Hukum Pajak dalam Islam; Samakah dengan Zakat? Ini Dalil dan Penjelasannya

Hukum Pajak dalam Islam; Samakah dengan Zakat? Ini Dalil dan Penjelasannya

PeciHitam.org – Tagline Pajak; “Pajak dari, oleh dan untuk Kesejahteran Rakyat”. Negara lumpuh jika tidak mendapat pemasukan dari pajak yang dibayarkan oleh warganya. Pungutan pajak menjadi perdebatan alot diera Negara Modern seperti saat ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pajak dianggap berbeda dengan zakat yang menjadi kewajiban orang-orang Islam untuk membersihkan hartanya. Penulis Barat bernama Charles Tilly menyebutkan bahwa Pajak adalah Perampokan dari orang berkuasa kepada orang kecil dengan dalih Kemakmuran Negara.

Argumen provokatif tersebut jika dilihat dari satu segi benar adanya, karena pajak adalah kewajiban warga negara untuk menyumbang sejumlah uang ke Negara. Akan tetapi akan dilanjutkan hanya akan menimbulkan chaos antara Negara dan Warganya.

Kehadiran Hukum Pajak dalam Islam perlu dikaji dan disebar-luaskan kepada warga sebagai bentuk menciptakan kedamaian menghindarkan chaos. Arus utama Islam Moderat yang menggabungkan Nasionaslisme dan Islamisme harus dikedepankan.

Termasuk dalam pembahasan posisi Hukum Pajak dalam Islam dan kaitannya dengan Zakat dalam Hukum Islam.

Daftar Pembahasan:

Pajak dan Zakat, mana yang lebih Islami?

Golongan orang yang menghendaki bughah atau pemberontakan kepada Negara tentu sangat senang membenturkan Pajak dan Zakat. Pajak adalah produk demokrasi yang wajib ditolak dan Zakat adalah produk Islam. Maka memilih zakat adalah surga dan menunaikan Pajak merupakan bentuk maksiat.

Istilah pajak dalam kerangkan hukum islam disebut dengan berbagai Istilah, antara lain;

  1. al-Maksi/ Al-Muks sering dimaknai sebagai pungutan wajib atau tidak wajib. Istila ini juga bisa digunakan untuk menyebutkan punguta liar atau Pungli.
  2. Ad-Dharibah digunakan untuk menyebut pajak pada masa yang lebih modern. Ulama menggunakan kata ini setelah penggunaan kata Al-Muks tidak terlalu banyak digunakan
  3. Al-Jizyah digunakan untuk menyebut Upeti yang harus dibayarkan Ahli Kitab (Yahudi-Nasrani) kepada pemerintahan Negara Islam. Sistem ini diterapkan dalam negara-negara Islam yang terbentuk pada masa lampau.
  4. Al-Kharaj adalah pajak bumi yang harus dikeluarkan orang penggarapnya kepada negara. Warga menggarap tanah milik negara dan hasilnya dikenakan pajak
  5. Al-Usyr bermakna Bea Cukai yang dikenakan Pemerintahan Islam kepada warga Non-Islam ketika masuk Negara Islam. Sistem ini juga digunakan dalam Negara-Negara masa lampau, jarang ditemui pada era Negara Modern.

Perbedaan pajak dan zakat menjadi bahan perdebatan bertahun-tahun para Ulama. Perdebatan dalam menerapkan Zakat dan Pajak atas dasar Sabda Rasulullah SAW;

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

Artinya; Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (HR. Abu Daud)

Jika  demikian, maka hampir semua negara didunia terjerumus dalam dosa penarik pajak, dan negara membangun negara dengan Uang Haram. Dalam hal ini Syaikh Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa Negara sah dan boleh menarik pajak kepada warganya.

Baca Juga:  Inilah 2 Penyebab Tindak Pidana Hukuman Mati Serta Kaitannya dengan HAM

Hasil dari pajak digunakan sebagai maslahah Ummah jika tidak memiliki sumber penghasilan lainnya. Beliau menekankan bahwa Negara harus mencari sumber pemasukan lain sebelum pajak. Dan penggunaan Pajak harus sesuai dengan ketentuan syara.

Dalil Pajak dalam Islam

Kaharaman penarikan pajak dalam Hukum Islam disandarkan kepada Hadits sebagai berikut;

عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَ رُوَ ُيْفِع بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ

Artinya; Dari Abu Khair RA berkata: Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan al-usyur kepada Ruwafi bin Tsabit RA, maka ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya para penarik al-maksi (diazab) di neraka(HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Ketakutan Ruwafi bin Tsabit yang diperintahkan Gubernur untuk menarik (الْعُشُوْرَ) yang disamakan dengan Pajak. Karena pada masa itu penarikan Pajak dalam negara-negara Non Islam sangat kental dengan kekerasan dan pemaksaan.

Ancaman untuk penarik pajak adalah dimasukan kedalam neraka. Akan tetapi Hadits ini mendapat kritik keras dari Ulama-ulama Hadits. Redaksi Hadits ini ditemukan dalam kitab Dlaif al-Jamiah al-Shaghir (Kitab kumpulan Hadits Lemah).

Tentu dalam menarik pajak dengan kekerasan, pemaksaan dan cara dzalim dilarang dalam Islam. Baik itu iuran pajak atau hutang sekalipun tetap dilarang jika dengan pemaksaan. Ulama sependapat bahwa memungut pajak dengan cara dzalim adalah perbuatan dosa besar.

Selain dasar Hadits yang menerangkan larangan menarik harta orang Muslim selain zakat, ada hadits yang menerangkan tentang kebolehannya;

إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ

Artinya; Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain zakat. (HR Tirmidzi dan Ad-Darimi)

Akan tetapi Hadits ini memiliki cacat dalam periwayata karena terdapat Rawi Abu Hamzah (Maimun) yang dalam pandangan Imam Ahmad bin Hanbal dia pembawa Hadits Lemah. Bahkan Imam Bukhari menerangkan bahwa Abu Hamzah adalah Orang tidak cerdas.

Keterangan tentang Jaiz nya menarik Pajak didapatkan dalam Fatwa Ulama-ulama Tunisia, Negara di Utara Benua Afrika. Kajian tentang Hukum Pajak dalam Islam menurut kerangka Hukum di Tunisia diperbolehkan karena membantu Negara dalam pembangunan.

Baca Juga:  Pemberian Upah Tukang Jagal Kurban dengan Kulit Hewan Kurban

Pembangunan fasilitas-fasilitas Umum seperti Jalan, Masjid, Rumah Sakit, dan Fasilitas lainnya tidak lain berasal dari Pajak warga negara.

Dalil Hukum Pajak dalam Islam

Pajak dalam Islam menjadi topik hangat untuk dibahas karena praktek masa lampau tentang penarikan pajak sangat kendal dengan kekerasan dan kedzaliman. Pagu anggaran dari pajak biasanya hanya sebagai alibi foya-foya para penguasa daerah atau negara.

Transformasi Pajak pada masa sekarang, pajak digunakan sebagai pemasukan utama pembangunan Negara. Bisa dikatakan, tanpa Pajak negara akan berhenti beropersai, setidaknya di Indonesia. Gaji pegawai dan pembiayaan fasilitas lainnya berasal dari Uang Negara berupa Pajak.

Inti pengharaman Pajak dalam Islam yakni munculnya redaksi (صاحب مكس)-pemungut Pajak yang berasal dari Riwayat Imam Muslim;

مهلا ياخالد فوالذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له ثم أمر بها فصلى عليها ودفنت

Artinya: Pelan-pelan wahai Khalid! Demi Dzat yang jiwaku ada dalam kekuasaan-Nya, sungguh ia telah bertobat yang apabila seseorang pemungut Pajak bertobat dengan cara itu, maka pasti ia akan diampuni. Lalu Nabi SAW memerintahkan agar jenazah perempuan itu dishalatkan dan dikuburkan. (HR. Imam Muslim, Abu Dawud, Baihaqi)

Redaksi kata tersebut menunjukan bahwa pemungut pajak dan tentunya Pajak yang pungut adalah Haram. Secara sekilas, kata (مكس) sering dimaknai sebagai Pajak sebagaimana Terminologi Modern. Akan tetapi (مكس) yang dimaksud Pajak pada Era Sahabat dan (مكس) yang dimaksud Era sekarang berpotensi berbeda.

Jika dasar Istilah (مكس) tidak disepakati maka Mustahil Hukum Pajak dalam Islam bisa terputuskan. Dalam hal ini Majelis Fatwa Tunisia menjelaskan;

المكس هو جباية وضريبة كانت موضوعة على السلع في الجاهلية وكانت من التسلط الظالم وأخذ أموال الناس بغير حق

Istilah (المكس) yang dimaksudkan Rasulullah SAW adalah tarikan yang ditetapkan pada harta dagangan pada masa Jahiliyah. Jadi Istilah ini merujuk pada Praktek Jahiliyah yang mana penarikan selalu disertai dengan paksaan dan penindasan. Penarik pajak sering melakukan penyitaan harta dagangan tanpa izin.

Tentu praktek seperti ini mirip dengan Pencurian, Perampasan, dan Pungutan Liar dengan tidak memiliki standar yang jelas. Bisa dipahami jika produk Hukum Pajak dalam Islam berbunyi Haram karena disertai dengan Rampasan.

Baca Juga:  Seksualitas dalam Al-Quran Menurut Imam Madzhab

Akan tetapi dalam Negara Modern, praktek Pajak berbeda dengan model (المكس) era pasar Jahiliyah seperti di atas. Ulama Tunisa memfatwakan bahwa;

 والذي جرى العرف في بلادنا أنهم يطلقون المكس على ما يأخذه مكتري السوق ممن ينتصبون لبيع منتوجتهم لكن لما كان هذا المال الذي يدفعه العارض لاينتفع به شخص معين وإنما هو مال يصرف في المصالح العامة إسهاما من العارضين في ميزينية البلدنية أو الدولة ولما كانت البلدية أو الدولة ميزانها مضبوطا صرفا وقبضا ومراقبا من مؤسسات قائمة على حسن التصرف فإنه بذلك يكون المال المأخوذ جاريا مجرى الضرائب التي تدفع من الأفراد إلى الدولة لتقوم بمصالحهم وهي بذلك جائزة لاحرمة فيها

Artinya; Kebiasaan di Tunisia bahwa (المكس) adalah sebuah Pungutan oleh petugas Negara dari Orang yang berdagang. Harta ditarik dengan besaran tertentu dan bersifat Insidental. Hasil dari Pengumpulan (المكس) digunakan untuk Tasharuf Kebaikan dan Pembangunan Maslahah Ummah (Fasilitas Umum) dan diawasi dengan pengawasan terukur.

Pengawasan dilakukan oleh badan-badan Khusus guna mencegah adanya penyelewengan dalam penyaluran. Tujuan Akhir adalah terciptanya Kemaslahatan dan Kemajuan Negara dan Ummat. Penarikan (المكس) atau iuran seperti ini tidak Haram.

Maka perbedaan istilah (المكس) pada masa sekarang yang cenderung kepada makna Dlaraib atau Iuran yang diperbolehkan oleh Islam.

Penarikan iuran untuk maslahah bersama menjadikan Hukum Pajak dalam Islam diperbolehkan. Bahkan Imam Nawawi dalam Kitab Futahatur Rabbaniyah ala Adzkar menjelaskan tentang (المكس) yang diharamkan;

المكس الضريبة التي يأخذها الماكس

Artinya: Al-Maksu (المكس) adalah pungutan yang diambil oleh pemungut liar

Kejelasan Hukum Pajak dalam Islam diperbolehkan selama tidak menjadikannya seperti praktek dalam (المكس) masa pasar Jahiliyah. Dan pada masa sekarang, al-Maksu juga terlarang jika yang dimaksud adalah Pungutan Liar atau PUNGLI. Ash-Shawabu Minallah.

Mohammad Mufid Muwaffaq