Kisah Habib ‘Ajami, Taubatnya Pemakan Riba Hingga Menjadi Waliyullah

Kisah Habib 'Ajami, Taubatnya Pemakan Riba Hingga Menjadi Waliyullah

Pecihitam.org – Beliau bernama lengkap Habib bin Muhammad al-‘Ajami. Habib ‘Ajami adalah sosok tokoh sufi yang jujur , memiliki himmah yang kuat, karomah yang luar biasa dan riyadhoh yang sempurna. Pada awal mulanya beliau adalah orang yang banyak harta, pemakan riba. Beliau hidup dan tinggal di Basrah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kesibukannya sehari hari adalah berkeliling menagih hutang (lintah darat), ia berkeliling untuk mencari orang-orang yang berhutang kepadanya untuk kemudian menagihnya.

Bila yang ditagih belum punya uang untuk membayar maka ia akan meminta dibayar dengan kulit domba atau lainnya yang setimpal dengan piutangnya. Inilah yang dilakukannya sehari hari untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.

Al-kisah pada suatu hari ia pergi menemui seorang lelaki yang hendak ditagih hutangnya, namun karena lelaki tersebut tidak ada dirumah, maka habib pun meminta kulit domba kepada istri lelaki tersebut sebagai ganti dari uangnya.

si istri tersebut berkata : “aku tidak memiliki apa yang engkau minta, kami baru saja menyembelih seekor domba, dan yang tinggal kini hanyalah lehernya saja. Bila engkau mau, maka akan kuberikan leher domba ini untukmu”

“itu pun juga boleh” jawab Habib. Ia berpikir setidaknya ia dapat membawa pulang leher tersebut untuk dimakan keluarganya. Habib kemudian berkata : “rebuslah dulu leher dombanya!”, “aku tidak memiliki kayu bakar” jawab wanita tersebut.

Kemudian Habib pun mencari beberapa kayu bakar, sedangkan si wanita tadi menyiapkan panci. Hingga akhirnya masakan kari leher domba itu pun matang. Ketika wanita tersebut hendak menuangkan masakannya kedalam mangkuk, tiba-tiba datanglah seorang pengemis meminta makanan untuk dimakan.

Tetapi Habib membentaknya dan berkata : “yang kami miliki ini hanyalah sedikit, jika kami memberinya kepada mu sungguh tidak akan ada yang dapat kami makan nanti malam”

Sang pengemis pun akhirnya pergi dengan rasa putus asa dengan tanpa hasil apa pun yang didapatkannya.

Baca Juga:  Wali Rajabiyyun, Kekasih Allah yang Tampak Karomahnya Hanya Ketika Bulan Rajab

Kemudian wanita tersebut mengangkat tutup panci dan melihat kedalamnya, betapa terkejutnya ia ketika melihat isi didalam panci yang sudah berubah menjadi darah yang berwarna hitam. Lantas ia pun menemui habib, menarik tangannya dan membawanya kehadapan panci lalu berkata :

“Lihatlah wahai habib, akibat perbuataanmu tadi yang telah membentak pengemis dan mencacinya, dan juga akibat praktek ribamu! beginilah yang menimpa kita didunia ini, lalu bagaimanakah di akhirat nanti?!”

Ketika Habib melihat hal ini, ia merasakan seolah ada kobaran api yang membara di dalam tubuhnya yang tidak akan pernah padam. “Wahai wanita,” ujarnya. “Aku menyesali segala yang pernah aku lakukan.”

Esok harinya, Habib kembali pergi menemui orang-orang yang berhutang padanya untuk menagih. Hari itu hari Jumat. Anak-anak terlihat bermain di jalan. Ketika mereka melihat Habib, mereka berteriak, “Lihat itu, Habib si lintah darat, jangan dekat-dekat, agar debunya tidak menempel pada tubuh kita dan membuat kita terkutuk seperti dirinya!”

Kata-kata dari anak-anak tersebut sangatlah merasuk kedalam jiwa habib, ia merasa sakit yang mendalam. hatinya bagaikan pecah berhamburan.

Kemudian Habib ‘Ajami pergi ke pengajian Syeikh Hasan al-Basri, namun sungguh suatu keadaan yang sangat tepat yang telah Allah tentukan untuknya. Ketika itu ia mendengar sebuah untaian kata dari Hasan Basri yang sangat menyentak hatinya hingga membuatnya jatuh pingsan.

Setelah sadar, ia pun bertaubat di bawah tuntunan Hasan Basri. Habib ‘Ajami bertaubat dengan sebenar-benarnya. Menyadari apa yang telah terjadi, Hasan Basri memegang tangan Habib dan menenangkannya.

Sepulangnya dari majelis pengajian tersebut, Habib terlihat oleh seseorang yang berhutang padanya, orang itu pun hendak melarikan diri. “Jangan lari,” kata Habib padanya, “Mulai sekarang, akulah yang harus melarikan diri darimu.” Habib pun berlalu.

Baca Juga:  Empat Penyebab Hilangnya Agama Islam Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilany

Anak-anak masih saja bermain di jalan. Ketika mereka melihat Habib, mereka kembali berteriak. “Lihat itu, Habib yang bertobat, jangan dekat-dekat, agar debu kita tidak menempel di tubuhnya, karena kita adalah para pendosa.”

“Ya Allah, Ya Tuhan,” tangis Habib, “Karena satu hari ini, dimana aku bertobat, Engkau telah menabuh genderang di hati-hati manusia untukku, dan membuat namaku masyhur karena kebajikan.” Lalu ia pun mengeluarkan pernyataan, “Siapa saja yang menginginkan apapun dari Habib, datanglah kepadaku dan ambil apapun yang kalian mau.”

Orang-orang pun berkumpul di rumahnya, dan dia memberikan segala apa yang dimilikinya hingga ia tak punya uang sepeserpun. Kemudian ada seorang pria datang meminta sesuatu, karena sudah tidak memiliki apa-apa lagi, Habib memberi pria itu kain istrinya. Kepada seseorang yang datang kemudian, Habib memberikan bajunya sendiri, ia menjadi telanjang dada.

Setelah kejadian itu Habib ‘Ajami mulai sering menyepi di tepi Sungai Eufrat. Di sana ia menyerahkan diri sepenuhnya untuk menyembah Allah. Setiap hari, siang dan malam, ia belajar di bawah bimbingan Hasan Basri, tapi ia tidak bisa mempelajari Al-Qur’an. Karenanya ia dijuluki ‘Ajami (Barbar).

Seiring dengan perjalanan waktu, ia pun menjadi orang yang sangat miskin. Istrinya memintanya untuk memberi nafkah sehari-hari. Maka ia pun ke luar rumah menuju tepi Sungai Eufrat untuk beribadah. Ketika malam tiba, ia kembali ke rumah.

“Suamiku, dimana engkau bekerja. Kok tidak membawa pulang apa-apa?” tanya istrinya. “Aku bekerja pada seseorang yang sangat dermawan,” jawab Habib, “Saking dermawannya ia, aku sampai malu untuk meminta sesuatu kepadanya. Bila telah tiba waktu yang tepat, ia akan memberi. Ia berkata, setiap sepuluh hari, aku membayar upah.”

Begitulah, setiap hari Habib pergi ke tepi Sungai Eufrat dan beribadah di sana, hingga sepuluh hari. Pada hari ke sepuluh, di waktu zuhur, terbetik pikiran di benaknya, “Apa yang dapat aku bawa pulang malam ini, dan apa yang akan aku katakana pada istriku?” Ia merenungkan hal ini dalam-dalam.

Baca Juga:  Abu Nawas Mencari Cincin yang Hilang

Seketika, Allah yang Maha Kuasa mengutus beberapa orang kuli ke rumah Habib dengan membawa tepung, daging domba, minyak, madu, rempah-rempah, dan bumbu dapur. Kuli-kuli tersebut menaruh barang-barang itu di depan rumah Habib. Seorang anak muda yang tampan menyertai mereka dengan membawa sebanyak tiga ratus dirham. Anak muda itu mengetuk pintu rumah Habib.

“ada keperluan apa?” tanya istri Habib kepada pemuda tersebut sambil membuka pintu, anak muda itu pun menjawab : “Tuanku telah mengirim semua ini,”. “sampaikan pada Habib, bila ia tingkatkan amalnya, niscaya akan kami tingkatkan upahnya.” Setelah mengatakan hal tersebut, anak muda itu pun pergi.

Dalam kegelapan malam, Habib ‘Ajami melangkah pulang dengan perasaan malu, gundah dan sedih karena memikirkan apa yang akan dijawabnya ketika nanti ditanya sang istri tentang hasil dari kerjanya beberapa hari ini.

Ketika ia semakin mendekati rumahnya ia mencium aroma roti dan masakan. Istrinya berlari menyambutnya, membersihkan wajahnya, dan berlaku sangat lembut padanya. “Suamiku,” katanya. “Tuanmu itu sangat baik, dermawan serta penuh cinta dan kebaikan.

Lihatlah apa yang telah ia kirimkan melalui seorang anak muda yang tampan, dan anak muda berkata, “Jika Habib pulang, katakan padanya, “Bila kau tingkatkan hasilmu, niscaya kami akan tingkatkan upahmu.

Demikianlah sekilas kisah mengenai Habib ‘Ajami, seorang pendosa yang bertaubat dengan sebenar-benarnya kepada Allah SWT, sehingga Allah mengangkat derajatnya menjadi wali-Nya di dunia dan akhirat. Semoga bermanfaat, Wallahua’lambisshawab!

{Referensi: Disarikan dari kitab Tadzkiratul Auliya’ karya Syeikh Fariduddin ‘Athar}

Muhammad Haekal