Memahami Agama Dan Budaya Masyarakat Jawa (Bagian II)

Memahami Agama Dan Budaya Masyarakat Jawa (Bagian II)

Pecihitam.org – Model agama dan budaya masyarakat Jawa memiliki khas tersendiri. Menurut Partokusumo ada tiga karakteristik kebudayaan Jawa yang terkait dengan hal ini, yaitu:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pertama, Kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh agama Hindu-Budha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti.

Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magic ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.

Kedua, Kebudayaan Jawa masa Hindu-Budha Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindu-Budha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India.

Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindu-Budha lebih mempersubur kepercayaan animisme dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar dengan cerita mengenai orang-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.

Ketiga, Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam. Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat gelar para wali tanah Jawa.

Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animismedinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindu-Budha seperti di Jawa.

Baca Juga:  Cinta Tanah Air Tidak Ada Dalilnya? Tunggu Dulu Bosss

Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa, yaitu santri dan abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka.

Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut:

  1. Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sangkan Paraning Dumadi, dengan segala sifat dan kebesaran-Nya
  2. Bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik
  3. Lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual
  4. Mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia
  5. Percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah
  6. Bersifat konvergen dan universal
  7. Momot dan non-sektarian
  8. Cenderung pada simbolisme
  9. Cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai
  10. Kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi

Pandangan hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua agama dan kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa.

Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Mereka menganggap bahwa semua agama itu baik dengan ungkapan mereka: “Sedaya agami niku sae (semua agama itu baik)”. Ungkapan inilah yang kemudian membawa konsekuensi timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa (Marzuki, 2006: 5).

Baca Juga:  Pantaskah Wahabi Diusir Dari Bumi Nusantara Ini?

Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak ditemukan, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti KTP, SIM, dan lain-lain.

Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat, dan haji.

Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen, mengenal banyak sekali orang atau benda yang dianggap keramat. Biasanya orang yang dianggap keramat adalah para tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran agama dan lain-lain.

Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka hormati.

Di antara tokoh yang dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan lainnya sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain dari kalangan raja yang dikeramatkan adalah Sultan Agung, Panembahan Senopati, Pangeran Purbaya, dan masih banyak lagi tokoh lainnya.

Masyarakat Jawa percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda keramat itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan berbagai aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda keramat tersebut.

Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurut mereka berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhluk-makhluk halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia.

Baca Juga:  Masjid Raya Mujahidin, Masjid Megah Kebanggaan Masyarakat Kalbar

Karena itu, mereka harus berusaha untuk melunakkan makhluk-makhluk tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara.

Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka sebut Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan).

Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya (Koentjaraningrat, 1995: 347).

Itulah gambaran tentang keunikan agama dan budaya masyarakat jawa. Hingga sekarang keunikan ini justru menjadi warisan tradisi yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka.

Bahkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi semisal untuk dijadikan tempat wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.

Mochamad Ari Irawan