Ketika Pekik Sholawat Jadi Isyarat Bubarnya Sebuah Acara

sholawat pembubar acara

Pecihitam.org – Anda yang praktek dan ritual keagamaannya mengikuti amaliah dalam ahlus sunnah wal jamaah NU itu, pastilah tidak asing dengan segudang acara-acara keagamaan semacam tahlilan, diba’an, slametan, sholawat-an dan sebagainya. Apalagi orang kampung dan orang desa, biasanya acara-acara dan ritual masyarakat macam tadi itu selalu rutin bergilir dilaksanakan di masing-masing rumah warga masyarakat setempat. Sekarang di rumah Si A kemudian minggu depan acaranya di rumah Si B. Begitu seterusnya bergiliran.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Anggota masyarakat akan berkumpul di suatu tempat untuk membaca bacaan-bacaan tertentu sesuai konteks yang akan dipimpin oleh seseorang yang dianggap tokoh masyarakat. Tahlil untuk bila ada orang meninggal. Berbagai macam sholawat-an akan dibaca jika ada slametan. Baik slametan kelahiran, kedatangan umroh, resepsi nikah, dan semacamnya. Demikian masyarakat NU dikenal dengan kegiatan-kegiatan komunalnya. Kebersamaan, dan gotong royong.

Dan biasanya, nahdliyyin tidak akan asing dengan kalimat allahumma sholli ‘ala Muhammad di akhir acara yang akan diteriakkan oleh salah seorang peserta acara sebelum kemudian semua peserta akan bubar dengan sendirinya. Ya semacam aba-aba untuk para peserta bahwa acaranya sudah selesai dan boleh minggat pulang.

“Allahumma sholli ‘ala Muhammad,” salah seorang membacanya dengan lantang. Kemudian semua serentak menjawab dengan nada menggelegar “Shallallahu ‘alaih …” Lalu semuanya kompak mengambil sandal satu per satu, pulang ke rumah masing-masing membawa bingkisan dari tuan rumah yang biasa orang-orang sebut sebagai Bherkat. Begitu ilustrasi singkatnya.

Tidak hanya dalam acara-acara dan ritual keagamaan saja, sholawat nabi tersebut kadang dijadikan sebagai aba-aba membubarkan peserta acara di berbagai kegiatan. Sesudah rapat, allahumma sholli ‘ala Muhammad, lalu Bubar. Sehabis makan bareng anggota organisasi, allahumma sholli ‘ala Muhammad, kemudian bubar. Beserta acara-acara lain yang akan melibatkan orang banyak. Sholawat nabi sudah tak ubahnya kalimat aba-aba pembubar barisan semisal “bubar jalan” dalam hal baris-berbaris.

Baca Juga:  Anak Yatim, Mereka yang Sering Terlupakan

Ya, di balik segudang fungsi dan faedah sholawat, orang-orang NU mempunyai cara tersendiri untuk dapat memfungsikan kalimat sholawat nabi ini dengan sedikit unik dan fungsional. Hampir sama seperti kalimat “Allahu akbar” yang biasa dugunakan untuk menggaungkan dan menggemakan audiens dalam sebuah demo atau acara-acara deklarasi. Namun sholawat nabi mempunyai posisi di akhir acara yang fungsinya tidak kalah praktis, yaitu untuk mempersilahkan para peserta acara bubar dan pulang ke kediaman masing-masing.

Sebenarnya tidak semua masyarakat NU sih yang baca sholawat nabi untuk membubarkan acara. Beberapa ada yang tidak pakai aba-aba dan langsung pulang begitu saja. Tapi yang sering saya temui di berbagai tempat ya gitu. Akan ada aba-aba berupa sholawat sebelum para peserta memisahkan diri dari acara.

Bagi orang yang berpikiran sinis terhadap kebiasaan masyarakat yang seperti itu, mereka akan mengkritik dan berkomentar yang tidak tidak. Seperti salah seorang teman saya yang bilang: “Sholawat kok yo dijadikan pembubar ummat, kan mestinya mempersatukan” begitu kira-kira redaksinya. Ada juga sebuah guyonan receh ala-ala Muhammadiyah-an perihal “sholawat pembubar acara” tadi yang begini bunyinya: “Orang-orang NU tuh kok yo takut sama sholawat. Dibacain sholawat pas selesai acara eh malah kabur” hahaha, ndak lucu ya. Hmmzz.

Ok, baik. Banyak sekali amaliah-amaliah NU yang menurut beberapa kelompok tidaklah masuk akal bahkan terkadang lucu. Sebagian bahkan mengatakannya sesat. Seperti ziarah kubur. Kalau orang-orang non-NU melihatnya mungkin mereka akan bilang ngapain juga berdoa di kuburan, berdoa tuh di masjid ya akhi. Demikian pula beberapa acara yang diisi dengan membaca suatu bacaan seperti tahlil dan sacamnya secara bersama-sama. Mungkin ada yang akan bilang: “berani-beraninya orang NU demo sama tuhan.” Begitu juga kebiasaan membaca sholawat untuk memberi aba-aba pembubaran acara juga menuai banyak kritik.

Baca Juga:  Pro Kontra Hukum Musik dalam Islam

Plis, cuma hal-hal sepele kayak gitu tak perlu diprotes dan dikritik segala macam. Masih untung masyarakat mau baca sholawat. Kalo sudah ga mau baca sholawat gara-gara baper kamu kritik terus siapa yang salah hayo? Kritik untuk pembacaan sholawat sebagai aba-aba pembubar acara ada masuk akalnya juga sih. Masak iya untuk membubarkan ummat pake embel-embel agama, kan mestinya untuk menyatukan. Iya juga sih, masuk akal, tapi dikit.

Begini ya, dalam konteks acara atau sebuah kegiatan apapun, bila acara sudah berakhir, tanpa diberi aba-aba pun orang-orang akan pulang dengan sendirinya, masing-masing akan saling berpisah. Cuma kan di sana ada banyak orang yang ikut acara, jadi beberapa pasti akan ada yang canggung untuk pulang duluan. Takut ada acara tambahan kek, atau mungkin ada bingkisan tambahan, kan eman. Jadi biar semakin memperjelas bahwa acara sudah benar-benar selesai dan tidak akan ada rangkaian acara lagi maka diperlukanlah aba-aba pembubar. Mosok yo moro-moro minggat gitu aja, kan yo kurang pantes.

Aba-abanya pake apa? Masak pake “bubar jalan”? Masak mau nyanyi lagu Gelang Sepatu Gelang kayak anak TK? Kan yo ndak pantes juga. Biar lebih islami dan ala-ala syar’i, maka aba-abanya peke sholawat nabi aja. Pake sholawatnya ga usah panjang-panjang, cukup allahumma sholli ‘ala Muhammad. Karena ada hadis yang bilang ketika nama nabi Muhammad disebut maka yang dengar juga harus baca sholawat. Ga ada salahnya dong kalo yang hadir di acara secara serempak juga akan menjawab dengan sholawat. Allahumma sholli ‘ala Muhammad, shallahu ‘alaiah. Begitu saudara.

Baca Juga:  Ketika Umat Islam Belum Mampu Bedakan Penceramah dengan Ulama

Jadi bukan maksud untuk membubarkan ummat. Acara kalo dah selesai ya sudah sewajarnya peserta akan bubar dan balik ke rumah masing-masing. Masak mau nginep di tuan rumah? Ga perlu lah sinis yang macem-macem. Menutup acara dengan sholawat nabi itu namanya husnul khotimah, bukan? Kalo di awal acara dibuka dengan Al-Fatihah maka belakangnya harus ditutup dengan yang baik-baik juga, salah satu caranya ya dengan memberi aba-aba berupa sholawat nabi.

Iya memang fungsinya untuk membubarkan, tapi kan bukan dalam arti bermusuhan kok. Toh nanti masyarakat akan kembali berkumpul bersama lagi dalam acara rutinan yang sama minggu depan. Jadi tak perlu risau. Anggap saja sholawat sehabis acara itu pertanda bahwa peserta sudah boleh pulang, wes simple aja. Hitung-hitung acaranya biar berkah, kan?

M. Fakhruddin Al-Razi
Latest posts by M. Fakhruddin Al-Razi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *