Teks Saja Tidak Cukup, Tuntutan Memahami Islam Melalui Jalur Penafsiran

Teks Saja Tidak Cukup, Tuntutan Memahami Islam Melalui Jalur Penafsiran

PeciHitam.org Ciri fundamental budaya Islam adalah ketergantungannya yang sangat kuat terhadap teks atau hadharah al-nash (budaya teks). Hampir seluruh kegiatan dan amalan sehari-hari, lebih-lebih yang terkait dengan ibadah, baik yang menyangkut keyakinan (akidah) atau rukun iman maupun ritual (ibadah) atau rukun Islam yang dilakukan sehari-hari, hampir semuanya berlandaskan pada nas atau teks.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tanpa landasan nash (ayat, dalil), maka keimanan dan ibadahnya akan tertolak (mardud), begitu yang biasa kita pelajari dan ketahui dari bangku sekolah atau forum-forum majelis taklim.

Sampai di sini barangkali memang tidak ada masalah, karena masing-masing agama memang mempunyai aturan dan regulasi tersendiri yang berbeda dari aturan dan regulasi yang dimiliki oleh agama-agama lain.

Keterbatasan Teks atas Peristiwa Baru

Agama tidak hanya terkait dengan keyakinan (akidah) dan ritual (‘ibadah) semata. Agama juga terkait dengan persoalan-persoalan lain, seperti kepemimpinan yang bersentuhan dengan sistem kenegaraan dan kepemerintahan, sistem moral (morality) termasuk tata pergaulan antara sesama manusia di luar kelompok agamanya, kelembagaan sosial, pendidikan, ekonomi, belum lagi yang terkait dengan alat-alat, simbol-simbol yang dipergunakan dan seni (institution and art).

Baca Juga:  Barakallah Fii Umrik; Arti dan Cara Penulisannya dalam Bahasa Arab

Dalam wilayah kelompok yang terakhir ini (kepemimpinan, morality, institution dan art) agak sulit jika semuanya harus berlandaskan dengan nas atau teks. Dalam bahasa agama Islam biasa dikenal istilah “al-Nushush mutanahiyah wa al-waqa’i’ ghairu mutanahiyah” (Nas atau teks itu terbatas sedangkan peristiwa-peristiwa sejarah kemanusiaan tidaklah terbatas).

Kelompok yang terakhir ini terkena hukum perubahan sejarah, karena budaya dan peradaban umat manusia terus berkembang sesuai dengan sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan, pertemuan dan kontak budaya dengan bangsa-bangsa lain, perkembangan sains dan teknologi, dan begitu seterusnya.

Dalam konteks seperti itu, maka para ulama dan ilmuwan Muslim kontemporer, khusus para perumus Fikih Sosial dan Kalam Sosial modern selalu berpikir keras bagaimana menghubungkan dan mendialogkan antara yang diyakini atau dianggap sebagai hal-hal yang tetap (al-tsawàbit) sebutlah misalnya kedua wilayah yang disebut pada bagian pertama di atas dan wilayah yang berubah-ubah (mutaghayyirat), yang terhimpun dalam kelompok kedua disebut di atas.

Baca Juga:  Bahayanya Dakwah Muallaf, Baru Belajar Islam kok Malah Sok 'Ngajarin'

Pergerakan Dunia Pemikiran Islam

Apa yang dapat disepakati oleh orang orang Muslim di mana pun mereka berada dan apa saja yang tidak dapat dan tidak harus disepakati oleh berbagai Muslim di dunia?

Dari sini kemudian berkembang istilah-istilah baru yang belum atau tidak begitu dikenal di era Kalam klasik, seperti pembedaan antara wahyu dan pemahaman atau penafsiran terhadap wahyu ala Abdul Karim Sorous, asbab al-nuzul makro dan mikro/double movement  ala Fazlur Rahman, antara asbab al-nuzul qadim’ dan asbab al-nuzul jadid’ ala Abdullah Saeed dan begitu seterusnya.

Fikih Sosial dan Kalam Sosial modern pada dasarnya adalah persoalan bagaimana manusia Muslim yang hidup di era kontemporer sekarang ini memecahkan persoalan keterhubungan, keterpisahan, keterkaitan dan dialektika antara nas atau teks dan realitas.

Realitas sosial, politik, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan yang berubah, sangatlah berbeda dan berkembang secara radikal dari tatanan sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan ilmu pengetahuan era klasik-skolastik adalah bagian dari problem ijtihad kontemporer.

Baca Juga:  Bukan Hanya Setan! Inilah Empat Musuh Manusia, Nomor 4 Ternyata Musuh dalam Selimut

Diperlukan ijtihad kontemporer untuk membahas keberagamaan manusia Muslim era baru sekarang. Keterkaitan, keterhubungan dan perbedaan dan keterpisahan antara nas dan penafsiran terhadap nas dalam setiap periode zaman yang dilalui oleh sejarah kebudayaan Islam (klasik, tengah, modern, postmodern) adalah tema sentral dan bahan diskusi penting yang tidak dapat dipisahkan dari keilmuan Fikh dan Kalam modern, lebih-lebih yang disebut Fikh Sosial maupun Kalam Sosial.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan