Bolehkah Seorang Banci Jadi Imam Shalat Berjamaah?

Bolehkah Seorang Banci Jadi Imam Shalat Berjamaah

Pecihitam.org – Sebagaimana yang umum dipahami bahwa salah satu syarat sah imam Shalat adalah laki-laki, meskipun perempuan juga boleh menjadi imam bagi makmum perempuan lainnya. Lalu bagaimana dengan banci, apakah ia boleh jadi Imam Shalat?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Berdasarkan dari beberapa literatur fiqh lintas madzhab memang ditemukan istilah “banci” ini dengan nama “khuntsa” (خنثى). Tapi pertanyaannya apakah “banci” itu sama dengan “khuntsa”?

Banci yang umum dipahami oleh masyarakat adalah seseorang yang berkelamin laki-laki namun bertindak layaknya perempuan. Bahkan ada yang nampak sekilas ia lebih perempuan daripada perempuan asli; dari cara berjalannya, bertuturnya, hingga cara beriasnya.

Jika yang demikian itu sangat jelas telah dilarang oleh agama dan termasuk dosa besar. Dalam sebuah hadits disebutkan:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Dari Ibn Abbas r.a.: “Rasulullah s.a.w. melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki”. (HR. Bukhari)

Siapa itu “Khuntsa”?

Jika dalam Literasi Fiqih, yang dimaksud sebagai “khuntsa” bukanlah seperti yang dipahami sebagai Banci pada penjelasan di atas, akan tetapi “khuntsa” adalah orang yang memiliki 2 alat kelamin yang aktif. Atau bisa juga orang yang tidak punya kelamin dari 2 jenis yang ada, tapi ia hanya punya lubang untuk kencing.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Hawi al-Kabir (8/168), karangan Imam al-Mawardi, beliau mengutip perkataan Imam Syafi’i:

الْخُنْثَى هُوَ الَّذِيْ لَهُ ذَكَرٌ كَالرِّجَالِ، وَفَرْجٌ كَالنِّسَاءِ، أَوْ لَا يَكُوْنُ لَهُ ذَكَرٌ وَلَا فَرَجٌ، وَيَكُوْنُ لَهُ ثَقْبٌ يَبُوْلُ مِنْهُ

“Khuntsa ialah orang yang punya penis seperti laki-laki dan juga farj’ seperti perempuan, atau ia yang tidak punya keduanya, dan hanya punya lubang air seni untuk kencing.”

Baca Juga:  Suami Mencumbu Kemaluan Istri, Bagaimana Hukumnya Dalam Pandangan Fiqih

Khuntsa ini pun terbagi lagi menjadi 2 jenis, yaitu; Khuntsa non-Musykil dan Khuntsa Musykil.

1. Khuntsa Non-Musykil

Musykil (مشكل) dalam bahasa Arab artinya adalah bermasalah, jadi khuntsa non-musykil yaitu khuntsa yang tidak bermasalah. Dianggap tidak bermasalah sebab kelaminnya dapat jelas diketahui dengan cara melihat, mana yang aktif dan mana yang tidak aktif.

Selain itu, bisa juga ditentukn dari sisi gejala kejiwaan, seperti adanya haid yang memperjelas bahwa dia adalah perempuan. Intinya terdapat ciri yang nyata mengenai kejelasan kelaminnya dan tanda itu berjalan normal.

2. Khuntsa Musykil

Nah, jenis ini yang sulit dan dikatakan Musykil (bermasalah), karena tidak ada ciri nyata yang dapat dilihat tentang kejelasan kelaminnya.

Boleh jadi karena ia memiliki 2 alat kelamin yang aktif, atau bisa juga ia tidak memiliki keduanya akan tetapi cuma ada lubang kencing saja. Maka diperlukan penelitian yang mendalam untuk menentukannya dan hanya bisa dikerjakan oleh ahli bidang medis.

Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya “al-Mughni” (6/336), meriwayatkan sebuh hadits bahwa Nabi pernah didatangi khuntsa dari kaum Anshar, dan untuk menentukan kelaminnya, beliau meminta untuk dilihat dari mana air seninya keluar pertama kali atau sebelum baligh, maka itulah jenis kelamin yang harus dihukumi.

Beliau (ibn Qudamah) juga menukil riwayat dari Imam Ali r.a. bahwa untuk menentukan apakah punya 2 kelamin aktif atau tidak punya keduanya, yaituperempuan lebih banyak dari rusuk laki-laki.

Ulama lain pun berpandangan demikian, bahwa untuk menentukannya yaitu harus terus dicari mana indikasi yang paling kuat dan paling banyak, ke laki-laki atau perempuan, di situlah ia ditentukan.

Baca Juga:  Hukum Menggendong Bayi Saat Shalat dan Tata Caranya

Misalnya gejala-gejala tubuh seperti bulu pada kemaluan, ketiak, jenis air mani, atau juga bentuk tubuh yang biasanya kalau perempuan memiliki dada yang lebih besar dari laki-laki.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, banci itu punya 2 arti; sebagai orang yang berkelamin ganda (khuntsa), dan bisa juga berarti orang laki yang bergaya kewanitaan.

Lalu jika kita buka kata ‘bencong’, KBBI hanya meminta kembali merujuk pada kata ‘banci’, artinya memang dalam bahasa Indonesia, banci dan bencong punya arti yang sama. Dan ini jelas berbeda dengan khuntsa dalam pemahaman ulama fiqh.

Jadi apakah Khuntsa Boleh jadi Imam?

Seluruh ulama sepakat dan tidak ada perselisihan, bahwa khuntsa boleh dan sah menjadi imam shalat, hanya saja ia hanya boleh untuk kaum perempuan saja. Sedang untuk laki-laki dan sejenisnya (khuntsa), semua Ulama sepakat melarangnya.

Alasan bolehnya untuk perempuan karena ia diragukan ke-laki-laki-annya, kalau sudah diragukan, maka tidak bisa untuk laki-laki dan sejenisnya juga. Namun tetap sah untuk perempuan, meskipun madzhab Maliki memakruhkannya.

Imam Nawawi dalam kitabnya Raudhah al-Thalibin (7/29) menuliskan bahwa:

فَيُجْعَلُ مَعَ النِّسَاءِ رَجُلًا، وَمَعَ الرِّجَالِ امْرَأَةً

“(Khuntsa) itu dijadikan laki-laki jika bersama perempuan, dan dijadikan perempuan jika bersama laki-laki.”

Yang jadi perdebatan hanya masalah teknisnya saja, yaitu di mana Imam khuntsa ini berdiri? Di depan kah, layaknya seorang imam laki-laki? Atau bersama di tengah-tengah shaff layaknya Imam wanita?

Mayoritas ulama berpendapat ia berada di depan para Jamaah perempuan tersebut, tidak bersama mereka di tengah-tengah.

Lalu bagaimana dengan Banci (Bencong) yang jadi Imam Shalat?

Baca Juga:  Hukum Melihat Kemaluan Istri Ketika Berhubungan Intim

Jika kita kembalikan kepada pengertian banci itu sendiri sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa ia adalah seorang laki-laki sejati yang berpenampilan dan berkepribadian seperti perempuan.

Jadi, Banci sejatinya adalah laki-laki, yang boleh jadi Imam shalat selama ia paham ilmunya. Adapun status bancinya, dan perilaku itu termasuk dosa besar, maka dia tergolong sebagai laki-laki yang fasiq.

Laki-laki yang fasiq tidak terlarang untuk menjadi Imam menurut mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Akan tetapi semua sepakat bahwa makruh shalat di belakangnya.

Hanya Madzhab hanbali yang melarang seorang fasiq jadi Imam, baik kefasiqannya itu tersembunyi atau terang-terangan. Baik fasiqnya itu dalam akidah atau perbuatan. (Kasysyaf al-Qina’ 1/474)

Hal tersebut berdasarkan sebuah hadits riwayat Imam Ibnu Majah yang status shahihnya juga masih diperdebatkan;

لاَ تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلاً ، وَلاَ يَؤُمُّ أَعْرَابِيٌّ مُهَاجِرًا ، وَلاَ يَؤُمُّ فَاجِرٌ مُؤْمِنًا ، إِلاَّ أَنْ يَقْهَرَهُ بِسُلْطَانٍ يَخَافُ سَيْفَهُ وَسَوْطَهُ

“Perempuan tidak boleh jadi imam laki-laki, dan seorang Badui terlarang jadi Imam bagi kaum Muhajir, dan orang yang Fajir (fasiq) tidak bisa menjadi imam bagi kaum mukmin, kecuali jika ia dipaksa oleh penguasa dengan pedang dan cambuknya”. (HR. Ibnu Majah)

Wallahu a’lam

M Resky S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *