Hadits Shahih Al-Bukhari No. 226 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 226 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Kencing unta, binatang ternak dan kambing serta kandangnya” hadis ini menjelaskan tentang berobat menggunakan air kencing dan susu unta. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 315-333.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَانْطَلَقُوا فَلَمَّا صَحُّوا قَتَلُوا رَاعِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتَاقُوا النَّعَمَ فَجَاءَ الْخَبَرُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيءَ بِهِمْ فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ وَأُلْقُوا فِي الْحَرَّةِ يَسْتَسْقُونَ فَلَا يُسْقَوْنَ قَالَ أَبُو قِلَابَةَ فَهَؤُلَاءِ سَرَقُوا وَقَتَلُوا وَكَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَحَارَبُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Harb] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Zaid] dari [Ayyub] dari [Abu Qilabah] dari [Anas bin Malik] berkata, “Beberapa orang dari ‘Ukl atau ‘Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air seni dan susunya. Maka mereka pun berangkat menuju kandang unta (zakat), ketika telah sembuh, mereka membunuh pengembala unta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membawa unta-untanya.

Kemudian berita itu pun sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelang siang. Maka beliau mengutus rombongan untuk mengikuti jejak mereka, ketika matahari telah tinggi, utusan beliau datang dengan membawa mereka. Beliau lalu memerintahkan agar mereka dihukum, maka tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicongkel, lalu mereka dibuang ke pada pasir yang panas. Mereka minta minum namun tidak diberi.” Abu Qilabah mengatakan, “Mereka semua telah mencuri, membunuh, murtad setelah keimanan dan memerangi Allah dan rasul-Nya.”

Keterangan Hadis: (Kencing unta, binatang ternak dan kambing) Yang dirnaksud dengan binatang temak di sini adalah hewan yang memiliki tapak, seperti kuda, bighal (hewan hasil perkawinan silang antara keledai dan kuda.­ed.) dan keledai.

Ada pula kemungkinan penyajian di sini adalah mengaitkan kata yang bersifat umum kepada sesuatu yang bersifat khusus, kemudian mengaitkan kata bersifat khusus kepada sesuatu yang bersifat umum. Akan tetapi. kemungkinan pertama jauh lebih tepat.

مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ (Dari suku Ukl atau Urainah). Unsur yang menunjukkan keraguan pada lafazh ini bersumber dari Hammad. Imam Bukhari telah menyebutkan pula hadits ini dalam bab Al Muharibin melalui jalur Qutaibah dari Hammad, أَنَّ رَهْطًا مَنْ عُكْلٍ أَوْ قَالَ مِنْ عُرَيْنَةَ وَلَا أَعْلَمُهُ إِلَّا قَالَ مَنْ عُكْلٍ (Sesungguhnya sekelompok manusia yang berasal dari suku Ukl atau ia mengatakan berasal dari Urainah. Akan tetapi aku tidak mengetahui kecuali ia mengatakan berasal dari Ukl).

Demikian pula Imam Bukhari menyebutkan kembali hadits ini dalam kitab Jihad melalui jalur Wuhaib dari Ayyub, أَنَّ رَهْطًا مَنْ عُكْلٍ (Bahwasanya sekelompok orang dari Ukl), tanpa menggunakan lafazh yang mengindikasikan sikap ragu­ragu. Begitu pula yang disebutkan dalam bab “Al Muharibin” melalui jalur Yahya bin Abi Katsir, dalam kitab Diyat ( denda) melalu jalur Abu Raja’, dan keduanya meriwayatkannya dari Abu Qilabah.

Lalu Imam Bukhari meriwayatkan pula dalam kitab Zakat melalui Qatadah dari Anas, أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ (Bahwasanya sekelompok orang yang berasal dari Urainah), juga tanpa menggunakan lafazh yang mengindikasikan keraguan. Begitu pula yang dikutip oleh Imam Muslim dari Mu’awiyah bin Qurrah dari Anas.

Dalam kitab Al Maghazi disebutkan melalui Sa’id bin Abi Arubah dari Qatadah,

مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ (Bahwasanya orang-orang yang berasal dari Ukl dan Urainah). Yakni dengan menggunakan kata penghubung “dan” yang merupakan riwayat yang benar.

Kebenaran riwayat yang menggunakan kata penghubung “dan” didukung oleh riwayat yang dinukil oleh Abu Awanah dan Thabari melalui jalur Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Anas. Ia berkata, كَانُوا أَرْبَعَةً مِنْ عُرَيْنَةَ وَثَلَاثَة مِنْ عُكْلٍ (Mereka terdiri dari empat orang yang berasal dari Urainah dan tiga orang dari Ukl).

Lalu riwayat ini tidak pula menyalahi riwayat yang dinukil oleh Imam Bukhari dalam kitab “Jihad” melalui jalur Wuhaib dari Ayyub, dan dalam kitab “Diyat” (denda) melalui jalur Hajjaj Ash-Shawwaf dari Abu Raja’, keduanya berasal dari Abu Qilabah dari Anas, ia berkata, أَنَّ رَهْطًا مِنْ عُكْلٍ ثَمَانِيَة (Bahwasanya sekofompok manusia dari Ukl yang terdiri dari  delapan orang).

Dikatakan bahwa riwayat ini tidak bertentangan dengan hadits sebelumnya, karena ada kemungkinan kedelapan orang yang dimaksud tidak berasal dari salah satu di antara kedua kabilah tersebut sehingga ia tidak pula dinisbatkan kepada salah satunya. Adapun mereka yang menisbatkan kedepalan orang ini pada salah satu dari dua suku di atas, sungguh ia telah bersikap ceroboh berdasarkan riwayat Abu Ya’la yang juga dikutip oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Selanjutnya, Ibnu At-Tin melakukan kesalahan saat mengatakan suku Urainah adalah suku Ukl itu sendiri. Bahkan keduanya adalah dua suku yang berbeda, Ukl berasal dari Aden sedangkan Urainah berasal dari Qahthan.

Yang dimaksud dengan suku Ukl adalah suku yang berasal dari Qabilah Taim Ar-Rabbab. Sedangkan Urainah adalah nama dua suku yang menempati dua pemukiman, yaitu pemukiman Qudha’ah dan pemukiman Bujailah. Adapun yang dimaksud di sini adalah suku Urainah yang menempati pemukiman Bujailah, sebagaimana disebutkan oleh Musa bin Uqbah dalam kitab Al Maghazi dan dikutip oleh Ath-Thaban melalui jalur lain dari Anas.

Kemudian tersebut dalam riwayat Abdurrazzaq dari hadits Abu Hurairah dengan silsilah periwayatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, bahwasanya rombongan tersebut berasal dari suku Fazarah. Ini jelas merupakan suatu kekeliruan, sebab suku Fazarah berasal dari Qabilah Mudhar, dimana mereka tidak pernah bertemu dengan Ukl maupun Urainah.

Disebutkan oleh Jbnu lshaq dalam Al Maghazi bahwa kedatangan rombongan tersebut setelah perang Dzi Qard, sementara perang irn sendiri terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun keenam Hijrah. Namun Imam Bukhari menyebutkan, bahwa kedatangan rornbongan tersebut berlangsung setelah perjanjian Hudaibiyah di bulan Dzulqa’dah pada tahun yang sama. Sementara Al Waqidi menyebutkan, bahwa mereka datang pada bulan Syawwal tahun Hudaibiyah. Pendapat Al Waqidi diikuti pula oleh lbnu Sa’ad, lbnu Hibban dan lainnya, wallahu a’lam.’

Dalarn bab “Al Muharibin” Imam Bukhari menyebutkan bahwa orang-orang tersebut tinggal di rnasjid sebagai ahli shuffah sebelum mereka disuruh pergi ke tempat onta.

فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَة (Mereka tidak cocok dengan Madinah). Dalam riwayat Yahya bin Abu Katsir sebelum lafazh ini terdapat tambahan, فَأَسْلَمُوا dan mereka masuk Islam). Sementara dalam riwayat Abu Raja’ disebutkan, فَبَايَعُوهُ عَلَى الْإِسْلَامِ (Maka mereka berjanji setia kepada Rasul untuk membela Islam).

lbnu Faris berkata, “Dikatakan اجْتَوَيْت الْبَلَد (Aku tidak cocok dengan suatu negeri) apabila aku tidak senang tinggal di negeri itu, meskipun aku dalam kenikmatan. ” Akan tetapi Al Khaththabi mengkhususkan lafazh tersebut bagi mereka yang rnendapatkan mudharat karena tinggal di negeri yang dimaksud. Hal ini sesuai dengan kisah di atas.

Qazzaz berkata, “Dikatakan اجْتَوَوْا (mereka tidak cocok dengan suatu negeri) apabila makanan penduduk negeri itu tidak sesuai dengan selera mereka.” Menurut lbnu Al Arabi bahwa lafazh الْجَوَى adalah penyakit. Lalu dalam riwayat lain dari Abu Raja’ disebutkan dengan lafazh, اِسْتَوْخَمُوا Ibnu Al Arabi mengatakan, bahwa kedua lafazh itu memiliki makna yang sama. Sementara ulama yang lain mengatakan bahwa lafazh ijtawa adalah sejenis penyakit yang biasa menyerang perut.

Dalam riwayat Imam Bukhari melalui jalur Sa’id dari Qatadah, sehubungan dengan kisah ini dikatakan, “Mereka berkata, ‘Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang biasa betemak dan tidak terbiasa bertani.”‘ Kemudian dalam bab tentang pengobatan, Imam Bukhari menyebutkan pula riwayat yang senada melalui Tsabit dari Anas. la berkata, “Sesungguhnya dahulu ada sekelompok manusia yang menderita suatu penyakit, maka mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, berilah kami tempat tinggal dan makanan. “‘ Setelah sembuh mereka berkata, ‘Sesungguhnya Madinah negeri yang membahayakan kesehatan.'”

Secara lahiriah, orang-orang tersebut masuk Madinah dalam keadaan sakit dan ketika sehat mereka merasa tidak senang tinggal di Madinah karena merupakan daerah penyakit. Adapun penyakit yang mereka bawa saat masuk Madinah adalah kondisi tubuh yang kurus dan kelelahan karena rasa lapar.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 378-379 – Kitab Shalat

Dalam riwayat Abu Awanah melalui jalur Ghailan dari Anas, “Orang-orang itu kurus kering.” Lalu beliau meriwayatkan pula dari jalur Abu Sa’id dari Anas dengan lafazh, “Warna mereka pucat pasi.”

Adapun penyakit yang mereka keluhkan setelah sembuh dari penyakit lama adalah penyakit demam yang biasa menimpa penduduk Madinah, sebagaimana hal ini disebutkan oleh Imam Ahmad melalui jalur Humaid dari Anas. Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan penyakit demam di Madinah dari hadits Aisyah dalam bab “Thibb” (ilmu medis), dimana disebutkan bahwa Nabi SAW berdoa kepada Allah agar memindahkan penyakit tersebut ke Juhfah.

Lalu disebutkan dalam riwayat Imam Muslim melalui Mu’awiyah bin Qurrah dari Anas dengan lafazh, “Di Madinah saat itu menyebar penyakit radang selaput dada.” Sedangkan dalam riwayat Abu Awanah melalui riwayat Hammam dari Qatadah dari Anas sehubungan dengan kisah ini disebutkan, “Maka perut-perut mereka membesar.”

فَأَمَرَهُمْ بِلِقَاحٍ (Maka beliau SAW memerintahkan mereka untuk mencari unta betina yang sedang menyusui), yakni mereka diperintah untuk mendatangi tempat pemeliharaan atau penggembalaan unta.

Dalam riwayat Imam Bukhari melalui Hammam dari Qatadah disebutkan, “Beliau SAW memerintahkan mereka mendatangi penggem­balanya.” Sementara dalam riwayat Abu Awanah melalui jalur Mu’awiyah bin Qurrah dimana silsilah periwayatannya dinukil oleh Imam Muslim- dengan lafazh, “Bahwasanya mereka memulai memohon untuk mendatangi tempat petemakan unta seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh penyakit ini telah terjadi, maka alangkah baiknya jika engkau berkenan mengizinkan kami pergi ke tempat petemakan unta. “‘

Kemudian dalam riwayat Imam Bukhari melalui jalur Wuhaib dari Ayyub bahwa mereka berkata, “Wahai Rasulullah, carilah untuk kami air susu.” Nabi Menjawab, “Aku tidak mendapatkan air susu untuk kalian, kecuali jika kamu pergi sendiri ke tempat peternakan unta.” Dalam riwayat Abu Raja’ dikatakan, “lni adalah unta-unta kami yang sedang keluar, maka keluarlah kamu karenanya.”

Makna lahiriah riwayat-riwayat ini memberi kesimpulan bahwa unta tersebut adalah milik Nabi SAW. Bahkan kesimpulan ini telah ditegaskan secara transparan dalam riwayat Imam Bukhari pada bab “Al Muharibin (Pemberontak)” melalui jalur Musa dari Wuhaib, dimana disebutkan, “Kecuali jika kamu datang ke tempat unta Rasulullah SAW.” Dalam kitab yang sama beliau menukil riwayat melalui jalur Al Auza’i dari Yahya bin Abi Katsir, “Maka beliau SAW memerintahkan kepada mereka agar datang ke tempat unta sedekah (zakat).” Demikian juga yang terdapat dalam kitab Zakat melalui jalur Syu’bah dari Qatadah.

Untuk memadukan riwayat-riwayat tersebut dapat dikatakan, “Sesungguhnya unta sedekah digembalakan di luar kota Madinah. Pada saat Nabi SAW mengirim unta miliknya ke tempat penggembalaan, orang-orang tersebut juga memohon kepada beliau SAW agar diizinkan keluar kota untuk minum air susu unta. Maka Nabi SAW memerintahkan mereka untuk keluar bersama penggembala untanya, dan mereka pun keluar bersama penggembala tersebut lalu mereka melakukan perbuatan seperti di atas.

Dari kejadian ini terbuktilah kebenaran sabda beliau SAW, إِنَّ الْمَدِينَةَ تَنْفِي خَبَثَهَا (Sesungguhnya Madinah akan membuang sesuatu yang buruk padanya). Keterangan selengkapnya mengenai hal ini akan disebutkan. Sementara itu lbnu Sa’ad mengatakan, bahwa unta milik nabi SAW berjumlah 15 ekor. Lalu orang-orang tersebut menyembelih salah satunya yang bemama Al Hanna. Keterangan ini beliau kutip dari Al Waqidi, padahal Al Waqidi sendiri telah menyebutkan riwayat yang dimaksud dalam kitab Al Maghazi dengan jalur periwayatan yang lemah lagi mursal (tanpa menyebut nama perawi dari Rasulullah SAW).

وَأَنْ يَشْرَبُوا (Agar mereka minum ), yakni beliau SAW memerintahkan mereka agar meminum air kencing unta. Dalam riwayat Imam Bukhari melalui jalur Abu Raja’ dikatakan, “Hendaklah kalian keluar dan meminum air susu dan kencingnya”, yakni dalam bentuk perintah.

Kemudian dalam riwayat Syu’bah dari Qatadah disebutkan, “Maka diberi keringanan bagi mereka untuk datang ke tempat unta sedekah dan meminum air susunya.” Landasan yang melegitimasi perbuatan mereka untuk minum air susu unta sedekah adalah karena mereka tergolong ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan). Sedangkan landasan yang membenarkan mereka minum air susu unta milik Nabi SAW adalah izin dari beliau SAW sendiri.

Perbuatan mereka meminum air kencing unta telah dijadikan dalil oleh golongan yang menyatakan air kencing hewan adalah suci. Adapun tentang air kencing unta adalah berdasarkan hadits di atas, sedang kesucian air kencing hewan yang dimakan dagingnya adalah berdasarkan qiyas (analogi). Inilah pendapat Imam Malik, Ahmad dan beberapa ulama salaf. Pandangan itu disetujui oleh ulama madzhab Syafi’i, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Mundzir, Ibnu Hibban, Al Istukhari serta Ar-Rauyani.

Adapun Imam Syafi’i serta mayoritas ulama berpandangan, bahwa air kencing dan kotoran hewan hukumnya najis, baik yang dimakan dagingnya ataupun tidak dimakan. Lalu Ibnu Mundzir memperkuat pendapatnya dengan mengatakan, sesungguhnya hukum asal sesuatu adalah suci hingga jelas keterangan yang menggolongkannya sebagai sesuatu yang najis.

Beliau menambahkan, “Barangsiapa yang mengata­kan bahwa kebolehan minum air kencing unta khusus bagi kaum tersebut sungguh ia telah keliru, sebab hukum-hukum yang berlaku secara khusus tidak dapat ditetapkan melainkan berdasarkan dalil.” Dia juga berkata, “Sikap ulama yang membiarkan manusia memperjualbelikan kotoran kambing di pasar-pasar dari dahulu hingga sekarang tanpa ada yang mengingkarinya merupakan bukti bahwa ia adalah suci.”

Saya (lbnu Hajar) katakan. “Akan tetapi penetapan dalil seperti ini sangatlah lemah, sebab suatu perkara yang diperselisihkan tidak wajib diingkari. Maka tidak adanya pengingkaran bukan menjadi bukti kebolehannya. apalagi menjadi dalil kesuciannya. Sementara indikasi akan najisnya seluruh jenis air kencing telah disebutkan dalam hadits Abu Hurairah RA seperti yang kami sebutkan di atas.”

lbnu Al Arabi berkata, “Hadits yang tersebut di bab ini dijadikan sebagai dalil oleh mereka yang menyatakan air kencing unta adalah suci. Namun pandangan mereka dibantah dengan mengatakan bahwa mereka diizinkan untuk minum kencing unta dengan tujuan pengobatan. Akan tetapi bantahan ini dapat pula dijawab bahwa tujuan pengobatan tidak termasuk dalam kondisi darurat, sebab berobat itu sendiri tidaklah wajib. Lalu bagaimana sehingga perkara haram dibolehkan demi sesuatu yang tidak wajib’?

Saya (Ibnu Hajar) katakan, “Pernyataan bahwa berobat tidak ter­masuk kondisi darurat adalah tidak dapat dibenarkan, bahkan ia termasuk dalam kategori darurat berdasarkan berita yang dinukil oleh orang-orang terpercaya. Sesuatu yang dibolehkan karena kondisi darurat tidak dinamakan sebagai hal yang haram pada saat menggunakannya ber­dasarkan firman Allah SWT, “… … padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannnva.” (Qs. Al An’aarn (6): 119) Segala yang terpaksa digunakan oleh seseorang maka hal itu tidaklah hararn baginya, s·ebagaimana halnya makan bangkai bagi seseorang yang terpaksa harus mernakannya, wallahu a ‘lam.

Substansi perkataan beliau (lbnu Al Arabi) yang rnenyatakan, bahwa perkara hararn dibolehkan hanya demi tujuan-tujuan yang wajib juga tidak dapat diterirna, karena sesungguhnya tidak berpuasa di siang hari bulan Rarnadhan hukurnnya haram. Namun demikian, ia tetap diperbolehkan hanya karena perkara yang mubah seperti safar.

Adapun perkataan ulama lain yang menyatakan air kencing unta adalah najis, maka ia tentu tidak boleh dijadikan sebagai obat, berdasarkan sabda Nabi SAW, إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ أُمَّتِي فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْهَا (Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan bagi umatku pada apa-apa yang diharamkan atas mereka). Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Ummu Salamah (Adapun jalur lain hadits ini akan disebutkan dalam pembahasan tentang minuman). Sementara najis adalah haram hukumnya, maka tidak boleh dijadikan sebagai obat karena tidak dapat menyembuhkan.

Perkataan ini dapat pula dijawab dengan mengatakan, “Hadits yang dijadikan dalil berlaku dalam kondisi normal. Adapun pada kondisi darurat (terpaksa) tidaklah dianggap sebagai hal yang haram, sebagaimana bangkai (boleh dimakan) oleh orang dalam kondisi terpaksa. Hal ini tidak pula bertentangan dengan sabda beliau SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ketika menjawab pertanyaan tentang berobat dengan menggunakan khamer, إِنَّهَا لَيْسَتْ بِدَوَاء إِنَّهَا دَاء (Sesungguhnya ia bukan obat, tapi ia adalah penyakit).

Hadits ini khusus berhubungan dengan khamer dan masuk pula dalam cakupannya semua yang memabukkan. Perbedaan antara hal-hal yang memabukkan dengan hal-hal yang najis lainnya bahwa, seseorang dapat dijatuhi hukuman fisik (had) jika meminum khamer dalam kondisi nonnal, sedangkan hal-hal yang najis lainnya tidak demikian. Di samping itu, meminum khamer dapat mendatangkan banyak kerusakan. Pada masa jahiliyah mereka berkeyakinan bahwa khamer dapat menyembuhkan penyakit, maka syariat datang menyalahi keyakinan mereka. Demikian yang dikatakan oleh At-Thahawi.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 168 – Kitab Wudhu

Adapun mengenai air kencing unta, telah diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dari lbnu Abbas dari Nabi SAW, أَنَّ فِي أَبْوَال الْإِبِل شِفَاءً لِلذَّرِبَةِ بُطُونُهُمْ (Sesungguhnya pada air kencing unta terdapat kesembuhan bagi orang yang menderita penyakit di perutnya). Maka, tidak boleh menyamakan hukum antara sesuatu yang telah dinyatakan tidak mengandung unsur kesembuhan dengan sesuatu yang telah dinyatakan secara tegas mengandung kesembuhan, wallahu a’lam. Dengan cara ini kita dapat memadukan antara dalil-dalil yang ada) dan mengamalkan indikasinya.

فَلَمَّا صَحُّوا (Setelah sehat). Di sini ada kalimat yang tidak disebutkan, dimana kalimat selengkapnya adalah فَشَرِبُوا مِنْ أَبْوَالهَا وَأَلْبَانِهَا فَلَمَّا صَحُّوا (Maka mereka pun minum air kencing dan susu unta tersebut, setelah mereka sembuh). Lafazh seperti ini disebutkan langsung dalam hadits di atas melalui jalur Abu Raja’. Sementara dalam riwayat Wuhaib ditambahkan, وَسَمِنُوا dan mereka telah gemuk). Dalam riwayat Al Isma’ili disebutkan, وَرَجَعَتْ إِلَيْهِمْ أَلْوَانُهُمْ (Dan warna kulit mereka kembali seperti sediakala).

فَجَاءَ الْخَبَر (Maka datanglah berita). Dalam riwayat Wuhaib dari Abu Ayyub disebutkan, الصَّرِيخُ (Datanglah seseorang penyeru), yakni ia berseru dengan suara lantang mengabarkan apa yang telah terjadi. Orang yang berseru ini adalah salah seorang penggembala, seperti disebutkan dalam Shahih Abu Awanah melalui riwayat Mu’awiyah bin Qurrah dari Anas.

Sementara itu, Imam Muslim telah meriwayatkan pula hadits ini dengan lafazh, فَقَتَلُوا أَحَد الرَّاعِيَيْنِ وَجَاءَ الْآخَر قَدْ جَزِعَ فَقَالَ : قَدْ قَتَلُوا صَاحِبِي وَذَهَبُوا بِالْإِبِلِ (Maka mereka membunuh salah satu dari dua pengembala, dan penggembala yang satunya datang dengan ketakutan lalu berseru, “Mereka telah membunuh saudaraku dan pergi membawa unta. ‘). Nama penggembala Nabi SAW yang terbunuh adalah Yasar, seperti disebutkan oleh Ibnu Ishaq dalam Al Maghazi.

Lalu diriwayatkan pula oleh Imam Ath-Thabrani dengan silsilah periwayatan yang bersambung sampai kepada Nabi SAW melalui hadits Salamah bin Al Akwa’ dimana sisilah periwayatannya tergolong baik, “Nabi SAW memiliki seorang budak yang bemama Yasar.” Ibnu Ishaq menambahkan, “Dia dapatkan pada saat perang bani Tsa’labah.” Salamah berkata, “Nabi SAW melihat orang itu melakukan shalat dengan baik, maka beliau membebaskannya kemudian mengirimnya untuk menggem­bala untanya di suatu tempat bemama Hurrah, lalu orang itu menetap di tempat tersebut.” Kemudian ia menyebutkan kisah orang-orang Urainah dan perbuatan mereka yang membunuhnya. Adapun nama penggembala yang datang membawa berita belum aku dapatkan keterangan tentang itu, hanya saja nampaknya ia adalah penggembala unta sedekah (zakat).

Riwayat Imam Bukhari tidak berbeda dalam menyebutkan, bahwa yang terbunuh hanyalah salah seorang penggembala. Demikian pula dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Namun pada riwayat yang beliau nukil melalui Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas disebutkan, “Kemudian mereka menuju para penggembala dan membunuh mereka.” Senada dengan ini, diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban melalui jalur Yahya bin Sa’id dari Anas. Dari sini ada kemungkinan bahwa unta sedekah itu digembalakan oleh sejumlah orang, lalu sebagian mereka terbunuh bersama-sama penggembala unta milik Nabi SAW. Kemudian sebagian perawi mencukupkan dengan menyebut penggembala milik Nabi SAW, sedangkan perawi yang lain menyebutkan pula pengem-bala yang lainnya. Ada pula kemungkinan bahwa sebagian perawi menukil hadits ini dari segi maknanya saja, sehingga menuturkan hadits ini dengan lafazh jamak (plural). Kemungkinan terakhir ini jauh lebih kuat, sebab para penulis kitab Al Maghazi tidak menyebutkan adanya yang terbunuh dalam kejadian itu selain penggembala yang bemama Yasar, wallahu a’lam.

فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ (Maka beliau mengirim utusan untuk menelusuri jejak mereka). Dalam riwayat Al Auza’i ditambahkan “Untuk mencari”, sementara dalam hadits Salamah bin Al Akwa’ disebutkan “Beliau mengutus satu pasukan berkuda di bawah pimpinan Kurz bin Jabir Al Fihri”. Demikian disebutkan oleh Ibnu Ishaq dan sebagian besar ahli sejarah.

Dalam riwayat An-Nasa’i dari Al Auza’i dikatakan, (Maka beliau mengutus untuk mencari mereka orang-orang ahli dalam melihat jejak kaki). Kemudian dalam riwayat Imam Muslim dari Mu’awiyah bin Qurrah dari Anas dikatakan, bahwa pasukan tersebut terdiri dari para pemuda Anshar yang jumlahnya sekitar 21 orang. Tapi dalam kitab Al Maghazi oleh Al Waqidi disebutkan, bahwa pasukan tersebut berjumlah 20 orang tanpa menyebutkan bahwa mereka berasal dari kalangan Anshar. Bahkan disebutkan di antaranya sejumlah sahabat dari kalangan Muhajirin, di antaranya Buraidah bin Al Hushaib, Salamah bin Al Akwa’ Al Aslami, Jundub dan Rafi’ (dua putra Makits Al Juhnayan), Abu Dzar Al Ghifari, Abu Rahm Al Ghifari, Bilal bin Harits Al Mazni, Abdullah bin Amru bin Auf Al Mazni serta seiain mereka.

Sementara berita Al Waqidi tidak layak dipercaya apabila berita itu tidak dinukil juga dari sumber lain, maka bagaimana j ika berita yang beliau nukil bertentangan dengan riwayat dari sumber yang lain? Ada ke­mungkinan jika mereka yang tidak disebutkan namanya oleh Al Waqidi semuanya berasal dari golongan Anshar, sehingga dikatakan bahwa pasukan itu terdiri dari para pemuda Anshar melihat jumlah mereka yang mayoritas. Atau seluruh yang tergabung dalam pasukan itu dinamakan Anshar menurut pengertian yang lebih luas (yakni para penolong-penerj).

Dalam kitab Al Maghazi oleh Musa bin Uqbah dikatakan, bahwa pemimpin pasukan tersebut bemama Sa’id bin Zaid. Namun menurut sumber lain, nama pemimpin pasukan tersebut adalah Sa’ad hin Zaid Al A,s.yhali yang juga berasal dari kalangan Anshar. Dari sini dapat ditarik suatu kemungkinan bahwa beliau adalah pemimpin golongan Anshar yang bergabung dalam pasukan khusus, sedangkan Kurz adalah sebagai pimpinan umum.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabari Jan lainnya dari hadits Jarir bin Abdullah Al Baj Ii bahwa Nabi SAW telah mengutusnya untuk menelusuri jejak orang-orang Urainah tersebut, akan tetapi silsilah periwayatan hadits ini cukup lemah. Berita yang masyhur menyatakan bahwa Jarir masuk Islam jauh setelah kejadian ini, wallahu a ‘lam.

فَلَمَّا اِرْتَفَعَ (Ketika matahari telah meninggi) Dalam riwayat ini ada bagian yang tidak disebutkan secara tekstual, dan lafazh selengkapnya adalah sebagai berikut, فَأُدْرِكُوا فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ فَأُخِذُوا فَلَمَّا اِرْتَفَعَ النَّهَار جِيءَ بِهِمْ (Maka mereka berhasil mendapatkan orang-orang tersebut di hari itu, dan ketika matahari telah meninggi, mereka para tawanan itu dihadapkan kepada Nabi SAW),

فَأَمَرَ بِقَطْعِ (Maka beliau memerintahkan untuk memotong). Demikian riwayat yang dikutip oleh Al Ashili, Al Mustamli dan As-Sarakhsi. Sementara dalam riwayat selain mereka dikatakan, “Maka tangan dan kaki mereka dipotong.”

Ad-Dawudi berkata, “Maksudnya dipotong kedua tangan dan kaki setiap salah seorang di antara mereka.” Saya (Ibnu Hajar) katakan, “Per­kataan ini tertolak oleh riwayat Imam Tirrnidzi yang menyatakan dipotong secara menyilang, sebagaimana hal ini disebutkan pula oleh Al Isma’ili dari Al Faryabi, dari Al Auza’i. Sementara dalam riwayat Imam Bukhari melalui riwayat Al Auza’i disebutkan, ‘Beliau tidak menahan darah.’ Maksudnya beliau SAW membakar tangan yang telah dipotong atau melakukan hal-hal tertentu untuk menahan keluamya darah, bahkan beliau membiarkan darah mereka mengalir.”

وَسُمِّرَتْ أَعْيُنهمْ (Dan mata mereka ditusuk). Dalam riwayat Abu Raja’ disebutkan dengan lafazh, وَسَمَرَ Sementara riwayat-riwayat Imam Bukhari semuanya menyebutkan dengan menggunakan huruf ra’. Namun dalam riwayat Imam Muslim dari Abdul Aziz menyebutkan dengan menggunakan huruf lam, yakni سُمِلَ

Al Khaththabi berkata, bahwa arti سُمِلَ adalah menusuk mata dengan apa saja. Sehubungan dengan makna tersebut Abu Dzu’aib Al Hadzali berkata: Mata sesudah kepergian mereka Bagaikan ditusuk dengan duri Sebelah mata menjadi buta Sambil meneteskan air mata. Dia juga berkata bahwa سَمَرَ merupakan salah satu bentuk pengucapan kata سَّمْرُ dimana tempat keluar hurufbagi keduanya sangat berdekatan. Beliau mengatakan, “Ada pula kemungkinan kata سَمَرَ berasal dari kata مسمار (paku), maksudnya paku yang telah dipanasi ditempelkan ke mata mereka.”

Aku (Ibnu Hajar) katakan, “Maksud lafazh ini telah disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari melalui jalur Wuhaib dari Ayyub dan riwayat Al Auza’i dari Yahya, keduanya menukil dari Abu Qilabah dengan lafazh, ثُمَّ أَمَرَ بِمَسَامِيرَ فَأُحْمِيَتْ فَكَحَلهمْ بِهَا (Kemudian beliau memerintahkan untuk dibawakan paku lalu dipanaskan, dan setelah itu ditusukkan ke mata mereka). Riwayat ini memperjelas apa yang telah disebutkan sebelumnya. Namun ia tidak kontradiksi dengan riwayat yang menggunakan lafazh سمار sebab makna lafazh ini adalah mencungkil mata dengan cara apa saja seperti yang telah disebutkan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 69 – Kitab Ilmu

وَأُلْقُوا فِي الْحَرَّةِ (Lalu dijemur di harrah atau tempat panas), yakni suatu tempat yang berbatu hitam yang terletak di dekat kota madinah. Mereka sengaja dilemparkan ke tempat tersebut, sebab lokasi itu dekat dengan tempat dimana mereka melakukan perbuatannya.

يَسْتَسْقُونَ فَلَا يُسْقَوْنَ (Mereka minta minum namun tidak diberi minum ). Dalam riwayat Wuhaib diberi tambahan lafazh, حَتَّى مَاتُوا (hingga mati). Sedangkan dalam riwayat Abu Raja’ disebutkan, ثُمَّ نَبَذَهُمْ فِي الشَّمْسِ حَتَّى مَاتُوا (Kemudian mereka dijemur di bawah terik matahari hingga mati). Dalam riwayat Syu’bah dari Qatadah dikatakan, يَعَضُّونَ الْحِجَارَة (mereka menggigit batu). Sementara dalam kitab At-Thibb (ilmu medis) diriwayatkan dari Tsabit bahwa Anas berkata, فَرَأَيْت الرَّجُلَ مِنْهُمْ يَكْدُمُ الْأَرْض بِلِسَانِهِ حَتَّى يَمُوتَ (Aku melihat seseorang di antara mereka menjilat tanah dengan lidahnya hingga mati).

Sedangkan dalam riwayat Abu Awanah dari jalur yang sama disebutkan, يَعَضُّ الْأَرْضَ لِيَجِدَ بَرْدَهَا مِمَّا يَجِدُ مِنْ الْحَرِّ وَالشِّدَّةِ (Ia menggigit tanah untuk mendapatkan kelembabannya karena panas yang menimpanya). Lalu Al Waqidi menyatakan bahwa mereka disalib, akan tetapi riwayat-riwayat yang shahih menyalahinya. Hanya saja dalam riwayat Abu Uqail dari Anas disebutkan, “Dua orang disalib, dua orang di potong tangan dan kaki dan dua orang ditusuk mata.” Demikianlah, ia hanya menyebutkan 6 orang saja. Apabila riwayat ini dapat diper­tanggungjawabkan, maka dapat dipahami bahwa siksaan yang mereka terima terbagi-bagi.

Kemudian sejumlah ulama -di antaranya Ibnu Al Jauzi- cenderung menyatakan bahwa hukuman yang mereka terima adalah sebagai qishas (yakni hukuman yang dijatuhkan sama dengan perbuatan yang dilakukan -penerj) berdasarkan riwayat Imam Muslim dari hadits Sulaiman At­Taimi dari Anas, “Nabi SAW mencungkil mata mereka karena mereka telah mencungkil mata para penggembala.” Mereka yang hanya menisbatkan riwayat ini kepada Tirmidzi dan Nasa’i sungguh telah melakukan tindakan kurang tepat.

Lalu Ibnu Daqiq Al Id menanggapi, “Sebenamya yang terjadi dengan orang-orang Urainah, bahwa tubuh mereka dipotong-potong, sementara dalam hadits ini hanya disebutkan mengenai pencungkilan mata mereka saja. Untuk itu perlu dibuktikan untuk anggota badan lainnya.”

Aku (lbnu Hajar) katakan, “Seakan-akan para ulama berpegang pada berita yang dinukil oleh para penulis kitab Al Maghazi (peperangan), dimana mereka mengatakan bahwa orang-orang Urainah dijatuhi hukuman berupa pemotongan anggota badan disebabkan mereka telah memotong-motong anggota badan para penggembala.” Namun sebagian ulama menyatakan bahwa hukuman dengan memotong anggota badan pelaku kejahatan telah mansukh (dihapus).

Ibnu Syahin berkata setelah menyebutkan hadits lmran bin Hushain sehubungan dengan larangan memotong anggota badan, “Hadits ini menghapuskan segala jenis tindakan yang mengarah kepada pemotongan anggota badan.”

Lalu perkataan ini ditanggapi oleh Ibnu Al Jauzi dengan mengatakan, bahwa klaim hukuman tersebut telah mansukh (dihapus) harus dibuktikan dengan sejarah, yakni manakah yang terdahulu antara peristiwa ini atau Jarangan menghukum dengan earn memotong anggota badan.

Aku (lbnu Hajar) katakan, “Keterangan bahwa riwayat mengenai Jarangan memotong-motong anggota badan ditetapkan lebih akhir, hal itu diisyaratkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Al Jihad dari hadits Abu Hurairah RA sehubungan dengan Jarangan menghukum dengan menggunakan api setelah sebelumnya diperbolehkan. Sedangkan kisah orang-orang Urainah terjadi sebelum Abu Hurairah masuk Islam. Meskipun demikian, Abu Hurairah RA telah menyaksikan waktu pembolehan dan saat terjadinya Jarangan.

Diriwayatkan oleh Qatadah dari Ibnu Sirin, bahwa kisah orang­orang Urainah terjadi sebelum turunnya ayat-ayat tentang hudud (hukuman fisik). Kemudian Musa bin Uqbah menyebutkan dalam kitab Al Maghazi, “Para perawi menyebutkan bahwa setelah kejadian itu Nabi SAW melarang untuk menjatuhi hukuman memotong-motong anggota badan, karena ayat yang ada di surah Al Ma’idah.” Imam Bukhari lebih cenderung kepada pandangan ini, sebagaimana dinukil juga oleh Imam Al Haramain dari Imam Syafi’i.

Selanjutnya Al Qadhi Iyadh mempertanyakan apa sebabnya sehingga orang-orang tersebut tidak diberi minum di saat mereka memintanya, sementara ulama telah bersepakat bahwa mereka yang telah dijatuhi hukuman mati lalu meminta minum rnaka tidak boleh dicegah? Untuk menjawab pernyataan ini dapat dikatakan, sesungguhnya hal itu terjadi bukan atas perintah Nabi dan tidak disebutkan pula suatu riwayat yang rnenyatakan beliau SAW melarang rnereka untuk diberi minum. Demikian perkataan Al Qadhi. Narnun ini merupakan jawaban yang sangat lemah, sebab tatkala Nabi SAW rnelihat kejadian itu beliau diam, rnaka hal itu cukup menjadi dalil (petunjuk) dalam mengukuhkan hukum yang dirnaksud.

Kemudian Imam An-Nawawi memberi jawaban bahwa seorang pemberontak lagi murtad tidak harus dihormati baik diberi minum atau yang lainnya. Hal ini dapat dijadikan pegangan bahwa seseorang yang tidak memiliki air kecuali sekedar untuk dipakai bersuci, maka tidak boleh memberikan air tersebut untuk diminum orang kafir sementara ia sendiri terpaksa bertayammum. Bahkan, ia harus menggunakan air tersebut untuk bersuci meskipun orang yang murtad itu mati kehausan.

Al Khaththabi berkata, “Nabi SAW melakukan hal itu terhadap mereka, karena beliau menginginkan agar mereka mati dalam kondisi seperti itu.” Adapula yang mengatakan bahwa hikmah mereka dibiarkan kehausan adalah sebagai balasan atas sikap mereka yang kufur terhadap nikmat minuman air susu unta yang telah menghilangkan rasa lapar dan menyembuhkan penyakit yang mereka derita. Di samping itu Nabi SAW pernah berdoa agar Allah SWT membuat haus orang-orang yang sengaja membuat keluarganya kehausan. sebagaimana hal ini dijelaskan dalam suatu kisah yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i. Maka ada kemung­kinan bahwa keluarga beliau pada malam itu tidak mendapatkan jatah minuman air susu dari unta milik beliau SAW, yang biasa dikirimkan setiap hari, sebagaimana disebutkan oleh lbnu Sa’ad, wallahu a ‘lam.

 قَالَ أَبُو قِلَابَةَ فَهَؤُلَاءِ سَرَقُوا (Abu Qilabah berkata, “Orang-orang itu telah mencuri), yakni mereka telah mengambil unta tersebut dari tempatnya. Perkataan ini diucapkan oleh Abu Qilabah atas dasar istinbath (pengambilan kesimpulan hukum).

وَكَفَرُوا (dan mereka kafir) Keterangan seperti ini terdapat dalam riwayat Sa’id dari Qatadah dari Anas seperti tercantum dalam kitab Al Maghazi. Demikian pula yang disebutkan dalam riwayat Wuhaib dari Ayyub dalam kitab Al Jihad sehubungan dengan inti hadits ini. Silsilah periwayatan pernyataan itu sendiri tidaklah hanya sampai pada Abu Qilabah, sebagaimana yang diduga oleh sebagian ulama. Begitu pula dengan lafazh, وَحَارَبُوا (dan mereka memberontak) dimana telah disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad melalui jalur Humaid dari Anas, وَهَرَبُوا مُحَارِبِينَ (dan merekapun lari dalam rangka melakukan pemberontakan atau pembangkangan ).

Pada pembahasan mendatang akan dijelaskan kisah Abu Qilabah bersama Umar bin Abdul Aziz sehubungan dengan masalah Al Qasamah (sumpah akibat tuduhan melakukan pembunuhan) dalam kitab Diyat (hukuman denda), insya Allah.

Pelajaran yang dapat diambil

Dalam hadits ini terdapat sejumlah faidah yang dapat diambil selain apa yang telah disebutkan, di antaranya:

1. Kedatangan para utusan kepada imam (pemimpin).

2. Keharusan seorang imam untuk memperhatikan kemaslahatan (kesejahteraan) mereka (para utusan yang datang).

3. Disyariatkannya berobat dan mengobati penyakit dengan susu atau air kencing unta.

4. Bolehnya membunuh suatu kelompok karena mereka telah membunuh satu orang, baik karena tipu daya atau pemberontakan, jika kita berpendapat bahwa membunuh mereka adalah untuk menegakkan hukum qishash.

5. Bolehnya memotong anggota badan dalam rangka menegakkan hukum qishash, dan ini tidak termasuk perbuatan memotong anggota badan yang dilarang.

6. Tetapnya hukum muf1arabah (pemberontakan) di gurun (luar pemukiman), adapun di desa (tempat pemukiman) masih diperselisihkan.

7. Ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan) boleh memanfaatkan unta sedekah (zakat) untuk diminum susunya atau keperluan lainnya atas izin sang imam.

8. Bolehnya mengikuti perkataan ahli dalam mengetahui jejak kaki, karena bangsa Arab telah memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hal itu.

M Resky S