Pecihitam.org – Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa shalat yang tertinggal atau sengaja ditinggalkan tetap wajib diqadha. Terlebih shalat yang ditinggalkan tanpa adanya udzur syara’, menurut Imam Syafi’i mengqadha shalat tersebut harus segera dilakukan.
Hal ini tertuang dalam kitab al-Fiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah karya Syekh Abdurrahman al-Jaziri jilid 1 halaman 506:
الشافعية قالوا : إن كان التأخير بغير عذر وجب القضاء على الفور وإن كان بعذر وجب على التراخي
Artinya: Para ulama madzhab Syafi’i berkata: apabila meninggalkan shalat dilakukan tanpa ada udzur maka mengqadhanya wajib ditunaikan dengan segera, sedangkan bila meninggalkannya disebabkan karena ada udzur maka mengqadhanya tidak diharuskan dilakukan dengan segera.
Hal masyhur di kalangan masyarakat mengenai udzur shalat ini adalah tidur. Jelas tidur sungguhan, bukan pura-pura tidur agar dikatakan udzur shalat. Seseorang yang masih dalam keadaan tidur, sedang waktu shalat fardhu telah berlalu maka wajib baginya untuk qadha.
Dalam pandangan madzhab Syafi’i, mengqadhanya tidak disyaratkan dilakukan dengan segera. Namun demikian, sangat elok kiranya jika ia mendahulukan qadha shalat dibanding hal lain yang dianggap bukan hal primer atau perkara yang betul-betul tidak dapat ditinggalkan.
ولا يجوز تأخير القضاء إلا لعذر كالسعي لتحصيل الرزق وتحصيل العلم الواجب عليه وجوبا عينا وكالأكل والنوم
Artinya: Tidak diperkenankan mengakhirkan qadha shalat kecuali disebabkan karena udzur seperti mencari rezeki, mencari ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain, makan, tidur dan lainnya.
Sederhananya, seseorang boleh mengakhirkan (tidak melakukannya dengan segera) qadha shalat jika disebabkan oleh beberapa hal yang dianggap penting dan mendesak seperti bekerja untuk mencari rezeki, menuntut ilmu yang wajib bagi dirinya, makan saat keadaan sangat lapar/telah terhidang dan tidur saat mata betul-betul tidak bisa diajak kompromi.
Adapun jika semuanya tidak dalam keadaan butuh dan terdesak, telah penulis sampaikan bahwa mengqadha shalat dengan segera adalah hal baik, terpuji dan mencerminkan sikap kehati-hatian. Misalnya, dalam keadaan tidak lapar, tidak ngantuk berat dan tidak dalam kondisi bekerja.
Namun apakah dalam mengqadha shalat diharuskan berniat “qadha” dalam melakukannya?
Syekh Abu Ishaq dalam kitabnya al-Muhadzdzab juz 1 halaman 134 menjelaskan sebagai berikut:
ﻭﻻ ﻳﻠﺰﻣﻪ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ اﻷﺩاء ﻭاﻟﻘﻀﺎء ﻭﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﻳﻠﺰﻣﻪ ﻧﻴﺔ اﻟﻘﻀﺎء ﻭاﻷﻭﻝ ﻫﻮ اﻟﻤﻨﺼﻮﺹ
Artinya: Tidak diwajibkan bagi seseorang untuk berniat “adaa” (shalat pada waktunya) atau “qadha” (shalat bukan pada waktunya). Tetapi sebagian ashab kami ada yang berpendapat wajibnya berniat adaa atau qadha. Namun pendapat yang dipilih adalah yang pertama, yakni tidak wajib niat adaa atau qadha.
Jadi, sah qadha shalat seseorang meskipun dalam niatnya tidak menyertakan qadha. Namun dalam I’anah Ath-Thalibin, kalaupun ia menggunakan niat ‘adaa atau qadha maka ia mendapatkan kesunnahan.
Hal ini terbatas pada niat adaa dan qadha saja, tidak dalam ta’yin (menentukan) waktu shalat fardhu. Maksudnya, jika seseorang hendak mengqadha suatu shalat fardhu, maka ia wajib menentukan waktu shalat tersebut dalam niatnya. Misal, ia mengqadha shalat Ashar, maka niatnya harus diucapkan sebagai berikut:
أصلى فرض العصر
Ushallii fardhal ‘ashri
Artinya: Aku bermaksud melaksanakan shalat fardhu Ashar.
Lafaz niat seperti ini dianggap cukup, baik untuk adaa maupun qadha. Lafaz “ashri” di atas wajib disertakan dalam niat. Kewajiban ini didasarkan pada penentuan dalam membedakan satu shalat fardhu dengan shalat fardhu lainnya. Oleh karenanya, waktu shalat fardhu mesti disertakan dalam niat.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bishshawaab.
- Pembubaran FPI dan Nasib Masa Depan Indonesia - 08/01/2021
- Pembagian Najis dan Cara Mensucikannya, Kamu Harus Tahu - 25/10/2020
- Kritik Imam al Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filsuf (Part 2) - 11/10/2020