Hadits Shahih Al-Bukhari No. 183 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 183 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “menggunakan sisa air wudhu orang lain”. Hadis ini menjelaskan tentang Sa’id bin Yazid yang terkena penyakit di kakinya, dia dibawa oleh bibinya untuk bertemu dengan Rasulullah saw, agar didoakan kesembuhan. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 200-202.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

بَاب حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يُونُسَ قَالَ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنْ الْجَعْدِ قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ ذَهَبَتْ بِي خَالَتِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَ أُخْتِي وَجِعٌ فَمَسَحَ رَأْسِي وَدَعَا لِي بِالْبَرَكَةِ ثُمَّ تَوَضَّأَ فَشَرِبْتُ مِنْ وَضُوئِهِ ثُمَّ قُمْتُ خَلْفَ ظَهْرِهِ فَنَظَرْتُ إِلَى خَاتَمِ النُّبُوَّةِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ مِثْلَ زِرِّ الْحَجَلَةِ

Terjemahan: Bab. Telah menceritakan kepada kami [‘Abdurrahman bin Yunus] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hatim bin Isma’il] dari [Al Ja’d] berkata, aku mendengar [As Sa’ib bin Yazid] berkata, “Bibiku pergi bersamaku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya putra saudara perempuanku ini sedang sakit.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap kepalaku dan memohonkan keberkahan untukku. Kemudian beliau berwudlu, maka aku pun minum dari sisa air wudlunya, kemudian aku berdiri di belakangnya hingga aku melihat ada tanda kenabian sebesar telur burung di pundaknya.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 214 – Kitab Wudhu

Keterangan Hadis: (Bab) demikian yang diriwayatkan oleh Al Mustamli, seakan-akan perkataan ini hanyalah sebagai pembatas antara pembahasan sebelum dengan pembahasan sesudahnya. Adapun perawi Shahih Bukhari selain Al Mustamli tidak menyebutkan lafazh bab di tempat ini.

عَنْ الْجَعْد (Diriwayatkan dari Ja’d), demikian yang tertulis dalam naskah ini. Namun dalam nukilan mayoritas perawi Shahih Bukhari tertulis الْجُعَيْد (Al Ju’aid) dan inilah yang masyhur. Adapun As-Sa’ib bin Yazid tergolong sahabat yang berumur muda, dan haditsnya akan dijelaskan nanti pada pembahasan tentang “Tanda-tanda Kenabian,” insya Allah.

الْحَجَلَة berasal dari kata الحجال maksudnya rumah yang dihiasi dengan kain, permadani serta gorden terbuat dari tali-tali yang dihiasi dengan butiran-butiran (seperti kalung,-Penerj.) Adapula yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan الْحَجَلَة adalah sejenis burung, dimana jenis betinanya dinamakan Hajalah. Atas dasar makna kedua ini, maka yang dimaksud dengan Zirr adalah telumya. Pengertian kedua ini diperkuat oleh hadits lain yang berbunyi, “(Cap kenabian itu) seperti telur burung merpati.” Pembahasan secara lengkap akan dijelaskan pada sifat Nabi SAW.

Maksud Imam Bukhari berdalil dengan hadits-hadits di atas adalah untuk membantah pendapat yang mengatakan najisnya air musta’mal, yaitu pendapat Abu Yusuf. Telah diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm dari Muhammad bin Al Hasan, bahwa Abu Yusuf telah meralat pendapatnya. Namun setelah dua bulan kemudian beliau kembali kepada pendapatnya semula.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 615 – Kitab Adzan

Adapun dari Abu Hanifah dinukil tiga riwayat; pertama, air musta’mal suci dan tidak dapat dipakai bersuci. Ini merupakan riwayat Muhammad bin Al Hasan dari Abu Hanifah, sekaligus pendapat Muhammad bin Al Hasan sendiri serta Imam Syafi’i dalam fatwanya yang barn dan merupakan pendapat yang difatwakan dalam madzhab Abu Hanifah. Kedua, air musta’mal hukumnya najis yang ringan (mukhaffafah), ini adalah riwayat Abu Yusuf dari Abu Hanifah. Ketiga, air musta ‘mal adalah najis berat (mughalladhah), pendapat ini diriwayat­kan oleh Al Hasan Al Lu’lu’ai dari Abu Hanifah.

Hadits-hadits di atas membantah pendapat yang menyatakan bahwa air musta’mal, adalah najis karena najis tidak dapat dipakai untuk mendapatkan berkah. Sementara hadits tentang Nabi SAW menyemprotkan air dari mulutnya ke muka As-Sa’ ib bin Yazid meski tidak ada keterang­an tegas mengenai wudhu, akan tetapi dapat diterangkan dengan mengatakan, “Jika orang yang berpendapat bahwa air musta’mal hukumnya najis dengan alasan bahwa air tersebut dinisbatkan atau ditambahkan kepada sesuatu yang lain, maka dapat dijawab bahwa air tersebut dinisbatkan atau ditambahkan kepada sesuatu yang suci dan tidak berubah salah satu sifatnya, sehingga hukumnya tetap suci.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 142 – Kitab Wudhu

Demikian pula halnya dengan air yang bercampur dengan air liur, hukumnya tetap suci sebagaimana diterangkan dalam hadits As-Sa’ ib di atas. Adapun mereka yang beralasan bahwa air musta’mal dianggap najis, karena dianggap sebagai air dosa (dipakai membersihkan dosa,-Penerj) sehingga harus dihindari.”

Mereka memperkuat pendapatnya dengan hadits-hadits yang menjelaskan tentang hal itu seperti diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya. Namun hadits-hadits dalam bab ini telah membantah alasan mereka. sebab sesuatu yang wajib dihindari tidak boleh dijadikan sarana mendapatkan berkah dan juga tidak bisa diminum.

lbnu Mundzir berkata, “Dalam ijma’ (kesepakatan) ulama disebut­kan bahwa bekas air yang tersisa di anggota wudhu seseorang yang berwudhu serta tetesan-tetesan air yang jatuh dan mengenai pakaiannya, maka hukumnya adalah suci.” Perkataan Ibnu Mundzir ini menjadi dalil sangat kuat tentang sucinya air musta’mal. Adapun masalah bahwa air tersebut tidak dapat dipakai untuk bersuci, akan dibahas dalam pembahasan tentang “Mandi”, insya Allah.

M Resky S