Nikah Tahlil, Bagaimana Hukum Pernikahan Macam Ini?

hukum nikah tahlil muhallil

Pecihitam.org – Nikah tahlil adalah seorang pria lain menikahi seorang wanita yang telah dicerai sebanyak tiga kali oleh suaminya setelah habis masa iddahnya, lalu bersenggama dengannya, kemudian menceraikannya dengan maksud agar si wanita itu halal dinikahi suaminya yang pertama. “Pria lain” tersebut kemudian disebut dengan “muhallil“.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebelumnya, Islam telah memberikan tuntunan bahwa, perempuan yang telah ditalak tiga (ba’in kubra) tidak boleh dirujuk oleh suami yang menceraikannya kecuali telah dinikahi oleh pria lain, sebagaimana firman Allah;

Kemudian bilamana sang suami menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga ia menikah dengan laki-laki lain (muhallil),” (Q.S. al-Baqarah: 230).

Bentuk Nikah Tahlil yang tujuannya untuk membangun kehidupan suami-istri yang harmoni, demi kelangsungan keturunan dan memelihara harkat dan kemuliaan wanita, serta mendidik anak-anak agar menjadi benih untuk mewujudkan masyarakat yang ideal, tentunya tidak ada masalah, sebab itulah memang maksud dari ayat yang disebutkan di atas.

Hanya saja, Nikah Tahlil yang singkat, sementara, bahkan disyaratkan harus bercerai setelah si perempuan dicampuri, inilah yang dipermasalahkan dan pelakunya dikecam oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya;

Baca Juga:  Hikmah Adanya Muhallil dalam Proses Rujuk Setelah Talak Tiga

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ، وَالْمُحَلَّلَ لَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat muhallil dan muhallal lah, (HR Ibnu Majah).

Diriwayatkan bahwa Rasul SAW bersabda:

“Allah melaknat orang yang menikahi janda agar bisa dinikahi suaminya yang pertama (muhallil) dan suami yang telah menceraikan istrinya tiga kali dan bermaksud menikahinya kembali tanpa proses yang syar’i (muhallal lah).”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasul SAW ditanya tentang muhallil, lalu Rasul menjawab:

“Ingatlah pernikahan hakiki adalah pernikahan yang dilandasi cinta, bukan tipuan, serta idak melecehkan kitabullah. Tidak, hingga kamu (wanita) merasakan manisnya bersenggama dengannya.”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ketika ia ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang wanita yang aku nikahi agar ia dapat menikahi suaminya yang pertama?”

Ibnu ‘Umar menjawab, “Tidak. Ingatlah pernikahan hakiki adalah pernikahan yang dilandasi cinta. Apabila wanita itu membuatmu terpesona, tentu kamu akan menjaganya, dan apabila kamu merasa tidak cocok dengannya, tentu kamu akan menceraikannya. Dahulu, kami pada masa Rasulullah menganggap nikah tahlil adalah zina.”

Baca Juga:  Shalat Isya di Akhir Waktu; Apa Hukumnya Menurut Ulama Madzhab?

Diriwayatkan dari Ummul-mu’minin, ‘Aisyah RA, bahwa Rifa’ah al-Qurazhi menceraikan istrinya, lalu istrinya menikah dengan pria lain. Kemudian si wanita itu datang kepada Rasul SAW menuturkan bahwa suami yang kedua tidak mau menyetubuhinya dan bahwa dia bagaikan sehelai baju yang tak bergeming.

Lalu Rasul menanggapi, “Mungkin kamu ingin kembali kepada Rifa’ah. Tidak, hingga dia merasakan manisnya bersenggama denganmu, dan kamu merasakan manisnya bersenggama dengannya.”

Berangkat dari beberapa riwayat Hadits di atas, para ulama Syafi’iyah telah merinci syarat dan ketentuannya.

Dijelaskan bahwa Jika seorang perempuan yang telah di-Thalak Ba’in (cerai tiga kali), menikah dengan lelaki (muhallil) dengan niat supaya bisa halal dengan suami pertamanya, maka hal ini sah dan boleh dengan syarat:

  • Suami kedua (muhallil) apabila mengakad si istri itu dengan akad nikah yang shahih (sah) dan tidak boleh akadnya fasid (rusak).
  • Tidak disyaratkan adanya Tahlilul Lafdziy di dalam akadnya, seperti, si suami kedua itu mengatakan, “Zawwajtu Fulanata bi Syarthi Ihlaliha Li Muthallaq iha (saya menikahi perempuan fulanah itu dengan syarat muhallilnya untuk menggantungkannya)”.
  • Suami yang kedua (muhallil) harus pernah bersenggama, dukhul atau setidaknya pernah merasakan sesuatu yang enak “lezat” dari pernikahan itu (kenikmatan seksual).
  • Wathi’ atau hubungan badan tersebut harus sudah pernah dukhul, memasukkan ke dalam farji (kemaluan) si istrinya. Harus dipastikan bahwa hasyafah (kepala kemaluan) si suami nya benar-benar sudah masuk atau telah dukhul.
Baca Juga:  Perbedaan Haul Zakat Tijarah Menurut Pandangan Ulama Madzhab

Wallahu a’lam

M Resky S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *