Kritik Atas Nalar Teologi Politik Fundamentalisme Islam

Kritik Atas Nalar Teologi Politik Fundamentalisme Islam

Pecihitam.org – Secara konseptual, gerakan teologi politik fundamentalisme Islam berupaya menfokuskan diri pada perkembangan tatanan sosial-politik Islam di dalam komunitas Muslim. Mereka menolak, setidaknya pada tataran teoritis, ideologi-ideologi modern seperti nasionalisme, sekularisme, komunisme, dan Westernisasi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kelompok fundamentalis ini memperjuangkan reformasi dan perubahan di dalam komunitas-komunitas Muslim, menekankan pada nilai-nilai dan institusi-institusi yang ‘Islami’ untuk menggantikan apa yang mereka pandang sebagai nilai-nilai dan norma-norma Barat.

Sebagimana umum diketahui, mereka sangat tertarik untuk mendirikan negara Islam. Sebagian kecil memilih jalan pendekatan revolusioner terhadap apa yang mereka anggap sebagai pemerintahan negara Muslim, meskipun jalan ini harus dilakukan dengan cara kekerasan. Sementara sebagian yang lain, lebih memilih pendekatan yang gradual dan lunak melalui jalan pendidikan yang dimulai dari tingkat akar rumput.

Kelompok fundamentalis juga sangat antusias dengan membangun program alternatif bagi penyebaran ajaran Islam yang sesungguhnya dan peran sosial Islam dalam masyarakat. Mereka bereaksi atas fenomena dan kondisi sosial yang mereka lihat sendiri di mana peran Islam dari hari ke hari kok semakin terkikis.

Dalam pandangannya, sebab-sebab terkikisnya ajaran Islam ini sebagian besar sudah tertanam sejak masa kolonial. Dengan menganggap bentuk penjajahan Barat terhadap dunia Muslim telah memberi ancaman baru bagi nilai-nilai Islam.

Namun, negara Muslim yang dicita-citakan secara ideal bukanlah sebuah ‘karunia Tuhan’ yang bisa diterapkan begitu saja, melainkan dibutuhkan kecerdikan kreatif dan disiplin untuk melaksanakan cita-cita egaliter Al-Qur’an dalam keadaan suram kehidupan politik.

Dalam hal ini, masyarakat Muslim terlebih dulu harus memiliki kesepakatan bersama dalam membentuk sistem pemerintahan yang benar-benar Islami sebagaimana tuntunan ajaran Islam. Hal ini tidak hanya sulit, tetapi hampir-hampir tidak mungkin, karena sejak zaman dahulu, keberadaan umat Islam selalu terbelah dan terpecah menjadi berbagai macam golongan.

Al-Qur’an menegaskan bahwa tugas utama seorang Muslim adalah membangun masyarakat yang adil dan layak, sehingga ketika umat Islam melihat ummah dieksploitasi atau bahkan diteror oleh kekuasaan asing dan diperintah oleh para penguasa korup, mereka bisa sangat tersinggung secara religius.

Islam sendiri secara tradisional adalah agama kesuksesan. Di masa lalu, kaum Muslim selalu mampu menghadapi bencana secara kreatif dan menggunakannya untuk naik ke ketinggian spiritual dan politik baru. Al-Qur’an meyakinkan mereka bahwa jika masyarakat mereka adil dan egaliter, masyarakat itu akan makmur, bukan berarti Allah mengutak-atik sejarah atas nama mereka, melainkan karena pemerintahan semacam ini sejalan dengan hukum fundamental eksistensi.

Baca Juga:  Problem Terminologis Gerakan Fundamentalisme dalam Islam

Dapat dikatakan, sistem Islam menjamin bahwa negara tidak ditentukan oleh hasrat dan ambisi penguasanya. Ia membebaskan kaum Muslim dari ketidaktetapan dan kejahatan kekuasaan manusia.

Dengan prinsip syurah (konsultasi) dalam hukum Islam, khalifah wajib bermusyawarah dengan rakyatnya, tetapi tidak berarti pemerintahan menurunkan legitimasinya dari rakyat, seperti dalam cita-cita demokrasi. Khalifah dan rakyat tidak bisa menciptakan hukum mereka sendiri, mereka sekedar melaksanakan syariat agama.

Karenanya, kaum Muslim harus melawan bentuk pemerintahan Barat yang dipaksakan kepada mereka oleh kekuasaan kolonial, sebab pemerintahan itu merupakan bentuk pemberontakan melawan Allah. Sekali manusia merampas kekuasaan, maka akan muncul ancaman kejahatan, penindasan, dan tirani.

Ini merupakan teologi pembebasan yang kedengaran aneh bagi seorang sekularis yang teguh, tetapi itulah kodrat sebuah ideologi yang paham-pahamnya tak dapat dimengerti pihak penentangnya. Dalam konteks ini, gerakan fundamentalis merumuskan cita-cita yang memberinya orientasi Islam, tetapi kemudian ia akan mustahil dipahami jika mereka secara keliru memahami arti sekularisme.

Menurut Karen Armstrong (2012), fundamentalisme adalah iman yang sangat reduktif atau merusak. Dalam kecemasan dan ketakutan mereka, kaum fundamentalis sering mendistori tradisi yang ingin mereka bela. Mereka terlalu fanatik dan menolak apapun yang datang dari musuh. Hal ini merupakan tindakan yang sangat tidak bijaksana dan terlalu egois.

Gerakan fundamentalisme Islam yang cenderung anarkis dan radikal bukanlah gerakan pemurnian tetapi justru sebaliknya. Banyak kelompok fundamentaisme Islam justru mengabaikan pluralisme Al-Qur’an dan kaum ekstrimis mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang lebih agresif untuk membenarkan kekerasan. Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan, tetapi sebenarnya religiositas jenis ini mewakili kemunduran dari Tuhan.

Pada awal abad ke-21, isu yang dominan dalam perdebatan seputar militansi dan ekstremisme Muslim adalah tentang aktivitas-aktivitas anti-Barat, terutama akibat dari peristiwa 11 September dan berbagai aksi pengeboman yang terjadi baik di negara Muslim sendiri maupun di Barat oleh jaringan kelompok ekstrimis militan dunia. Ini semua didorong oleh pandangan terhadap dunia yang diliputi ketidakadilan terhadap umat muslim sehingga menimbulkan simpati yang mendalam.

Baca Juga:  Trend "Indonesia Butuh Anak Muda" dalam Kacamata Islam

Dalam pandangan Lawrence Wright (2011), gerakan fundamental ini memiliki tiga misi sebagai bentuk perjuangan. Mendirikan pemerintahan Tuhan di atas muka bumi, mati syahid demi menjalankan perintah Tuhan, dan memurnikan umat Islam dari kemaksiatan. Ini sebenarnya sasaran utopis dari gerakan fundamentalis al-Qaeda di Afganistan yang dipimpin oleh Bin Laden waktu itu.

Tetapi, perlu dipahami bahwa gerakan ini harus dilihat sebagai bentuk fundamentalisme yang paling ekstrim dan militan yang terjebak dalam ranah terorisme, bukan menggambarkan secara keseluruhan bentuk perjuangan dari kelompok fundamentalisme di seluruh dunia.

Banyak kalangan di Barat umumnya bingung memahami Islam dan sampai sekarang pun masih begitu. Misalnya, pemimpin kaum Muslim mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan adil, namun kaum fundamentalis militan secara global membantai non-Muslim. Dulu Presiden George W. Bush menyebut Islam sebagai agama damai; tetapi penginjil Franklin Graham memandang Islam sebagai agama setan.

Samuel Hantington, profesor ternama dari Harvard dan penulis The Clash of Civilizations menulis, “Islam berlumur darah di luar, dan di dalam”. Tapi, sebagaimana dulu pernah dikemukakan oleh Barack Obama, “Islam telah menunjukan lewat kata-kata dan perbuatan tentang peluang toleransi beragama dan kesetaraan ras, kemitraan Amerika dan Islam harus didasarkan pada Islam yang sesungguhnya, bukan pada apa yang bukan Islam”.

Bila semua fundamentalisme Islam menganut keyakinan yang lebih radikal dan nihilistik, ini merupakan perkembangan yang benar-benar berbahaya. Oleh karena itu, menjadi penting untuk belajar memahami apa yang berada di balik rasa putus asa mendalam ini dan apa yang mendorong kaum fundamentalis untuk bertindak seperti itu.

Sebenarnya hanya sebagian kecil kaum fundamentalis yang mengambil bagian dalam tindakan-tindakan teror dan sebagian besarnya sekedar mencoba menghayati kehidupan beragama di dunia yang tampaknya bagi mereka memusuhi iman.

Akan menjadi tragis bila ketidaktahuan kita selama ini dan rasa jijik yang terus menerus itu mendorong semakin banyak kaum fundamentalis ke arah kekerasan. Kita semua sebagai manusia yang hidup di bumi yang sama, harus melakukan apa saja yang memungkinkan perdamaian bagi seluruh umat manusia, tanpa melihat agama, ras, atau warga negara. Ini merupakan misi kemanusiaan yang paling luhur dan sangat terhormat bagi tercapainya tatanan kehidupan yang lebih baik.

Baca Juga:  Banyak Fatwa dari Ustadz Gadungan, Masyarakat Muslim Harus Waspada

Masa depan Islam yang lebih baik terletak pada bagaimana kemajemukan dapat hidup secara damai, dan umat Islam mampu bersikap secara bijak terhadap Barat. Masa depan Islam juga tidak terbatas hanya tergantung pada keefektifan segelincir pembaru Muslim semata, tetapi Barat juga memainkan peranan besar.

Apabila kebijakan-kebijakan Barat yang berpandangan picik telah membantu menciptakan kebuntuan seperti sekarang ini, kebijakan-kebijakan itu, jika tidak diperbaiki, akan terus berdampak negatif terhadap wilayah tersebut, akan melemahkan alasan reformasi, dan terjatuh ke tangan fundamentalisme yang ekstrimis.

Islam adalah agama damai dan hanya dengan prinsip perdamaian yang selamanya dapat menyatukan umat manusia. Di dalam Al-Qur’an, Allah menyerukan kepada laki-laki dan perempuan untuk menghargai persatuan dan kesetaraan umat manusia, sebagaimana firman Allah: “Wahai Manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”.

Terakhir, salah satu tugas utama generasi kita sekarang adalah membangun komunitas global yang kondusif, tempat orang-orang dari semua keyakinan bisa hidup bersama secara harmonis dan saling menghormati. Antara Barat dan Islam harus lebih saling memahami dan menumbuhkan sikap kerjasama secara global, jika hal-hal yang paling mendasar ini tidak segera terlaksana, maka selamanya dunia ini akan terbelah menjadi dua kubu yang saling bertentangan.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *