Hadits Shahih Al-Bukhari No. 486 – Kitab Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 486 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Membawa Anak Perempuan yang Masih Kecil di atas Tengkuknya Saat Shalat” Hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw pernah salat membawa anak perempuan yang bernama Umamah binti Zainab. Dan jika beliau sujud, beliau meletakkannya. Dan jika beliau berdiri, beliau membawanya kembali. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 310-315.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [‘Amir bin ‘Abdullah bin Az Zubair] dari [‘Amru bin Sulaim Az Zuraqi] dari [Abu Qatadah Al Anshari], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat dengan menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Dan menurut riwayat Abu Al ‘Ash bin Rabi’ah bin ‘Abdu Syamsi, ia menyebutkan, “Jika sujud beliau letakkan anak itu dan bila berdiri beliau gendong lagi.”

Keterangan Hadis: (Membawa anak perempuan yang masih kecil di atas tengkuknya) Ibnu Baththal berkata, “Maksud Imam Bukhari, bahwa orang yang shalat dengan membawa anak perempuan tidaklah merusak shalatnya. Maka lewatnya anak perempuan di hadapan orang shalat lebih tidak merusak lagi, sebab membawa lebih berat (kerusakannya) daripada sekedar lewat. Cara penggalian hukum seperti ini telah diisyaratkan oleh Imam Syafi’i. Akan tetapi pembatasan yang dikemukakan oleh Imam Bukhari bahwa anak wanita tersebut masih kecil memberi indikasi perbedaan hukum dengan wanita dewasa.”

وَهُوَ حَامِل أُمَامَةَ (dan beliau membawa Umamah) Penyebutan secara spesifik bahwa beliau SAW membawa anak perempuan tersebut di atas tengkuknya -padahal lafazh hadits lebih umum daripada itu- diambil dari riwayat lain yang menyatakan hal itu dengan tegas. Riwayat yang dimaksud terdapat dalam Shahih Muslim melalui jalur Bukair bin Al Asyaj dari Amr bin Sulaim. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Malik dengan sanad seperti hadits dalam bab ini, lalu beliau menambahkan, “Di atas tengkuknya”. Demikian pula dalam riwayat Imam Muslim dan selainnya melalui jalur yang lain. Dalam riwayat Imam Ahmad melalui jalur Ibnu Juraij dikatakan, “Pada lehernya”.

وَلِأَبِي الْعَاصِ (dan milik Abu Al Ash) Al Karmani berkata, “Idhafah (penyandaran kata) pada lafazh ‘binti Zainab’ bermakna ‘milik’ (yakni anak perempuan milik Zainab -penerj). Lalu makna ini disebutkan secara jelas dalam kalimat yang berkaitan dengannya, yakni perkataannya وَلِأَبِي الْعَاصِ

Ibnu Al Aththar mengisyaratkan bahwa hikmah dinisbatkannya Zainab kepada ibunya adalah karena bapaknya Umamah masih musyrik saat itu, maka penisbatan tersebut untuk memberitahukan bahwa anak dinisbatkan kepada orang yang paling mulia di antara kedua orang tuanya; baik dari segi agama maupun nasab. Kemudian dijelaskan bahwa anak itu berasal dari Abu Al Ash, sebagai pemberitahuan akan nasabnya yang asli.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 411-412 – Kitab Shalat

Lafazh seperti di atas hanya dinukil oleh Imam Malik, adapun para perawi lainnya telah menukil hadits tersebut dari Amir bin Abdullah. Lalu mereka menisbatkan anak perempuan itu kepada bapaknya, kemudian menjelaskan bahwa ia adalah putri Zainab seperti tercantum dalam riwayat Imam Muslim dan lainnya. Dalam riwayat Imam Ahmad melalui jalur Al Maqburi dari Amr bin Sulaim disebutkan, “Membawa Umamah binti Abi Al Ash -dan ibunya adalah Zainab binti Rasulullah SAW – di atas tengkuknya”.

فَإِذَا سَجَدَ وَضْعهَا (apabila sujud beliau meletakkannya) Demikian lafazh yang terdapat dalam riwayat Imam Malik. Imam Muslim meriwayatkan melalui jalur Ibnu Juraij, dan Ibnu Hibban melalui jalur Abu Al Umais, semuanya dari Amir bin Abdullah (Syaikh Imam Malik), Mereka berkata, إِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا (Apabila rukuk beliau meletakkannya). Dalam riwayat Abu Daud melalui jalur Al Maqburi dari Amr bin Sulaim disebutkan, حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخَذَهَا فَوَضَعَهَا ثُمَّ رَكَعَ وَسَجَدَ ، حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْ سُجُودِهِ قَامَ وَأَخَذَهَا فَرَدَّهَا فِي مَكَانِهَا (Hingga ketika hendak rukuk beliau mengambilnya dan meletakkannya, kemudian beliau rukuk dan sujud. Setelah bangkit dari sujudnya beliau berdiri dan mengambil anak tersebut kemudian meletakkannya di tempatnya semula). Riwayat ini sangat tegas menyatakan bahwa “membawa” dan “meletakkan” dilakukan oleh Nabi SAW dan bukan oleh anak tersebut. Berbeda dengan penafsiran yang dikemukakan oleh Al Khaththabi, dimana dia berkata, “Mungkin anak perempuan tersebut telah terbiasa dengan beliau SAW, sehingga apabila Nabi SAW sujud maka ia naik dan berpegangan dengan jari-jarinya sehingga ketika Nabi SAW bangkit dari sujudnya ia telah berada di atas tengkuk beliau, dan demikianlah hingga rukuk, lalu Nabi SAW melepaskannya.”

Ibnu Daqiq Al Id berkata, “Telah diketahui bahwa ‘membawa’ tidak sama dengan ‘meletakkan’ dilihat dari segi pelakunya. Sebab kita mengatakan, ‘Si fulan membawa barang ini … ‘ meskipun orang lain yang membawakan barang itu, berbeda dengan meletakkan. Atas dasar ini, maka perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW adalah ‘meletakkan’ dan bukan ‘mengangkat’ sehingga tidak membutuhkan gerakan yang banyak.” Lalu dia menambahkan, “Tadinya saya menganggap pendapat ini sangat baik, hingga akhirnya saya melihat dalam sebagian jalur periwayatan hadits itu disebutkan, ‘Apabila telah berdiri beliau mengembalikan anak itu ke tempatnya semula ‘.” Saya (Ibnu Hajar) katakan, riwayat yang di maksud terdapat dalam Shahih Muslim. Sementara riwayat Abu Daud yang telah kami sebutkan lebih tegas menyatakan hal ini, dimana dikatakan, “Kemudian beliau mengambil dan mengembalikannya pada tempatnya.” Lalu dalam riwayat Imam Ahmad melalui jalur Ibnu Juraij, “Apabila berdiri beliau membawanya seraya meletakkannya di atas tengkuknya.”

Al Qurthubi berkata, “Para ulama telah berbeda pendapat dalam menafsirkan hadits ini, dan yang membuat mereka melakukan hal itu adalah karena perbuatan yang disebutkan dalam hadits tadi memerlukan gerakan yang banyak. Ibnu Qasim meriwayatkan dari Malik bahwa yang demikian terjadi pada saat shalat sunah. Namun ini adalah penafsiran yang terlalu jauh, sebab makna lahiriah had its menyatakan bahwa hal itu dilakukan pada saat shalat fardhu. Sebelumnya Al Maziri dan Al Qadhi lyadh telah menyatakan bahwa penafsiran seperti itu sangat jauh berdasarkan riwayat yang tercantum dalam Shahih Muslim, “Aku melihat Nabi SAW mengimami manusia sementara Umamah di alas tengkuknya”.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 126 – Kitab Ilmu

Al Maziri berkata, “Shalat beliau SAW mengimami manusia pada shalat sunah tidaklah dikenal.” Demikian pula dalam riwayat Abu Daud, “Ketika kami menunggu Rasulullah SAW pada shalat Zhuhur -atau Ashar- dan Bilal telah mengumandangkan adzan shalat, tiba-tiba beliau SAW keluar kepada kami dan Umamah di atas tengkuknya. Beliau berdiri di tempat shalatnya dan kami berdiri di belakangnya. Beliau SAW takbir dan kami pun takbir, sementara Umamah tetap berada di tempatnya.” Dalam riwayat Az-Zubair bin Bakkar dan disetujui oleh As­Suhaili, disebutkan pada saat shalat Subuh. Adapun orang yang menisbatkan lafazh ini kepada Shahihain (Bukhari Muslim) telah melakukan kesalahan.

Al Qurthubi berkata, “Asyhab dan Abdullah bin Nafi’ meriwayatkan dari Malik bahwa yang demikian itu terjadi pada kondisi darurat, dan tidak ditemukan orang yang menjaganya.” Lalu sebagian ulama madzhab Maliki mengatakan, “Karena apabila beliau SAW membiarkan anak tersebut, niscaya ia akan menangis dan akan lebih banyak menimbulkan gangguan dibanding apabila beliau membawanya.” Kemudian sebagian ulama madzhab Maliki membedakan antara shalat fardhu dan shalat sunah. Al Baji berkata, “Apabila ditemukan orang yang menjaga anak tersebut, maka boleh membawanya pada saat shalat sunah namun tidak diperkenankan pada saat shalat fardhu. Namun apabila tidak ada yang menjaganya, maka boleh shalat sambil membawanya baik pada shalat fardhu maupun sunah.”

Imam Al Qurthubi berkata, “Abdullah bin Yusuf At-Tunisi meriwayatkan dari Malik, bahwa hadits di atas telah mansukh (dihapus hukumnya).” Saya (Ibnu Hajar) katakan, “Al Ismaili telah meriwayatkan hal itu setelah menyebutkan hadits di atas melalui jalumya, akan tetapi pemyataannya kurang tegas.” Adapun lafazhnya, “At-Tunisi berkata dari Malik, ‘Di antara hadits-hadits Nabi SAW ada yang nasikh (menghapus) dan ada yang mansukh ( di hapus) dan perbuatan ini (membawa anak saat shalat -penerj) tidak boleh diamalkan’ .” Sehubungan dengan ini Ibnu Abdil Barr berkata, “Barangkali hadits tadi di-nasakh (dihapus hukumnya) oleh larangan melakukan gerakan-gerakan lain saat shalat.”

Pendapat ini dibantah dengan mengatakan, bahwa dihapusnya suatu hukum tidak boleh hanya ditetapkan berdasarkan kemungkinan. Di samping itu, kisah ini disebutkan setelah sabda beliau SAW, “Sesungguhnya dalam shalat terdapat kesibukan”, sebab hadits ini diucapkan sebelum hijrah sedangkan kisah di atas terjadi setelah hijrah.

Al Qadhi lyadh menyebutkan pendapat sebagian ulama madzhab Maliki bahwa perbuatan tersebut adalah kekhususan Nabi SAW, karena beliau terjamin untuk tidak dikencingi saat membawanya. Tetapi pendapat ini disangkal, karena pada dasarnya hukum tersebut tidak berlaku khusus bagi Nabi SAW. Adanya dalil yang menyatakan suatu perbuatan khusus bagi Nabi SAW tidaklah berarti perbuatan lain juga khusus bagi beliau SAW, sementara dalam masalah seperti ini tidak boleh dianalogikan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 207-208 – Kitab Wudhu

Kebanyakan ulama memahami hadits ini bahwa perbuatan tersebut tidak dilakukan secara beruntun, karena adanya thuma’ninah (perhentian sejenak) dalam rukun-rukun shalat.

Imam An-Nawawi berkata, “Sebagian ulama madzhab Maliki mengklaim hadits ini telah mansukh (dihapus hukumnya), sebagian lagi mengklaim bahwa hal ini khusus bagi beliau SAW, sementara yang lainnya menyatakan perbuatan itu dilakukan saat kondisi darurat. Semuanya adalah tuduhan dan anggapan yang tidak dapat diterima, karena tidak dikuatkan oleh dalil. Padahal apa yang disebutkan dalam hadits tidak ada yang menyalahi kaidah-kaidah syariat, sebab manusia adalah suci sedangkan apa yang ada dalam perutnya telah dimaafkan. Pakaian serta badan anak-anak dinyatakan suci hingga diketahui dengan jelas bahwa ia tercemar najis. Lalu gerakan-gerakan saat shalat tidaklah membatalkan shalat apabila dalam kadar yang minim atau terjadi secara terpisah-pisah. Dalil-dalil syara’ sangat banyak mendukung hal ini. Maka, perbuatan Nabi SAW adalah untuk menjelaskan kebolehannya.”

Al Fakihani berkata, “Adapun rahasia beliau membawa Umamah dalam shalat adalah untuk menolak kebiasaan bangsa Arab yang tidak menyenangi anak-anak perempuan atau membawanya. Lalu beliau SAW menyalahi mereka dalam hal itu sampai pada waktu shalat untuk menegaskan penolakan atas kebiasaan mereka, karena menjelaskan dengan perbuatan terkadang lebih kuat daripada dengan perkataan.”

Hadits ini telah dijadikan dalil keharusan mengamalkan hukum asal daripada kebiasaan yang umum seperti diisyaratkan oleh Imam Syafi’i. Sementara Ibnu Daqiq Al Id dalam persoalan ini memiliki pembahasan tersendiri dari sisi bahwa nukilan tentang keadaan tidak memiliki cakupan yang lebih umum dari kejadian itu sendiri.

Di samping itu, hadits di atas menunjukkan bolehnya memasukkan anak-anak ke dalam masjid, menyentuh anak-anak perempuan yang masih kecil tidaklah memberi pengaruh pada kesucian, akan tetapi ada kemungkinan untuk dibedakan antara mahram dan yang lainnya. Begitu pula hadits ini menunjukkan sahnya shalat dengan membawa anak manusia, demikian pula halnya membawa hewan yang suci. Sementara dalam madzhab ulama Syafi’ i terdapat perincian hukum antara membawa orang yang istijmar (cebok dengan menggunakan batu) dan selainnya. Akan tetapi bisa saja dikatakan kisah ini adalah kutipan peristiwa sehingga ada kemungkinan Umamah saat itu telah dimandikan, sebagaimana ada pula kemungkinan beliau SAW menyentuhnya dengan memakai pelapis.

Faidah lain dari hadits ini adalah keterangan tentang sikap tawadhu beliau SAW serta kasih sayangnya terhadap anak-anak, dan sikapnya yang memuliakan anak-anak serta orang tua mereka.

M Resky S