Hadits Shahih Al-Bukhari No. 139 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 139 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memberi judul dengan “apa yang diucapkan saat buang hajat” hadis ini menjelaskan tentang doa yang biasanya Rasululllah saw baca ketika beliau masuk ke tempat buang hajat (WC). Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 34-40.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ تَابَعَهُ ابْنُ عَرْعَرَةَ عَنْ شُعْبَةَ وَقَالَ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ إِذَا أَتَى الْخَلَاءَ وَقَالَ مُوسَى عَنْ حَمَّادٍ إِذَا دَخَلَ وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Adam] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] dari [Abdul ‘Aziz bin Shuhaib] berkata, aku mendengar [Anas] berkata, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam WC, maka beliau berdo’a: ALLAHUMMA INNI A’UUDZU BIKA MINAL KHUBUTSI WAL KHBA`ITS (Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan) ‘. Dan hadits ini dikuatkan oleh [Ibnu ‘Ar’arah] dari [Syu’bah], dan [Ghundar] berkata dari [Syu’bah] ia berkata, “Jika mendatangi WC.” Dan [Musa] dari [Hammad], “Jika masuk.” Dan [Sa’id bin Zaid] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdul ‘Aziz], “Jika mau masuk.”

Keterangan Hadis: “Bab apa yang diucapkan saat buang hajat”, yakni saat hendak masuk ke tempat buang hajat jika tempat tersebut memang khusus dipersiapkan untuk buang hajat. sedangkan jika ia bukan tempat yang dikhususkan untuk buang hajat, maka perkataan Imam Bukhari di atas dipahami sebagaimana makna tekstualnya.

Penyebutan bah ini dan beberapa bah sesudahnya (yakni sampai pada bah wudhu satu kali) telah menimbulkan kemusykilan tersendiri, sebab beliau (Imam Bukhari) memulai kitab wudhu ini dengan menyebutkan bab-bab yang berhubungan dengan wudhu.

Di antaranya beliau menyebutkan wajib wudhu, syarat dan keutamaannya. Demikian pula beliau menyebutkan bolehnya meringankan pelaksanaan wudhu, keutamaan untuk menyempumakannya, mencuci muka dan membaca basmalah. Meski bab yang membahas tentang basmalah disebutkan lebih akhir daripada membasuh muka, namun hal itu tidak memberi pengaruh yang berarti. Sebab, penyebutan basmalah beriringan dengan awal mula membasuh muka. Untuk itu, masalahnya tidak berbeda apakah basmalah disebutkan sebelum masalah membasuh muka atau sebaliknya.

Akan tetapi yang menjadi permasalahan bahwa setelah menyebutkan persoalan yang berhubungan dengan basmalah, beliau menerangkan mengenai apa yang diucapkan oleh seseorang saat mau ke tempat buang hajat. Selanjutnya beliau menyebutkan dengan bab-bab yang berhubungan dengan istinja’. Setelah itu beliau kembali lagi ke masalah wudhu yang dilakukan dengan membasuh  anggota wudhu satu kali.

Nampaknya hubungan antara bah yang satu dan bah lainnya di tempat ini tidaklah diketahui dengan baik oleh Al Karmani, sehingga beliau berkata, “Dalam konteks apa sehingga bah tentang ‘basmalah’ disebutkan lebih akhir daripada bab-bab sebelumnya, padahal sesungguhnya ‘basmalah’ diucapkan sebelum membasuh muka? Kemudian apa hubungannya sehingga bab-bab tentang buang hajat disisipkan di antara bab-bab tentang wudhu?” Selanjutnya beliau menjawab, “Aku katakan bahwa Imam Bukhari tidak terlalu memperhatikan urutan bab-bab yang beliau sebutkan, karena maksud utama beliau adalah menukil hadits-hadits dan apa yang berkaitan dengan kitab shahih beliau, tidak ada maksud lain.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 503-505 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Akan tetapi jawaban yang beliau paparkan di tempat ini beliau bantah sendiri dalam kitab tafsir, dimana setelah beliau (Al Karmani) mendiskusikan perbuatan Imam Bukhari yang telah menukil beberapa masalah yang berhubungan dengan penafsiran beberapa lafazh, maka beliau berkata, “Andaikata Bukhari tidak menyebutkan masalah ini niscaya hal ini lebih utama, sebab semua itu tidak masuk dalam lingkup pembahasan kitab beliau.”

Demikian juga yang beliau katakan di berbagai tempat pada saat ia tidak menemukan kesesuaian antara apa yang dikatakan oleh Imam Bukhari dengan bahasan kitabnya. Padahal segala apa yang disebutkan oleh Imam Bukhari dalam menafsirkan lafazh-lafazh yang rumit beliau nukil dari para pakar di bidang itu; seperti Abu Ubaidah, An-Nadhr bin Syamuel dan Al Farra’ serta selain mereka. Adapun dalam masalah­masalah fikih, umumnya beliau berpedoman dengan pendapat Syafi’i dan Abu Ubaid serta lainnya. Sedangkan seluk beluk ilmu kalam dinukil dari Al Karabisi, Ibnu Kilab dan lainnya.

Yang lebih aneh lagi, Al Karmani mengatakan bahwa Imam Bukhari tidak bermaksud untuk menyusun secara baik urutan bab-bab dalam kitab ini. Padahal tidak ada di antara sekian banyak penulis yang dikenal memperhatikan persoalan ini dengan baik selain Imam Bukhari. Hingga sejumlah ulama berkata, “Sungguh Imam Bukhari memiliki pemahaman yang benar-benar mendalam dalam menyusun urutan bab­bab dalam kitab ini.”

Dalam syarah ini saya telah menyebutkan dengan jelas ketelitian Imam Bukhari. Setelah melakukan penelitian dalam masalah ini, sekilas saya mendapatkan apa yang diduga oleh orang-orang yang beranggapan bahwa Imam Bukhari tidak memperhatikan penyusunan bab-bab dengan urutan yang baik seperti yang dikatakan oleh Al Karmani. Akan tetapi dalam masalah shalat, beliau telah memperhatikan urutan-urutan bab secara sempuma sebagaimana yang akan saya jelaskan.

Adapun dalam pembahasan tentang wudhu ini, terbersit dalam benak saya bahwa Imam Bukhari terlebih dahulu menyebutkan kewajiban wudhu sebagaimana yang telah saya sebutkan, karena wudhu merupakan syarat sahnya shalat. Setelah itu beliau menyebutkan keutamaan wudhu serta keterangan bahwa wudhu tidak wajib melainkan benar-benar yakin berhadats.

Ia juga menyebutkan bahwa membasuh anggota wudhu melebihi dari batasan yang ditetapkan adalah bukan menjadi syarat, tetapi jika hal itu dilakukan maka lebih utama. Di samping itu beliau menyebutkan pula keterangan untuk membasuh sebagian anggota wudhu dengan sekali cidukan tangan. Demikian pula membaca basmalah saat akan wudhu, disyariatkan sebagaimana hal ini disyariatkan bagi mereka yang akan buang hajat.

Lalu dari sini beliau menyebutkan adab istinja’ dan syarat­syaratnya. Setelah itu beliau kembali menerangkan bahwa yang wajib dalam berwudhu adalah membasuh anggota wudhu satu kali-satu kali, sedangkan membasuhnya dua atau tiga kali adalah sunah. Selanjutnya beliau menyebutkan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) sebagai isyarat untuk membersihkan anggota yang tersembunyi sebelum yang biasa nampak. Oleh karena dalam hadits tentang istinsyaq terdapat perintah untuk istinja’ ( cebok) dengan menggunakan batu dalam jumlah yang ganjil, maka beliau memuatnya dalam judul bab tersendiri karena masih dalam lingkup kebersihan.

Lalu beliau kembali membahas hukum berlaku ringan dalam berwudhu. Beliau menulis satu bab dengan judul membasuh kaki dan bukan mengusap sepatu, dimana hal ini sebagai isyarat bahwa berlaku ringan saat berwudhu tidak cukup dengan sekedar mengusap dalam artian tidak mencapai kategori membasuh. Kemudian beliau membahas masalah berkumur-kumur, karenanya merupakan bagian yang mengiringi istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 88-89 – Kitab Ilmu

Setelah itu beliau menyebutkan masalah “membasuh kedua mata kaki”, agar tidak: timbul dugaan bahwa keduanya bukan termasuk kaki. Beliau menyebutkan pula “membasuh kedua kaki yang memakai sandal”, sebagai bantahan bagi mereka yang mencukupkan membasuh sandal bagi yang memakainya. Setelah itu beliau menyebutkan keutamaan memulai anggota wudhu bagian kanan, kapan seseorang wajib mencari air wudhu, hukum air yang dipakai berwudhu, hal-hal yang mewajibkan wudhu dan meminta bantuan saat berwudhu.

Kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang tidak dalam keadaan berwudhu. Setiap kali beliau menyebutkan salah satu anggota selalu diiringinya dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan hal itu bagi mereka yang memperhatikannya dengan ccrmat, hingga akhimya beliau mengakhiri kitab wudhu dengan metode seperti ini. Namun pada bagian shalat, beliau (Imam Bukhari) menempuh metode yang lebih mudah, dimana beliau menyebutkan urutan bab dengan kesesuaian yang sangat jelas. Seakan-akan beliau begitu mendalami persoalan tersebut, wallahu a ‘lam.

Lafazh الْخُبْث adalah bentuk jamak dari الخبيث sedangkan الخبايث adalah bentuk jamak dari الخبيثة Adapun maksudnya adalah syetan jenis laki-laki dan perempuan, demikian yang dikatakan oleh Al Khaththabi dan Ibnu Hibban serta lainnya.

Disebutkan dalam Naskah Jbnu Asakir, “Abu Abdullah (Imam Bukhari) berkata, ‘lafazh الخُبُث kadang pula dibaca الخُبْثُ yang berarti sesuatu yang tidak disukai, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Al Arabi. Jika dalam bentuk perkataan, maka berarti caci maki. Apabila dalam bentuk ideologi, maka berarti kekufuran. Jika berupa makanan, maka ia adalah makanan yang haram. Apabila berbentuk minuman, maka ia adalah minuman yang berbahaya. Atas dasar ini, maka yang dimaksud dengan Al Khaba ‘its adalah maksiat ataupun perbuatan-perbuatan tercela secara umum.

Oleh karena itu, maka dalam riwayat Tirmidzi dan yang lainnya disebutkan, “Aku berlindung kepada Allah dari Al Khubts dan Al Khabiits” atau “Al Khubuts dan Al Khaba ‘its” yakni dari segala sesuatu yang tidak disukai dan yang tercela, ataupun syetan laki-laki dan perempuan.

Nabi SAW memohon perlindungan tersebut untuk menampakkan sikap penghambaan. Di samping itu, Nabi juga mengeraskan suaranya saat membacanya, hal itu untuk mengajari para sahabatnya. Hadits ini telah diriwayatkan oleh Al Umari melalui jalur periwayatan Abdul Aziz bin Al Mukhtar dari Abdul Aziz bin Shuhaib dalam bentuk perintah, beliau bersabda, “Apabila kamu masuk ke tempat buang hajat maka ucapkanlah, ‘Dengan nama Allah, aku berlindung kepada Allah dari Al Khubuts dan Al Khaba’its.“‘ Silsilah periwayatan hadits ini sesuai klasifikasi hadits shahih yang dimuat dalam kitab Imam Muslim. Dalam riwayat ini terdapat tambahan untuk mengucapkan basmalah, dan aku tidak menemukannya kecuali dalam riwayat ini.

تَابَعَهُ اِبْن عَرْعَرَة (Hadits ini diriwayatkan pula dari lbnu Ar’arah ). Nama beliau adalah Muhammad, dan hadits yang beliau riwayatkan dinukil oleh Imam Bukhari dalam bab doa.

وَقَالَ غُنْدَر (Dan Ghundar berkata). Hadits tanpa silsilah periwayatan ini disebutkan oleh Al Bazzar berikut para perawinya dalam  musnad beliau dari Muhammad bin Basysyar Bandar, dari Ghundar  dengan redaksi beliau. Hadits ini dinukil pula oleh Ahmad bin Hambal dari Ghundar dengan lafazh, إِذَا دَخَلَ (Apabila salah seorang di antara kamu masuk).

Baca Juga:  Ini Pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani Tentang Hadits Yang Melarang Makelar

وَقَالَ مُوسَى (Musa berkata) maksudnya adalah Musa bin lsma’il At­Tabudzaki. Sedangkan Hammad adalah lbnu Salamah, yakni Abdul Aziz bin Shuhaib. Hadits melalui jalur periwayatan ini, para perawinya disebutkan secara lengkap oleh Al Baihaqi dengan lafazh seperti di atas.

وَقَالَ سَعِيد بْن زَيْد (Sementara Sa ‘id bin Zaid berkata). Beliau adalah saudara Hammad bin Zaid, dan riwayat beliau ini disebutkan oleh Imam Bukhari berikut silsilah periwayatannya dalam kitab Al A dab Al Mufrad, dimana beliau berkata, “Abu Nu’man telah menceritakan kepada kami dari Sa’id bin Zaid, dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas. Ia berkata, ‘Biasanya Nabi SAW jika ingin memasuki tempat buang hajat, beliau mengucapkan … ” seperti hadits dalam bab ini.”

Riwayat ini memberi penjelasan mengenai maksud dari lafazh hadits di atas yang berbunyi, “Biasanya apabila Nabi SAW memasuki tempat buang hajat.” Yakni beliau mengucapkan doa pada saat akan masuk, bukan setelah masuk. lni khusus tempat yang telah disiapkan untuk buang hajat, hal itu dapat dipahami dari kata “masuk “. Maka Ibnu Baththal berkata, “Apabila salah seorang di antara kamu mendatangi tempat buang hajat … ” jauh lebih umum karena cakupannya cukup luas.

Dalam hal ini ada dua pembahasan yang perlu diperhatikan; Pertama, apakah dzikir ini khusus pada tempat-tempat yang khusus disiapkan untuk buang hajat dikarenakan tempat-tempat tersebut didiami syetan sebagaimana disebutkan dalam hadits Zaid bin Arqam dalam kitab As-Sunan, ataukah dzikir ini diucapkan secara umum, bahkan seseorang yang kencing di samping rumah? Yang lebih benar adalah pandangan kedua, selama seseorang belum memulai buang hajat.

Pembahasan kedua, kapankah dzikir itu diucapkan? Barangsiapa yang memandang makruh untuk menyebut nama Allah dalam kondisi seperti ini, maka ia memberi perincian sebagai berikut; apabila di tempat yang disiapkan khusus untuk buang hajat maka diucapkan pada saat sebelum masuk.

Adapun pada tempat selain itu, maka diucapkan pada awal mula melakukan pekerjaan buang hajat seperti saat hendak menyingkap pakaian. Demikian pendapat jumhur ulama. Mereka mengatakan pula bahwa bagi orang yang lupa, maka ia mengucapkannya dalam hati, bukan dengan lisannya. Sedangkan mereka yang membolehkan seperti dinukil dari Malik, tidak membutuhkan perincian seperti di atas.

Perlu diperhatikan bahwa Sa’id bin Zaid yang meriwayatkan keterangan tentang makna dari perkataan, “Apabila Nabi SAW masuk tempat buang hajat “, adalah orang yang shaduq, sebagian ulama telah memperbincangkan tentang hafalannya. Riwayat beliau tidak disebutkan oleh Imam Bukhari kecuali di tempat ini, dan itupun hanya dalam bentuk ta’liq (tanpa menyebutkan silsilah periwayatannya). Akan tetapi yang meriwayatkan lafazh seperti ini bukan hanya beliau sendiri, dimana lafazh serupa telah diriwayatkan oleh Musaddad dari Abdul Warits dari Abdul Aziz. Lalu diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi dari jalur periwayatan Abdul Aziz, dimana kedudukannya sama seperti klasifikasi hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari.

M Resky S