Tirakat yang Kurang Religius

Tirakat yang Kurang Religius

Pecihitam.org – Sudah saatnya konsep agama samawi bertransformasi menjadi agama yang mendukung perubahan dan perkembangan zaman. Agar kalimat-kalimat tauhid tidak hanya bergema dalam hati dan lisan, tapi juga tercermin dalam sikap, perilaku, dan tindakan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Begitupun konsep tirakat yang menjadi turunan dari ritual keagamaan. Kalau konsep inti dari agama saja bisa larut dan membaur di setiap situasi dan zaman, maka sudah sewajarnya teknis-teknis cabang keagamaan semacam tirakat pun patut untuk disesuaikan dengan kondisi zaman.

Mengingat bahwa pemahaman tentang tirakat yang masih banyak terkesan dengan hal-hal semacam “menyepi” dan menjauhi hal-hal duniawi untuk bisa fokus kembali pada Tuhan, saya rasa mungkin sudah saatnya pemahaman itu layak kita tinggalkan.

Bahwa mendekatkan diri pada Tuhan tidak mesti harus menjauhi hal-hal duniawi. Bahkan semakin mendekatkan diri dengan urusan dunia pun bisa kita jadikan media untuk beribadah. Dengan catatan tidak sampai terlena dan dilandasi atas niat yang baik.

Kita tentu paham bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi. Maka bagaimana kita akan fokus beribadah menghadap pada Tuhan bila tugas kita di bumi saja belum terpenuhi?

Hal, ini pun akan berlaku bagi semua orang. Terutama kaum santri. Sebagai kelompok yang berfokus pada agama, santri sudah sepatutnyalah bisa memberi warna baru bagi praktik-praktik keagamaan. Begitupun dalam hal bertirakat.

Baca Juga:  Tahun 2020 Menjadi Nuqthatul Inthilaq (Titik Tolak) Globalisasi NU

Bertirakat saya rasa juga bisa dilakukan dengan cara memberi kontribusi pada peradaban manusia. Baik itu dengan cara apapun tergantung minat dan bakat.

Mungkin yang paling bisa dilakukan bagi para santri adalah dengan cara khidmat mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan dengan niatan kelak ketika keluar pesantren dan terjun ke masyarakat, santri sudah siap dengan segenap pengetahuan yang pernah dipelajari sebelumnya.

Dengan niat belajar untuk bisa mengabdikan diri pada masyarakat pun secara tidak langsung kita sudah mempunyai maksud untuk mengabdikan diri pada perkembangan dan kemajuan agama Islam itu sendiri.

Dengan begitu, maka kita akan mendapatkan dua hal sekaligus. Pertama, nilai-nilai ibadah yang kita dapat dari niat baik belajar. Kedua, kita juga bisa berkontribusi dan mewarnai peradaban manusia.

Sehingga, sebagai sebuah agama, Islam tidak hanya menjadi ajaran yang abai terhadap urusan dunia demi menggapai “sesuatu” di akhirat. Bahkan dulunya pun Islam turun untuk kesejahteraan manusia. Kalau Islam saja turun untuk mensejahterakan umat manusia, mengapa untuk beribadah lebih-lebih bertirakat kita malah musti meninggalkan urusan-urusan kemanusiaan?

Baca Juga:  Non Muslim Itu Kafir atau “Dikafirkan?” Ini Pendapat KH. Afifuddin Harisah

Selain itu, teorema “ibadah” dalam Islam pun tidak hanya terbatas pada sejumlah ritual dan praktek-praktek formal-teknis keagamaan saja. Tidak hanya berbentuk upacara, pemujaan, dan segala macam hal ubudiyah yang sudah paten tertertera tata caranya dalam agama.

Selain itu, dalam Islam ada juga istilah yang dikenal dengan “ibadah ghairu mahdhah”. Yakni segala hal yang dinilai ibadah dan ada prinsipnya dalam agama tapi tidak secara teknis dijelaskan langkah dan tata caranya dalam bentuk formal gerakan-gerakan peribadatan. Seperti halnya bersedekah dan menolong orang.

Terkait denga istilah tirakat tadi, sepertinya yang selama ini masih melekat dalam pemahaman umum adalah bahwa tirakat hanya terbatas untuk ibadah-ibadah mahdhah saja. Hanya terbatas pada ibadah-ibadah keritualan saja. Tidak sampai menyentuh ranah ibadah ghairu mahdhah. Padahal kalau mau bicara idealitas kerelegiusan, tidak bisa kita hanya mengukur pada satu sisi saja.

Bila memang tirakat adalah usaha memfokuskan diri untuk ibadah dan mendekatkan diri pada tuhan, sementara ibadah itu secara umum ada dua cabangnya, maka mau tidak mau pemahaman tentang tirakat harus kita perlebar kembali. Sehingga tidak hanya dari sisi ritual saja tirakat dinilai religius, tapi juga dari sisi sosialnya.

Baca Juga:  Jenis jenis Ibadah dalam Islam yang Perlu Kita Ketahui

Tidak hanya bagi kalangan santri atau yang fokus mengkaji dan mengaji agama saja. Siapapun bisa melaksanakan tirakat baik itu secara ritual lebih-lebih secara sosial tergantung kemampuan dan keahlian. Selama tindakan dan perilaku beragama itu tidak sampai membuat kita abai dengan kondisi dan situasi sosial. Sebab kita adalah khalifah di muka bumi dan agama kita pun diturunkan untuk memperbaiki kondisi sosial.

Sehingga baik secara kodrat ataupun ajaran yang kita bawa pun sudah mengharuskan manusia utamanya umat Islam untuk tidak melepas diri dari situasi sosial. Sehingga bila kita kemudian meniadakan aspek sosial-kemanusiaan dalam perilaku agama kita, maka sudah senyatanyalah tindakan kita bisa dikatakan timbang sebelah, atau kurang sempurna.

M. Fakhruddin Al-Razi
Latest posts by M. Fakhruddin Al-Razi (see all)