Hadits Shahih Al-Bukhari No. 310 – Kitab Haid

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 310 – Kitab Haid ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Wanita Haid Tidak Mengqadha’ Shalat”  hadis ini menjelaskan tentang pertanyaan seorang wanita kepada Aisyah ra tentang apakah mereka wajib mengqadha semua salat yang ditinggalkan selama masa haid? Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Haid. Halaman 551-554.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ حَدَّثَتْنِي مُعَاذَةُ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ لِعَائِشَةَ أَتَجْزِي إِحْدَانَا صَلَاتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا يَأْمُرُنَا بِهِ أَوْ قَالَتْ فَلَا نَفْعَلُهُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Musa bin Isma’il] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hammam] berkata, telah menceritakan kepada kami [Qatadah] berkata, telah menceritakan kepadaku [Mu’adzah], bahwa ada seorang wanita bertanya kepada [‘Aisyah], “Apakah seorang dari kita harus melaksanakan shalat yang ditinggalkannya bila sudah suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari kelompok Khawarij! Sungguh kami pernah mengalami haid di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau tidak memerintahkan kami untuk itu.” Atau Aisyah mengatakan, “Kami tidak melakukannya (mengqadla`).”

Keterangan Hadis: Jabir bin Abdullah dan Abu Sa ‘id berkata dari Nabi SAW, “la (wanita haid) meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat.”

(Wanita haid tidak mengqadha’ shalat). lbnu Mundzir telah menukil kesepakatan ahli ilmu mengenai hal itu. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Ma’mar bahwa ia bertanya kepada Az-Zuhri mengenai perkara tersebut, yaitu wanita haid tidak mengqadha’ atau mengganti shalat, maka Az-Zuhri menjawab, “Manusia telah sepakat demikian.”

Diriwayatkan oleh lbnu Abdil Barr dari segolongan Khawarij bahwasanya mereka mewajibkan wanita haid untuk mengganti shalat yang ditinggalkannya selama masa haid. Sementara dinukil dari Samurah bin Jundub bahwa beliau memerintahkan hal demikian, namun perbuatannya itu diingkari oleh Ummu Salamah. Tetapi ulama sepakat bahwa wanita yang haid tidak mengganti shalat yang ditinggalkannya selama masa haid, seperti yang dikatakan Az-Zuhri dan ulama-ulama lainnya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 158 – Kitab Wudhu

وَقَالَ جَابِر بْن عَبْد اللَّه وَأَبُو سَعِيد (Jabir bin Abdullah dan Abu Sa’id berkata). Penggalan hadits yang diriwayatkan oleh kedua sahabat ini telah disebutkan oleh Imam Bukhari secara maknawi (segi maknanya). Adapun hadits Jabir merupakan makna dari apa yang beliau sebutkan pada kitab Al Ahkam (hukum-hukum) melalui jalur Habib dari Atha’ dari Jabir se hubungan dengan kisah haidnya Aisyah ketika melakukan haji, dimana disebutkan di dalamnya غَيْر أَنَّهَا لَا تَطُوف وَلَا تُصَلِّي (Hanya saja beliau tidak thawaf dan tidak pula shalat). Demikian juga yang dinukil Imam Muslim melalui Jalur Abu Zubair dari Jabir.

Adapun hadits Abu Sa’id merupakan makna dari riwayat beliau yang telah disebutkan pada bab “Wanita Haid meninggalkan Puasa”, dimana di dalamnya disebutkan أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ (Bukankah jika ia haid tidak shalat dan tidak puasa?).

Apabila dikatakan, mana letak kesesuaian antara judul bab dengan kedua hadits di atas karena judul bab menerangkan tidak adanya qadha ‘, sedangkan kedua hadits ini menerangkan tidak mengerjakan (shalat)? Al Karmani menjawab, bahwa kalimat تَدَعُ الصَّلَاة (meninggalkan shalat) adalah menunjukkan melaksanakan dan qadha’ secara mutlak. Namun jawaban ini kurang sesuai, sebab larangan untuk mengerjakan shalat berlangsung pada masa haid, seperti nampak dari konteks kedua hadits di atas.

Adapun menurut pandangan saya, bahwa Imam Bukhari sengaja menyebutkan penggalan hadits Jabir dan Abu Sa’id, untuk menunjukkan bahwa wanita haid tidak mengerjakan shalat. Selanjutnya keterangan bahwa wanita yang haid tidak wajib mengganti atau menqadha’ shalat yang ditinggalkannya, adalah berdasarkan hadits Aisyah RA. Dengan demikian, penggalan hadits tersebut disebutkan sebagai pendahuluan hadits Aisyah yang substansinya sesuai dengan judul bab, wallahu a ‘lam.

أَتَجْزِي (Apakah cukup ), yakni apakah cukup bagi seorang wanita dengan shalat yang ia lakukan dalam keadaan suci dan tidak perlu mengganti shalat yang ditinggalkannya selama haid?

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 388 – Kitab Shalat

أَحَرُورِيَّة (Apakah anda seorang Haruriyah) Haruriyah dinisbatkan kepada Harura’, yaitu daerah yang terletak 2 mil dari Kufah. Atau dikatakan bahwa Haruri adalah orang yang berkeyakinan seperti madzhab Khawarij Haruri, karena kelompok pertama yang memberontak Ali berasal dari daerah tersebut sehingga mereka masyhur dinisbatkan kepada daerah itu. Sementara madzhab Khawarij ini terpecah dalam berbagai kelompok. Akan tetapi di antara dasar yang mereka sepakati adalah menerima ketetapan yang disebutkan oleh Al Qur’an dan menolak semua ketetapan tambahan yang dimuat oleh hadits, sehingga Aisyah bertanya kepada Mu’adzah dengan pertanyaan yang berkonotasi pengingkaran, (apakah anda seorang Haruri?).

Imam Muslim menambakan dalam riwayat Ashim dari Mu’adzah, ia berkata “Tidak, akan tetapi aku hanya bertanya”, yakni sekedar ingin mengetahui dan bukan untuk menjelekkan atau mencela. Aisyah memahami bahwa wanita itu minta dalil yang membuktikan hal itu, maka Aisyah menjawab tanpa mengemukakan alasannya.

Adapun alasan yang disebutkan oleh para ulama untuk membedakan antara puasa dan shalat adalah, bahwa shalat adalah ibadah yang berulang-ulang, maka tidak wajib diganti karena hal itu akan menyusahkan, berbeda dengan puasa. Sedangkan mereka yang mengata­kan bahwa perbedaan tersebut adalah karena wanita haid masuk dalam perintah puasa, maka mereka harus membuktikan bahwa wanita tidak masuk dalam perintah shalat.

Ibnu Daqiq Al ‘Id berkata, “Sikap Aisyah yang tidak memerintahkan qadha’ shalat bagi wanita yang haid, karena memang tidak diperintahkan, mengandung dua kemungkinan. Pertama, Aisyah mengambil kesimpulan bahwa tidak adanya kewajiban mengganti shalat adalah berdasarkan tidak adanya kewajiban untuk melakukannya di saat haid. Maka kesimpulan ini harus senantiasa dipegang hingga ditemukan keterangan lain yang berbeda dengannya, yaitu perintah yang mengharuskan mengganti shalat yang ditinggalkan pada masa haid sebagaimana halnya puasa. Kedua, -dan ini lebih tepat- bahwa keadaan mengharuskan dijelaskannya hukum ini, karena kejadiannya akan terns berulang-ulang menimpa istri-istri Nabi SAW.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 108 – Kitab Ilmu

Oleh karena penjelasan yang dimaksud tidak ada, maka hal itu menjadi bukti tidak adanya kewajiban untuk mengqadha’, apalagi masalah ini berkaitan dengan perintah mengqadha’ puasa seperti disebutkan dalam riwayat Ashim bin Mu’adzah oleh Imam Muslim.

فَلَا يَأْمُرنَا بِهِ ، أَوْ قَالَتْ : فَلَا نَفْعَلهُ (Nabi tidak memerintahkan kami untuk mengerjakannya. Atau Aisyah berkata, “Kami tidak mengerjakannya.”) Demikian lafazh yang terdapat dalam riwayat ini, yakni ada unsur keraguan. Sementara dalam riwayat Al Isma’ili dari jalur lain disebutkan, فَلَمْ نَكُنْ نَقْضِي وَلَمْ نُؤْمَر بِهِ (Kami tidak mengqadha’ dan tidak pula diperintahkan untuk mengqadha ‘nya).

Ungkapan (Kami tidak mengqadha’) jauh lebih kuat untuk dijadi­kan dalil tidak wajibnya mengqadha’ shalat yang ditinggalkan selama haid, dibandingkan perkataannya (Kami tidak diperintah mengqadha’nya), sebab lafazh ini mengandung kemungkinan bahwa mereka tidak diperintah lagi untuk mengganti. Karena untuk menunjukkan kewajiban qadha’ cukup dengan dalil yang bersifat umum, wallahu a’lam.

M Resky S