Kisah Imam Ibnu Al Munkadir yang Suka Berdzikir dengan Suara Keras

Kisah Imam Ibnu Al Munkadir yang Suka Berdzikir dengan Suara Keras

Pecihitam.org- Imam Abu Na’im al-Ashbahânî (330-430 H) mencatat sebuah riwayat dalam kitab Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, yang menceritakan kisah Imam Ibnu al Munkadir berdzikir dengan suara keras. Berikut riwayatnya:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

“Abu Muhammad bin Ahmad al-Jurjani menceritakan kepada Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz menceritakan kepada Muhammad bin ‘Ibad menceritakan kepada Sufyan menceritakan kepada al-Munkadir bercerita kepadaku, ia berkata: “(Suatu ketika) Muhammad (bin al-Munkadir) bangun di malam hari, ia berwudhu lalu berdoa, memuji Allah Azza wa Jalla, memuliakan-Nya dan bersyukur kepada-Nya, kemudian mengeraskan suaranya dengan dzikir.” Ia ditanya: “Kenapa kau mengeraskan suaramu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku memiliki tetangga yang (suka) mengeluh, ia mengeraskan suara (keluhan)nya sebab penderitaan, sedangkan aku mengeraskan suaraku sebab nikmat” (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 427).

Sebelum menguraikan lebih jauh, kita perlu ingat terlebih dahulu, bahwa semua orang pasti pernah mengalami musibah, penderitaan, dan kekecewaan, siapapun dia, baik anak raja, maupun anak orang bisa.

Baca Juga:  Ketika Salman al Farisi Melihat Tanda Kenabian di Punggung Nabi Muhammad

Tak terkecuali Imam Ibnu al Munkadir (w. 130 H), seorang tabi’in yang mendengar hadits secara langsung dari Sayyidina Jabir bin Abdullah, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidina Abdullah bin Umar, Sayyidina Anas bin Malik, dan lain sebagainya.

Ia juga pernah mengalami musibah dan ujian. Perbedaannya adalah, Imam Ibnu al Munkadir memandangnya sebagai nikmat, sedangkan kebanyakan kita memandangnya sebagai musibah.

Itulah hikmah terpenting yang harus kita ambil dari kisah di atas. Bagi orang-orang tertentu, mereka akan bersyukur ketika diberi cobaan. Perkataan dari salah seorang sufi “dan jika keburukan menimpa kami, maka kami akan mensyukurinya.” (Syekh Mutawalli Sya’rawi, Tafsîr al-Sya’râwî, juz 16, h. 9729).

Melihat sikap Imam Ibnu al Munkadir dan ulama-ulama lainnya, kita seperti digiring untuk memahami musibah sebagai madrasah, semacam pendidikan praktis dalam mengamalkan agama yang mendewasakan jiwa kita.

Mungkin pemahaman kita terhadap kebaikan hanya sekedar teori jika tanpa musibah dan cobaan. Tanpa pernah dalam kekurangan, kita tidak akan mengerti pentingnya berbagi. Tanpa pernah dihadapkan dengan cobaan, kita tidak akan memahami manfaat bersabar dan begitu seterusnya.

Baca Juga:  Siti Khadijah, Seorang Janda yang Menjadi Istri Pertama dan Tercinta Nabi Muhammad SAW

Di sisi lain, kisah di atas mengajarkan kepada kita, bahwa berdzikir dengan suara keras sudah dilakukan sedari dulu oleh kalangan tabi’in, sebagai perwujudan syukur atas nikmat yang Allah berikan. Dalam riwayat lain, Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir mengatakan:

Ia (tetanggaku) mengeraskan suaranya sebab (mengeluhkan) musibah, sedangkan aku mengeraskan suaraku sebab (mensyukuri) nikmat.” (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, 2009, juz 2, h. 427).

Penjelasan sederhananya adalah, daripada membuang-buang suara untuk mengeluhkan musibah (balâ’) lebih baik menggunakannya untuk mensyukuri nikmat. Atau, jika musibah saja dikeluhkan dengan suara keras, kenapa nikmat tidak didzikirkan dengan suara keras.  

Jadi, berdzikir dengan suara keras, jika niatnya baik, tidak lain adalah bentuk syukur kepada Allah, seperti yang dilakukan oleh sayyidul qurrâ’ (tuannya para ahli qira’ah), julukan yang diberikan Imam Malik bin Anas untuk Muhammad bin al-Munkadir (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, 2009, juz 2, h. 427).  

Baca Juga:  Kisah Nuaiman Jual Sahabatnya Jadi Budak dan Tawa Rasulullah

Dengan berdzikir merupakan langkah awal mensyukuri nikmat Allah, karena Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir tidak berhenti sampai di sini. Beliau dengan memberi manfaat untuk sekitarnya, merupakan wujud dari mensyukuri nikmat Allah.

Imam Abu Ma’syar mengatakan, “kâna sayyidân yuth’imuth tha’âm” (ia seorang tuan yang gemar memberi makan) (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, 2009, juz 2, h. 429).

Mochamad Ari Irawan