Kisah Hidup Sufi Sederhana dan Nasehat Kepada Anaknya

kisah sufi sederhana

Pecihitam.org – Ada sebuah kisah tentang seorang sufi sederhana bernama Nidzam al-Mahmudi. Ia tinggal di sebuah kampung terpencil, dalam sebuah gubuk kecil bersama istri dan anak-anaknya. Akan tetapi, semua anaknya berpikiran cerdas dan berpendidikan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Akan tetapi jauh dari dugaan, Nidzam al Mahmudi sebenarnya sangat kaya raya. Selain penduduk kampung itu, tidak ada yang tahu bahwa ia mempunyai kebun subur berhektar-hektar dan investasi yang berkembang di beberapa kota besar. Dengan kekayaan yang diputar secara mahir itu ia dapat membantu kehidupan ratusan keluarga yang bergantung padanya.

Bahkan tingkat kemakmuran para pegawainya jauh lebih tinggi ketimbang sang majikan. Namun, Nidzam al-Mahmudi merasa amat bahagia dan damai menikmati perjalanan usianya.

Suatu ketika salah seorang anaknya pernah bertanya: “Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah. Bukankah Ayah mampu?”

Nidzam al Mahmudi pun menjawab: “Ada beberapa sebab mengapa Ayah lebih suka menempati sebuah gubuk kecil:

Baca Juga:  Abu Nawas Mencari Cincin yang Hilang

Pertama, karena betapapun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyata hanya tempat untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya. Seharian ia hanya mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya. Ia terlepas dari masyarakatnya dan ia terlepas dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia akan kurang bersyukur kepada Allah.”

Anaknya yang sudah cukup dewasa itu mengangguk paham dan membenarkan ucapan ayahnya dalam hati. Apalagi ketika sang Ayah melanjutkan argumentasinya.

Kedua, dengan menempati sebuah gubuk kecil, kalian akan menjadi cepat dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lebih leluasa.

Ketiga, kami dulu cuma berdua, Ayah dan Ibu. Kelak akan menjadi berdua lagi setelah anak-anak semuanya berumah tangga. Jika Ayah dan Ibu menempati rumah yang besar, bukankah suasana sepi akan lebih terasa dan menyiksa?”

Si anak kemudian terdiam dan merenung, alangkah bijaknya sikap sang ayah. Ia seorang hartawan yang kekayaannya melimpah, namun keringatnya setiap hari selalu bercucuran. Ia ikut mencangkul dan menuai hasil tanaman.

Baca Juga:  Kisah Abu Nawas Dan Teras Reotnya Yang Bisa Bertasbih

Sang ayah benar-benar menikmati kekayaannya dengan cara yang paling mendasar. Ia tidak terbuai harta benda yang sebenarnya bukan merasakan kekayaan, melainkan kepayahan semata-mata.

Sebab banyak hartawan lain yang hanya bisa menghitung kekayaannya dalam bentuk angka-angka. Mereka hanya menikmati lembaran-lembaran kertas yang disangka itu merupakan kekayaan yang tiada tara. Padahal hakikatnya ia tidak menikmati apa-apa kecuali angan-angan kosongnya sendiri.

Kemudian anak itu lebih dibuat terkesima tatkala ayahnya meneruskan: “Anakku, jika aku membangun sebuah istana anggun, biayanya terlalu besar. Dan biaya sebesar itu kalau kubangunkan gubuk-gubuk kecil yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak tunawisma dan gelandangan bisa terangkat martabatnya menjadi warga terhormat?

Ingatlah anakku, dunia ini disediakan Tuhan untuk segenap mahklukNya. Dan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penghuninya. Namun, dunia ini akan menjadi terasa sempit dan terlalu sedikit, bahkan tidak cukup, untuk memuaskan hanya keserakahan seorang manusia saja.”

Baca Juga:  Memahami Apa Itu Syariat, Thariqah, Haqiqah dan Ma'rifah

Dari kisah sang sufi sederhana tersebut setidaknya kita dapat mengambil pelajaran, bahwa harta dan kekayaan sesungguhnya bukanlah yang kita tumpuk dan kita nikmati sendiri. Namun harta sesungguhnya adalah yang bisa bermanfaat pula untuk orang lain. Rasulullah Saw bersabda;

خير الناس أنفعهم للناس

“Khairunnas anfa’uhum linnas”
Sebaik baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik