bin Malik hadis ke-11920. dengan jelas hadis Ummu Sulaim tadi menyatakan bahwa ia ingin bertabarruk dari Rasulullah saw, tidak seperti hadis ‘Atban yang masih mungkin disalahpahami oleh al-‘Ulyani.

Sebagian Wahaby berargumen bahwa tidak ada perbedaan antara masjid Nabawi dengan masjid-masjid yang lain. Ini pernyataan yang cukup aneh yang keluar dari makhluk yang mengaku sebagai umat Muhammad. Betapa tidak, walaupun masjid Nabi di kota Madinah telah terjadi perluasan dan perombakan, namun wilayah bangunan asli masjid Nabawi masih terjaga dan dapat dikenali oleh banyak orang. Di bilangan bangunan asli itulah, dahulu Nabi beserta para sahabat mulai beliau melakukan shalat dan ibadah ritual lainnya.

Bagaimana masjid Nabawi dinyatakan sama dengan masjid-masjid biasa lainnya sedang tempat bekas shalat Nabi yang bukan masjid saja dicari oleh para sahabat untuk pengambilan berkah dengan turut melakukan shalat di tempat berkah tersebut? Dan di kitab-kitab standart Ahlusunah wal jamaah dapat kita jumpai berbagai riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan masjid Nabawi dibanding masjid-masjid lainnya, selain masjidil Haram tentunya.

Source

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *