KH Afifuddin Harisah: Rasulullah Membenci Chaos, Pelakunya dan Segala Bentuk Provokasi

KH Afifuddin Harisah Rasulullah Membenci Chaos

oleh KH. Afifuddin Harisah

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pecihitam.org – Pesta demokrasi telah usai. Perhelatan akbar demokrasi di Indonesia yang pertama kalinya melaksanakan pemilihan presiden, DPR RI, DPRD I, DPRD II dan DPD serentak pada satu even.

Terlepas dari kekurangan dan ketidaksempurnaan dari sisi manajemen teknis dan operasional logistiknya, kita wajib mengapresiasi kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada pelaksanaan pemilu tahun 2019 ini.

Sangat tidak mudah melaksanakan pemilu serentak dengan jumlah penduduk dan rentang geografis yang sangat luas seperti di negara kita ini.

Satu catatan penting yang dikemukakan beberapa pengamat politik, pada pemilu (election) kali ini, masyarakat ternyata lebih mementingkan pemilihan presiden-wakil presiden (Pilpres) dari pada yang lain.

Dengan kata lain, pemilihan presiden jauh lebih menarik dan sexy di mata masyarakat ketimbang pemilihan calon legislatif di semua tingkatan. Pastinya disebabkan oleh peran teknologi informasi dan medsos yang sangat gencar.

Gesekan-gesekan politis antar kompetitor lebih dominan terjadi pada ranah pilpres. Upaya tim pemenangan masing-masing paslon untuk mendapatkan suara dan kampanye pilpres, yang telah dimulai sejak tujuh bulan lalu, harus diakui telah memeras energi dan biaya finansial yang tidak sedikit.

Sebagaimana lumrahnya sebuah kontestasi politik pada level apapun, pasti dan mesti ada pihak yang menang dan ada yang kalah. Ada yang terpilih dan ada yang tereliminasi. Tidak mungkin semuanya menang dan semuanya kalah.

Sistem demokrasi menghendaki adanya pemimpin yang terpilih dengan dukungan suara terbanyak, bukan pemimpin yang disepakati oleh semua pihak, pemimpin yang memaksakan diri dan terlebih lagi ‘dipaksakan’ oleh golongan tertentu.

Baca Juga:  Non Muslim Itu Kafir atau “Dikafirkan?” Ini Pendapat KH. Afifuddin Harisah

Allah sendiri telah tegas menyatakan, dengan logika qur’ani-nya, bahwa alam menolak adanya dualisme kekuasaan. Allah berfirman: “law kaana fiihimaa aalihatun illa Allah lafasadataa…” Jika sekiranya ada tuhan lain selain Allah, maka pastilah alam ini, bumi dan langit, akan rusak. Jika ada ada dualisme dalam sistem kekuasaan politik dalam satu negara, maka tunggulah kehancurannya.

Islam yang berdiri di atas pondasi ideologi Ahlussunnah wal jama’ah tegas menolak segala faktor yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran masyarakat atau negara. Sejak berdirinya negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) para ulama dan tokoh-tokoh besar the founding fathers telah meletakkan prinsip kebijakan dan kesantunan dalam berpolitik. Sikap mereka jelas, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara wajib dikedepankan dari pada kepentingan agama dan golongan.

Kaidah menyebutkan, tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah, yaitu bahwa kebijakan dan keputusan pemimpin dalam kekuasaannya terhadap rakyat harus berorientasi kepada kemaslahatan, bukan intimidasi dan provokasi kepada konflik yang membahayakan kehidupan masyarakat secara luas.

Perilaku politik seharusnya bermuara kepada keselamatan umat dari perpecahan dan hilangnya kedamaian (chaos). Ambisi dan tujuan para elit politik sangat diharapkan terayomi oleh semngat untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, lebih dari pada sekedar kemenangan pada kontestasi pilpers dan pileg.

Kaidah yang lebih populer di kalangan ulama menyebutkan, Dar’u al-mafasid muqaddam ala jalb al-mashalih (mencegah kerusakan, dalam arti kekacauan dan kisruh yang destruktif, harus lebih diutamakan dari pada mengejar kemaslahatan atau kemenangan).

Baca Juga:  Gus Dur dan Asam Lambung

Chaos dan segala bentuk upaya menciptakan konflik internal yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan kedamaian adalah terlarang dalam Islam. Apatah lagi pemberontakan fisik bersenjata kepada sesama muslim atau pemerintah muslim.

Rasulullah saw. tegas menyatakan bahwa mereka yang melakukan pemberontakan bersenjata terhadap kaum muslimin tidak lagi menjadi bagian dari kaum muslimin itu sendiri.

Rasulullah saw , sebagaimana diriwayatkan Abdullah bin Umar, dalam sahih al-Bukhari, bersabda, “man hamala ‘alainaa al-silaha falaisa minna.” Barang siapa yang mengangkat senjatanya melawan kami (umat sesama muslim), maka dia bukan golongan kami.

Islam bukan saja melarang mengangkat senjata, bahkan menginisiasi perlawanan bersenjata dan memprovokasi muslim untuk melawan pemerintah disebut sebagai aksi kekafiran.

Karena itu, agar berbeda dengan terorisme dan makar (bughat), seseorang seharusnya menggunakan cara-cara damai dan konstitusional untuk mengkritisi pemerintah yang dianggap zalim. Perlawanan fisik bukan pilihan utama dalam amar ma’ruf nahi munkar.

Walaupun penguasa atau pemerintah muslim telah melakukan kezaliman dan ketidakadilan, tetap saja pemberontakan bersenjata untuk melawan pemerintah yang sah sama sekali tidak diperbolehkan.

Meski demikian, ini tidak berarti bahwa pemerintah dibolehkan secara bebas meneruskan kezaliman dan ketidakadilannya. Ada rambu dan cara-cara etis yang diajarkan oleh Islam dalam upaya memerangi kezaliman. Rasulullah saw bersabda, “Inna afdhal al-jihad kalimat haqqin ‘inda sulthan jaair”, sesungguhnya jihad yang paling utama adalah berkata benar, konstruktif dan etis di hadapan pemimpin yang zalim.

Baca Juga:  Pesan Pemilu dari Gus Mus: Kalau Kalah Legowo, Kalau Menang Tak Euforia Berlebihan

Lebih jelas lagi, ‘Auf bin Malik, diriwayatkan dalam sahih Muslim, menyebutkan hadis bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Pemimpin yang baik adalah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kebaikan bagi kalian dan kalian pun mendoakan kebaikan bagi mereka. Adapun pemimpin yang buruk adalah orang-orang kalian membenci mereka dan mereka pun melaknat kalian. Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkan kami memerangi mereka dengan pedang?” Nabi menjawab, “Tidak boleh, selama mereka melaksanakan shalat di antara kalian. Jika kalian melihat pemerintah melakukan yang kalian benci, maka bencilah perbuatannnya dan jangan membelot dari ketaatan pada mereka.”

Rasulullah saw membenci chaos, pelaku chaos dan segala bentuk pengerahan massa dan provokasi untuk menciptakan chaos. Wallahu a’lam

Tulisan ini pertama kali terbit pada kolom opini Tribun Timur Jumat, 03 Mei 2019 halaman 13 dengan Judul “Rasulullah Membenci Kekacauan”

KH Afifuddin Harisah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *