Non Muslim Itu Kafir atau “Dikafirkan?” Ini Pendapat KH. Afifuddin Harisah

Non Muslim atauKafir

Oleh: KH. Afifuddin Harisah ( Dosen Universitas Islam Makassar )

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pecihitam.org – Perhelatan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar  (Konbes) Nahdlatul Ulama tahun 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar Jawa Barat telah berakhir. Kegiatan Munas dan Konbes NU, selain merupakan agenda penting organisasi yang saat ini dipimpin oleh Prof. Dr. K.H. Said Agil Siraj, tetapi lebih dari itu merupakan bentuk kontribusi pemikiran dan peran sosial keagamaan ulama Nahdliyyin kepada umat Islam secara khusus, dan bangsa Indonesia secara umum.

Sejak awal didirikannya NU sebagai jam’iyyah (ormas) dan keberlangsungan Munas Alim Ulama NU ini, telah banyak rekomendasi yang ditelorkan dan tentunya memberikan manfaat yang besar dalam bidang dakwah keagamaan dan penciptaan iklim berbangsa dan bernegara yang positif di kalangan warga nahdliyyin. Pada akar rumput, perhelatan Munas dan Konbes NU sangat ditunggu-tunggu masyarakat karena menjadi ajang silaturrahim antar warga NU dan even yang dimanfaatkan para pedagang setempat untuk meraup keuntungan dari peserta dan simpatisan kegiatan yang berskala nasional tersebut.

Salah satu tema yang diangkat pada Musyawarah Nasional Alim Ulama NU itu adalah status non-muslim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Topik ini masuk dalam materi pembahasan Komisi Bahtsul Masa’il Diniyyah Mawdlu’iyyah yang kebetulan penulis adalah salah satu peserta mewakili PWNU Sulawesi Selatan di komisi tersebut. Komisi ini fokus pada persoalan-persoalan umat yang dikaji dan dijelaskan secara tematik.

Sebelum masuk kepada persoalan status non-muslim, para musyawirin (peserta Musyawarah) telah sepakat bahwa Indonesia adalah negara bangsa (nation state), bukan negara agama apalagi khilafah, dan Pancasila, sebagai perwujudan nilai Piagam Madinah, telah menyatukan berbagai elemen bangsa yang plural, dari sudut agama, etnis, maupun budaya, dalam satu kesatuan Negara Indonesia atau disingkat NKRI. Di bawah payung Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara, seluruh warga negara, apapun etnis, suku dan agamanya, adalah setara dan tidak lebih unggul dari yang lainnya.   

Baca juga: Tak Mampu Berbahtsul Masail dengan Kyai NU, Para Juhala Hanya Bisa “Teriak” Tanpa Ilmu 

Persoalan kemudian mencuat ketika hasil keputusan Bahtsul Masa’il dirumuskan dan menjadi rekomendasi Munas. Hasil pembahasan komisi Bahtsul Masa’il Diniyyah Mawdlu’iyyah di antaranya menyebutkan bahwa status non-muslim di NKRI sebagai nation state adalah setara dengan warga muslim yang lain dan dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara tidak membolehkan menggunakan sebutan kafir atau kuffar  kepada warga non-muslim, apapun agama dan keyakinannya.

Baca Juga:  Mengupas Istilah: Poligami adalah Hak Wanita dan Pria Wajib Memenuhinya

Larangan ini tidak ada relevansinya dengan ideologi dan keyakinan masing-masing agama, tetapi lebih didasarkan pada alasan bahwa penyebutan kafir kepada non-muslim oleh orang muslim dikhawatirkan akan mencederai hubungan baik dan harmonisasi kehidupan antar umat beragama. Sebagaimana diketahui bahwa NU, dalam membina hidup  sosial kemasyarakatan,  memiliki tiga konsep persaudaraan, yaitu ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim),  ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa dan setanah air) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia).

Polemik pun terjadi dalam menyikapi rekomendasi Munas NU tersebut, khususnya di dunia maya dan media sosial. Sebagian menstigmatisasi, entah apakah berdasarkan pembacaan yang obyektif atau tidak, bahwa NU (berniat) menghilangkan lafal kafir  dalam Alquran. Berbagai ungkapan disematkan kepada organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Mau merevisi ayat lah, meralat hukum Allah lah, mengganti surah al-Kafirun dengan surah non-muslim dan sebagainya. Karena itu, di sini penulis merasa perlu menjelaskan perkara yang sebenarnya agar semua dapat mencerna dengan baik.

Pertama, Bahsul Masail, sebagai agenda utama dalam setiap Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, adalah kontribusi pemikiran para alim ulama NU dalam menyelesaikan problematika umat, baik itu masalah qanuniyah (hukum perundang-undangan), masalah waqi’iyyah (persolan-persoalan kontemporer) maupun masalah mawdlu’iyyah (tematik). Bahsul masail sama sekali tidak bertujuan dan tidak akan pernah ditujukan untuk merevisi ataupun mengganti satu pun ayat Alquran atau hadis Nabi saw., seperti yang diviralkan di media-media sosial. Keseluruhan ayat Alquran bersifat qath’iy al-wurud, haram diganti atau dirubah. Justru yang terasa adalah dinamika dan semangat ijtihad untuk mewujudkan kemaslahatan universal.

Kedua, dengan perangkat Munas Alim Ulama-nya, , NU, merupakan perwujudan fungsi wasathan dalam arti penengah dalam diversitas pemahaman agama dan pluralitas sosial-budaya masyarakat muslim Indonesia. Khusus dalam tema status non-muslim, kafir atau tidak, NU merasa sangat perlu membantu  pemerintah menciptakan suasana kehidupan keberagamaan dan keumatan yang kondusif, aman, tenteram dan harmonis. Tudingan dan sebutan kafir, kuffar dan musyrik¸meski secara tekstual ada dalam Alquran, dan hal serupa pun ada dalam kitab-kitab suci yang lain, namun dalam konteks negara bangsa, sebutan-sebutan itu tidak sepantasnya disasarkan dan di’tembak’kan kepada non-muslim yang nota bene adalah juga warga yang memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan dan keamanan.

Baca Juga:  Khazanah Tentang Bagaimana Meneguhkan Moderasi Islam

Ketiga, sangat berbeda dari konsep negara agama (dawlah islamiyah atau khilafah), dalam konsep negara bangsa tidak dikenal distingsi berdasarkan iman atau kafir. Di Indonesia ini, warga negara hanya dibedakan dalam kategori warga negara Indonesia (WNI) atau warga negara asing (WNA). Oleh karena itu, penggunaan istilah kafir terhadap warga non-muslim sangat tidak tepat dan tidak relevan. Penyebutan seperti itu akan berekses kepada klaim benar atau salah (thruth claim), kelompok baik dan buruk, dan pada memunculkan stereotype manusia selamat dan manusia celaka atau ahli neraka. Pastinya, dalam konteks hubungan sosial perilaku tersebut sangat mungkin berakibat  pontensi konflik ideologis yang sangat berbahaya. Dalam prinsip hukum Islam, segala potensi bahaya dan membahayakan wajib dihilangkan atau dihindari.

Hadis Nabi saw. menyebutkan: laa dlarara wa laa dliraar (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain) dan kaidah fiqhiyah menegaskan al-dlarar yuzaalu (segala bahaya harus dihilangkan).

Ketiga, sangat berbeda dari konsep negara agama (dawlah islamiyah atau khilafah), dalam konsep negara bangsa tidak dikenal distingsi berdasarkan iman atau kafir. Di Indonesia ini, warga negara hanya dibedakan dalam kategori warga negara Indonesia (WNI) atau warga negara asing (WNA).

Oleh karena itu, penggunaan istilah kafir terhadap warga non-muslim sangat tidak tepat dan tidak relevan. Penyebutan seperti itu akan berekses kepada klaim benar atau salah (thruth claim), kelompok baik dan buruk, dan pada memunculkan stereotype manusia selamat dan manusia celaka atau ahli neraka. Pastinya, dalam konteks hubungan sosial perilaku tersebut sangat mungkin berakibat  pontensi konflik ideologis yang sangat berbahaya. Dalam prinsip hukum Islam, segala potensi bahaya dan membahayakan wajib dihilangkan atau dihindari. Hadis Nabi saw. menyebutkan: laa dlarara wa laa dliraar (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain) dan kaidah fiqhiyah menegaskan al-dlarar yuzaalu (segala bahaya harus dihilangkan).

Keempat, makna kafir dalam nas Alquran tidak tunggal. Kata kafara  dan keselurahan bentuk tashrifnya disebutkan kurang lebih 525 kali dalam teks Alquran yang memiliki makna yang sangat beragam. Tidak hanya merujuk pada makna teologis (mengingkari keesaan Allah dan risalah Rasul-Nya) tetapi juga pada makna-makna sosiologis, politis dan etis. Sebutlah contoh istilah kufur nikmat yang bermakna mengingkari atau menyalahgunakan nikmat Allah, meski dia mengaku muslim.

Baca Juga:  Non-Muslim Pun Punya Hak Mendirikan Rumah Ibadah di Indonesia

Jika merujuk kepada kajian fikih klasik, dan ini yang diperdebatkan dalam Munas, ulama Salaf telah membedakan kafir dalam empat karegori, yaitu Kafir Harbiy, Kafir Zimmiy, Kafir Mu’ahad dan Kafir Musta’man.

Kafir Harbiy adalah orang kafir yang agresif dan nyata melakukan penyerangan atau membahayakan umat Islam. Mereka ini harus diperangi. Kafir Zimmiy adalah orang kafir yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam, tunduk dan dilindungi dengan kewajiban membayar jizyah (pajak perlindungan). Kafir Mu’ahad adalah orang kafir yang berpotensi agresif tetapi dilindungi atas dasar perjanjian (‘ahd) dalam tempo tertentu. Sedang Kafir Musta’man adalah orang kafir yang datang ke negeri Islam dan minta perlindungan, lalu pada akhirnya diberi perlindungan oleh penguasa muslim.

Keempat kategori tersebut bersifat sosiologis-politis, bukan teologis. Tidak ada satupun yang cocok diterapkan pada non-muslim yang menetap di Indonesia. Mareka bukan Zimmiy, Mu’ahad, Musta’man, apalagi Harbiy. Karena itu, para ulama yang hadir pada Munas menyepakati bahwa penyebutan kafir, dengan merujuk pada kategorisasi fikih, tidak boleh diterapkan dan digunakan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.  Mereka, Non-muslim, adalah mustawthin atau penduduk sah di NKRI.

Baca juga: Sekjen Muhammadiyah: Sudah Saatnya Kelompok Moderat Tak Boleh Diam

Pertanyaannya sekarang, setelah sekian lama kita merasakan kedamaian dalam hidup beragama, apa tujuan  menyebut non-muslim dengan diksi kafir? Dalam akidah Islam diyakini ada orang kafir dan sifat kekafiran, sebagaimana ada pahala dan dosa, ada surga dan neraka, Konsep itu merupakan sumber nilai etis dalam membina kepribadian muslim. Karena itu, seorang muslim dapat dianggap melakukan kekufuran jika ia meninggalkan kewajiban shalat misalnya.

Apakah non-muslim adalah kafir, ataukah “dikafirkan” oleh pihak yang alergi dengan pluralitas keberagamaan di Indonesia, yang sebenarnya adalah realitas yang tidak dapat ditolak oleh siapapun (Sunnatullah)? persoalan siapa yang kafir dan tidak kafir bukan kewenangan manusia. Tugas kita adalah menghindari sifat-sifat dan perilaku-perilaku kufr seperti menolak kebenaran, menebar kebencian, hate speech, hoax dan kebohongan.

Sumber: Koran Tribun Timur, 08/03/19

KH Afifuddin Harisah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *