Kritik atas Politisasi Islam; Model Pemikiran Politik yang Ketinggalan Zaman

Kritik atas Politisasi Islam

Pecihitam.org – Belakangan ini sedang marak narasi-narasi politik pada kalangan muslim bahwa perlunya Syariat Islam menjadi landasan konstitusional negara. Demikian itu bisa dilihat dari beberapa organisasi masyarakat (ormas) Islam, misalnya Hizbuth Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), kelompok-kelompok gerakan Jihadis, dan kelompok Tarbiyah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam mengampanyekan narasi-narasi pentingnya ajaran Islam menjadi dasar negara, ormas (saat ini sudah dibubarkan Pemerintah) HTI adalah yang paling terang-terangan dan paling vocal. Dalam kampanye-kampanyenya HTI menyatakan adanya urgensi untuk membentuk pemerintahan yang berasaskan Islam.

Menurutnya segala persoalan yang dialami oleh kalangan muslim disebabkan oleh tidak adanya pemerintahan Islam. Dan menurutnya, jika pemerintahan Islam sudah ditegakkan di dunia saat ini, semua persoalan yang sedang mendera kalangan muslim akan bisa langsung diselesaikan. Apakah benar seperti apa yang mereka katakan, segala persolan akan mudah diselesaikan, laksana sim salabim aba kadabra? Tentu saja tidak.

Sedangkan bagi FPI, aspirasi islam politiknya tidak seterang-terangan dan sefrontal HTI. Bentuk pemikiran islamisasi negaranya lebih berupa syari’atisasi negara. Slogan kampanyenya adalah NKRI Bersyari’ah. Menurut mereka, ajaran Islam harusnya dipraktikkan dalam segala lini kehidupan politik masyarakatnya. Akan tetapi, narasi NKRI Bersyari’ah ini masih memiliki problem, yakni mengabaikan adanya keberagaman agama di bumi nusantara ini.

Baca Juga:  Surat Cintaku Untuk Kakanda Felix Siauw

Pada kelompok muslim lain, gerakan Jihadis misalnya. Mereka lebih berorientasi pada perjuangan militeristik terhadap segalanya yang berbau Barat. Bagi mereka Barat adalah ancaman bagi umat Islam. Akan tetapi yang menjadi soal adalah mereka tidak jelas Barat seperti apa yang menjadi musuh Islam.

Apakah pemikiran modern Barat ataukah semata orang yang berasal dari negeri-negeri Eropa dan Amerika, yang berkulit putih. Kalau dilihat dari gejalanya, mereka seringkali menyasar orang-orang yang berkulit putih, hal ini menandakan masih ada problem rasisme dalam cara berfikir mereka.

Di balik perlawanan bergaya militeristik kelompok Jihadis tersebut, baik perang terbuka ataupun pengeboman, mereka memiliki pendasaran perspektif tentang pentingnya Islam menjadi landasan pemerintahan saat ini.

Kelompok lain adalah kelompok Tarbiyah. Kelompok ini adalah bentuk lain dari gerakan Ikhwanul Muslimin dari Mesir yang dikembangkan di Indonesia. Aspirasi mereka juga berorientasi kepada bentuk islamisasi negara melalui partai politik. Yang membedakan mereka dari beberapa gerakan lain adalah mereka masih memakai jalur konstitusional melalui Pemilu untuk mengislamkan politik sebuah negara.

Baca Juga:  Agama Kemanusiaan; Solusi Mengatasi Kekerasan Atas Nama Agama

Dari semua model aspirasi islam politik di atas, walaupun seolah-olah memberi jawaban bagi tantangan-tantangan politik kalangan muslim kontemporer, model pemikiran mereka masih sangat tepengaruhi oleh pemikir-pemikir muslim abad lampau yang sudah tidak relevan dengan kondisi sosial politik kalangan muslim saat ini.

Mengutip filusuf muslim kontemporer Nasr Hamid Abu Zayd bahwa mereka ini hidup di abad ke-21 masehi tapi kepalanya/pikirannya masih tertinggal di abad ke-8 masehi yang lampau. Sangat tidak relevan.

Kritik yang hampir senada pernah dikritikkan oleh intelektual muslim Prof. Dr. Kuntowijiyo (alm). Menurut Pak Kunto, sapaan akrabnya, bahwa pemikiran politik islam kalangan gerakan politik islam sebagaimana yang disebutkan diawal tadi memiliki persoalan teoritik yang terlalu kuno sehingga sama sekali tidak relevan dengan situasi-situasi politik kekinian umat Islam.

Baca Juga:  Hagia Sophia, Politik Erdogan, dan Spirit Ikhwanisme

Pak Kunto mengkritiknya dalam level pemikiran, menurutnya pemikiran politik yang demikian itu masih mengacu kepada pemikiran politik islam klasik yang berorientasi kepada “sekedar” akhlak dan syari’ah individual. Masalah dari pemikiran politik yang demikian ini masih membahas Islam dalam level permukaan. Tapi kurang memiliki konseptual yang bisa diaplikasikan secara praktis bagi kehidupan politik kekinian (Kuntowijoyo, 2018; hal xviii).

Pada akhirnya, model pemikiran politik yang ketinggalan zaman tersebut tidak nyambung dengan permasalahan yang sebenarnya sedang dialami oleh masyarakat muslim dalam kehidupan sehari-harinya.

Pak Kunto menawarkan jawaban atas problematika politik umat Islam melalui penafsiran atas nilai-nilai musyawarah dan kesetaraan dalam Islam untuk dikorelasikan dengan praktik demokrasi saat ini. Wallahua’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *