Kritik atas Konsep Negara Islam

Kritik atas Konsep Negara Islam

Pecihitam.org – Belakangan ini, wacana perihal perlunya mendirikan negara Islam banyak dibicarakan. Besarnya pembicaraan soal negara Islam itu sebagian besar didorong oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung ide khilfah Islamiyah. Meskipun organisasi mereka telah dibubarkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, namun gema pembicaraan dan wacana tentang isu itu masih besar.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Perihal gagasan negara Islam tersebut, kebanyakan mereka para pengusungnya, melandasi konsep tersebut berdasarkan salah satu penggalan surat Al Baqarah (ayat 128) “udkhulû fi al-silmi kâffah”. Adapun arti secara umumnya adalah “masuklah kalian ke dalam Islam secara penuh.”

Melalui legitimasi atas dalil tersebut, mereka para pengusung gagasan negara Islam ataupun khilafah Islamiyah mengajak segenap umat Islam di negeri kita untuk mematuhi perintah untuk mendirikan negara Islam. Dalam kampanyenya, mereka biasanya juga mengkritik –yang sebetulnya nyinyir– terhadap konsepsi kenegaraan kita saat ini “Pancasila” yang oleh mereka dianggap sebagai thaghut, semacam berhala sekuler.

Melalui tulisan ini, penulis ingin mendiskusikan ulang atas klaim-klaim dari kelompok pengusung negara Islam ataupun khilafah Islamiyah yang menurut saya memiliki problem-problem dalam pemahaman dan penafsirannya.

Adapun problem pertama adalah perihal tafsir mereka atas surat Al Baqarah ayat 128 yang mereka klaim sebagai landasan perlunya mendirikan negara Islam. Pada ayat tersebut, mereka menterjemahkan kata “al-silmi” sebagai Islam.  Padahal, kata tersebut sebetulnya tidaklah bermakna tunggal dan untuk memahaminya kita perlu merujuk penjelasan dari ayat-ayat yang lain agar dapat mendapatkan pemahaman yang menyeluruh.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam esainya “Adakah Sistem Islami?” menjelaskan bahwa kata “al-silmi” dalam ayat tersebut merujuk kepada makna kedamaian. Kata kedamaian menurutnya memiliki makna yang sangat universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sistem tertentu, termasuk sistem Islami.

Baca Juga:  Maulid Nabi dan Ihwal Spirit Perdamaian dari Dakwah Rasulullah

Kemudian, untuk memahami lebih lanjut perihal ayat tersebut perlu merujuk kepada ayat-ayat lain supaya dapat dipahami dengan utuh apakah perlu adanya negara Islam dalam umat Islam. Menurut Gus Dur, jika ayat tersebut mewajibkan umat Islam untuk mendirikan sistem Islami ataupun negara Islam, mengapa dalam ayat yang lain ada perintah untuk setiap muslim memiliki kewajiban etis yang sifatnya personal dan sama sekali tak terkait dengan adanya sebuah sistem yang Islami.

Misalnya ada ayat lain dalam Al Qur’an yang menyebutkan adanya lima syarat bagi orang Islam supaya dapat  diakui menjadi seorang “muslim yang baik.” Adapun kelima syarat tersebut meliputi: menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum miskin dan sebagainya), menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan.

Adapun kelima syarat tersebut status kewajibannya dalam Al Qur’an ditujukan kepada individu orang Islam. Kewajiban etis yang sifatnya personal tersebut agaknya lebih mendekati kebenaran dan nyambung dengan kata “al-silmi” yang diterjemahkan dengan kata kedamaian. Jika setiap orang Islam diwajibkan untuk menegakkan kebaikan dalam level personal, tentu saja hal ini akan memengaruhi terjadinya keselaran dalam level masyarakat.

Dengan kata lain, jika setiap orang Islam sudah mampu melaksanakan kebaikan-kebaikan, maka hal itu akan berdampak kepada kedamaian dalam level masyarakat. Maka dari itu, anjuran dalam surat Al Baqarah ayat 128 untuk “masuklah kedalam Islam secara kaffah atau sempurna,” berarti sebuah tuntutan etis untuk menjadi seorang muslim yang punya perangai ataupun etika yang baik, agar masyarakat dapat damai (Islami).

Baca Juga:  Kerancuan dan Sesatnya Konsep Khilafah Hizbut Tahrir

Adapun tafsir yang lebih humanis seperti ini, saat ini memiliki relevansi yang besar dengan situasi sosial kemasyarakatan Indonesia. Di Indonesia, kita memiliki catatan historis yang damai dengan kelompok di luar Islam yang jumlah kelompoknya sangat banyak dan beragam. Nah, dalam kondisi yang sedari awal penuh perdamaian dan persaudaraan tersebut sangat tidak relevan dan tidak memiliki keharusan untuk mendirikan negara Islam.

Sebab, konsep negara Islam sendiri, dalam level praktik akan menemui problem-problem kemanusiaan lanjutan. Ketika negara Islam didirikan, tentu saja kemudian akan memecah belah perdamaian dan persaudaraan yang hingga saat ini secara kultural telah terbentuk. Dengan adanya negara Islam, maka kelompok di luar Islam yang jumlahnya ratusan itu juga akan mendapat diskriminasi karena menjadi warganegara nomor dua. Dengan demikian, sama sekali tak ada maslahatnya.

Kemudian, adapun problem kedua yang perlu diperbincangkan lagi adalah perihal klaim dari kalangan pengusung negara Islam yang menganggap negara dengan basis filosofis –Weltanchaung menurut Bung Karno– “Pancasila” merupakan sebuah negara thaghut, negara berhala yang tidak menaati anjuran Islam.

Klaim tersebut sangat lemah, sebab sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Islam sendiri yang diwajibkan bukanlah mendirikan sebuah sistem politik yang Islami. Tetapi, yang diwajibkan oleh Al Qur’an adalah setiap orang Islam (individu) untuk senantiasa menegakkan iman dan kebaikan. Dengan demikan, tuntunan Islam sendiri levelnya adalah personal, bukan sistemik.

Baca Juga:  Gagal Paham Ide Pendirian Negara Islam

Terlebih lagi, dalam sistem negara Indonesia saat ini dengan filosofi Pancasila, umat Islam dan umat-umat agama lain juga telah memiliki kebebasan beragama seluas-luasya. Semua kegiatan keagamaan apapun diperbolehkan: salat jama’ah, tabligh akbar, haji, zakat dan lain sebagainya, semuanya diperbolehkan. Dengan demikian negara Indonesia ini bukanlah negara thaghut.

Kemudian, secara historis konstitusi kita juga telah menjadikan agama (termasuk Islam) menjadi salah satu sumber hukum negara. Hal ini dapat dirujuk melalui sila pertama dari Pancasila, yakni “Ketuhanan yang Maha Esa.” Dengan demikian, klaim sembrono negara Indonesia sebagai taghut adalah sebuah kebebalan yang tak ada ujungnya.

Demikianlah secara panjang lebar telah diulas perihal kritik atas kekeliruan pemahaman dan klaim-klaim tentang konsep negara Islam. Di dalamnya memiliki kekeliruan pemahaman penafsiran atas salah satu ayat Al Qur’an dan sekaligus juga kekeliruan dalam memahami bentuk negara Indonesia saat ini. Wallahua’lam.