Kritik Bassam Tibi atas Nalar Syariah Kalangan Fundamentalis di Era Pandemi

Kritik Bassam Tibi atas Nalar Syariah Kalangan Fundamentalis di Era Pandemi

Pecihitam.org – Maraknya konten-konten yang berbau khilafah di media sosial saat pandemi cukup meresahkan akademisi termasuk saya. Konten-konten tersebut bermaksud untuk mencari titik lemah dan menyudutkan sistem pemerintahan di Indonesia. Misinya hendak menggantikannya dengan sistem yang menurutnya lebih baik yaitu khilafah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Basis pijakannya adalah kekhalifahan Umar bin Khattab yang berhasil meyelesaikan problem di tengah merebaknya wabah penyakit. Tidak hanya saya, masyarakat Indonesia merasakan hal yang sama dengan saya.

Hal ini dipicu karena banyaknya aktivitas yang biasanya dilakukan di lapangan akhirnya hanya dikerjakan di dalam rumah dengan fasilitas teknologi sehingga memungkinkan masyarakat untuk membuka situs-situs yang dihidangkan media sosial.

Dampaknya, secara perlahan nalar mereka akan terkonstruk sesuai dengan suguhan media sosial tanpa pengarahan dari ahlinya. Misalnya konten YouTube yang dibuat oleh anak-anak.

Hal ini bergitu miris, mengingat anak-anak adalah masa depan bangsa. Bagaimana mungkin masa depan bangsa hendak memberikan opini yang dapat merusak keutuhan bangsanya sendiri?

teman-teman yang dirahmati oleh Allah SWT, berbicara tentang virus Corona bagaimana cara mengatasinya? Nah ini sudah sangat terbukti bahwasanya Islam mengatur bagaimana cara pencegahan dari wabah virus Corona ini. Rasulullah SAW pernah bersabda: apabila kalian mendengar suatu wabah tha’un di suatu negeri janganlah kalian pergi untuk mendatanginya dan apabila kalian disuatu negeri yang sudah terkena virus tersebut maka janganlah kalian keluar dari negeri tersebut ini menggambarkan bahwasanya Islam itu tidak main-main teman. Islam itu mengajarkan kita dari berbagai aspek kehidupan ini, maka itu aneh ketika ada orang Islam yang menolak dengan sistem pemerintahan atau yang disebut dengan KHILAFAH. Karena khilafah itu mengatur kehidupan kita agar kehidupan kita itu sejahtera, kehidupan kita damai, dan pastinya selamat dunia dan akhirat. Maka untuk itu solusi dari semua ini, Islam selamatkan negeri”. (lihat cuplikannya pada Channel Youtobe Agama Akal TV).

Beranjak dari problematika tersebut, saya ingin melihat alasan seseorang bahkan anak-anak sekalipun sudah memiliki daya fikir (nalar) yang condong fundamentalis. Pertanyaan yang muncul, apakah nalar yang diciptakkan di masa pandemi ini bebas dikonsumsi publik termasuk anak-anak? Dari hal tersebut, saya menggunakan perspektif Bassam Tibi sebagai pemikir Muslim.

Baca Juga:  Pentingnya Filsafat bagi Kaum Muslim; Mengikis Fanatisme, Meredam Ekstremisme

Menurut sudut pandang Bassam Tibi, ini merupakan problem epistemologi. Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata episteme dan logos. Episteme diartikan pengetahuan dan logos dartikan sebagai pengetahuan yang bersifat sistematik (ilmu). (C. A Van Peurson, Orientasi di Alam Filsafat; 20).

Jadi, epistemologi ialah ilmu yang mempelajari tentang asal usul pengetahuan. Artinya, mengapa anak-anak bisa memiliki jalan pikiran yang fundamentalis tidak terlepas dari cara ia memperoleh pengetahuan.

Tibi hendak berkata bahwa pengetahuan tersebut di dapat dari kesalahan penalaran. Kesalahan penalaran ini dimulai dari tidak adanya jurang pemisah antara syariah dan fiqih.

Mereka cenderung menyamakan antara keduanya. Penyimpulan yang sama antara keduanya menyebabkan gaya berfikir kalangan umat Islam menjadi fundamental.

Beberapa tokoh fundamentalis seperti Qardawi misalnya, ia berkata bahwa syariat merupakan hukum yang telah mengatur semua persoalan pribadi, hubungan antara sesama, tatanan hukum, kepemimpinan, politik, dan hubungan negara, baik dalam keadaan damai maupun perang.

Syariah juga bekerja sepanjang zaman dan menjangkau segala kondisi. Artinya, syariat bersifat kekal. Pencampuradukan antara syariah dan fiqih membentuk suatu nalar yang disebut dengan nalar syariah, artinya nalar ini bermaksud memposisikan otoritas Tuhan di atas otoritas manusia.

Dominasi nalar syariah ini kemudian ditransmisikan hingga dunia pendidikan anak-anak. Menurut sejarahnya, dominasi nalar ini sudah ada sejak abad pertengahan dimana syarat menjadi seorang mufasir yang menetapkan Hukum Islam haruslah seorang ulama yang memiliki pendidikan yang marang dan bukan orang-orang akademisi yang juga belajar akan ilmu-ilmu umum. Mereka cenderung memisahkan antara ilmu umum dengan ilmu agama.

Baca Juga:  Kerancuan Konsep Jihad Kelompok Fundamentalisme Islam

Dari sini terlihat bahwa peran ortodoksi ulama dalam penciptaan hukum dan menjadikannya sebagai syariah sangatlah kental. Inilah yang kemudian ditansmisikan melalui jalur-jalur pendidikan. (lihat pada Bassam Tibi, Islam dan Islamisme: 345)

Salah satu upaya untuk mengantisipasi hal ini ialah menegaskan kembali jurang pemisah antara syariah dan fiqih. Pendefinisian terkait keduanya telah dilakukan oleh Bassam Tibi. Syariah merupakan jalan besar dan fiqih merupakan jalan kecil.

Syariah berisi perintah Allah yang sifatnya “kesucian” dan “keilahian” sedangkah fiqih merupakan hasil ciptaan atau ijtihad manusia. Al-Qur’an menjadi sumber Hukum primer Hukum Islam, dan Sunnah menjadi hukum sekundernya. Sedangkan syariah dapat diturunkan dari dua sumber primer ini.

Penurunan ini hanya menyangku hal-hal yang bernilai esensi seperti Islam mewajibkan adanya pemerintahan tetapi tidak menunjuk jelas sistem pemerintahan tertentu. Sedangkan dua komponen dari fiqih yaitu ijma dan qiyas menjadi hukum kedua yang diikuti manusia atau dinamai dengan hukum sekunder. Oleh sebab itu, fiqih tidaklah sakral. (lihat pada Bassam Tibi, Islam dan Islamisme: 227-228)

Nalar pembedaan antara keduanya ini penting dalam membentuk seseorang menjadi fundamentalis ataukah modernis. Jika pembedaan diantara keduanya tidak signifikan, maka yang tercipta adalah sikap fundamentalis (islamisme).

Apabila sebaliknya, maka nalar yang terbentuk ialah nalar modernis. Apabila nalar syariah ini dibiarkan begitu saja maka muncul sikap yang lebih ekstrim yaitu Islamisme. Islamisme merupakan gerakan yang memandang bahwa dalam Islam memiliki syariah yang berupa Negara Islam.

Baca Juga:  Berfikir Madzhabic adalah Ciri Khas Ulama Nusantara

Dari derasnya arus wacana kekhalifahan yang muncul di kanal-kanal media sosial bahkan yang dibuat oleh anak-anak, kita tidak bisa menyalahkan media sosial. Kondisi pandemi menuntut kita melakukan aktivitas melalui media sosial.

Maka diperlukan benteng terhadap diri sendiri untuk meminimalisir masuknya penalaran-penalaran yang serba abu-abu tersebut. Kuatnya peran bersama dalam kegiatan belajar-mengajar menjadi kunci dalam penentuan arah penalaran kita. Sebagaimana proses mendapatkan ilmu, jalur pendidikan berperan penting dalam mengkonstruk epistemologi baik melalui pendidikan formal maupun informal.

Pada pendidikan informal, orangtua harus memantau kembali sang anak dengan memberikan pendidikan agama yang jelas dan tidak abu-abu. Yang hitam adalah hitam, dan yang putih adalah putih, yang syariah adalah syariah dan fiqih adalah fiqih karena di masa pandemi anak lebih banyak berinteraksi dengan kedua orangtua.

Bagi pendidikan formal, baik lembaga pendidikan seperti pesantren, Sekolah Negeri maupun Swasta selayaknya memberikan pendidikan yang jelas, menciptakkan pendidik agama yang kompeten dan memiliki pengetahuan yang utuh, penyediaan buku-buku perpustakaan yang mendorong pengetahuan yang modernis, serta menciptakan web-
web instansi terkait dengan wacana keagamaan sebagai literasi digital bagi peserta didik.

Penulis: Rosi Islamiyati, Magister Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: Baldan

Redaksi