Membatalkan Puasa Sunnah Karena Tamu Menawarkan Makan, Apa Boleh?

Membatalkan Puasa Sunnah Karena Tamu Menawarkan Makan, Apa Boleh?

PeciHitam.org Berbeda dengan ibadah lain, Puasa adalah jenis ibadah yang istimewa, karena puasa termasuk ibadah yang sirri alias tanpa tanda dan tidak ada yang tahu kecuali pelaku dan Tuhan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Apalagi seorang tersebut melakukan puasa diluar musim puasa (Ramadhan). Selain Ramadhan, umat islam diperbolehkan memilih melakukan atau tidak jenis-jenis puasa sunnah, baik puasa syawal, senin kamis, atau puasa yang lain.

Namun bagaimana jika orang yang berpuasa diluar musim puasa tersebut mendapati seorang tamu di rumahnya atau dia sedang dalam kunjungan kemudian disuguhilah si shoim (orang yang berpuasa) tersebut? Mengingat selain memperbaiki hablun minallah kita juga harus menjaga hablun minannas?

Berikut ini akan dijelaskan alasan atau pertimbangan yang pembaca butuhkan dalam menyikapi persoalan tersebut. Apakah harus membatalkan puasa sunnah karena menghormati tamu? Atau melanjutkan kemesraan kita dengan Tuhan?

Dalil dan Hukum Membatalkan Puasa Sunnah Karena Menghormati Tamu

Dalam persoalan di atas, terdapat Hadis riwayat at-Turmudzi dalam kitabnya Sunan at-Turmudzi yang mengatakan tidak ada larangan membatalkan puasa, artinya boleh melanjutkan puasa, boleh juga membatalkannya:

Baca Juga:  Mengeraskan atau Melirihkan Bacaan Shalat? Ini Penjelasannya!

 حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود حدثنا شعبة : قال كنت أسمع سماك بن حرب يقول أحد ابني أم هانئ حدثني فلقيت أنا أفضلهما وكان إسمه جعدة وكانت أم هانئ جدته فحدثني عن جدته أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها فدعى بشراب فشرب ثم ناولها فشربت فقالت يا رسول الله أما إني كنت صائمة فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم الصائم المتطوع أمين نفسه إن شاء صام وإن شاء فطر.

Hadis di atas menceritakan, bahwasanya rasulullah pernah berkunjung ke rumah Umu Hani’, dalam kunjungan tersebut Rasulullah disuguhi minuman, dan Beliau pun meminumnya. Setelah itu Rasulullah juga menawari Umu Hani’ juga, dia pun meminumnya.

Tidak lama setelah Umu Hani’ minum, dia mengatakan pada Rasulullah “Wahai Rasul, Sesungguhnya saya sedang berpuasa”, Rasulullah pun menjawab “Orang yang berpuasa sunnah itu mempercayakan dirinya”. Maksudnya bila mau berpuasa berpuasalah dan bila mau membatalkan batalkanlah.

Pendapat yang lain, termasuk Imam Syafii yang banyak diikuti di Nusantara mengatakan hal yang sama, boleh membatalkan puasa sunnah karena menghormati jamuan tamu atau tuan rumah. Sebagaimana terdapat dalam Fathul Muin :

فروع) يندب الأكل في صوم نفل ولو موءكدا لإرضاء ذي الطعام بأن شق عليه إمساكه ولو آخر النهار للأمر بالفطر ويثاب على ما مضى وقضى ندبا يوما مكانه فإن لم يشق عليه إمساكه لم يندب الإفطار بل الإمساك أولى .  قال الغزالي يندب أن ينوي بفطره إدخال السرور عليه ويجوز للضيف أن يأكل مما قدم له بلا لفظ من المضيف

Baca Juga:  Yuk, Berangkat Jumatan Lebih Awal Agar Dapat Pahala Seperti Berkurban Unta

Artinya: “Disunnahkan untuk menikmati hidangan dalam puasa sunah meskipun dianjurkan demi keridhoan pemilik makanan. Jika dikhawatirkan tidak menikmati hidangan tersebut (menahan puasanya) dapat menyinggung perasaan pemilik tersebut, meskipun di akhir siang hari karena ada perintah untuk membatalkan puasa dan dia akan mendapatkan pahala puasa yang sudah lewat dan dianjurkan mengqodho pada hari lain sebagai gantinya. Jika tidak menyebabkan tersinggung pemilik makanan maka disunnahkan tidak membatalkannya (lebih utama tetap berpuasa). Imam Ghazali telah berkata: disunnahkan berniat untuk untuk menyenangkan perasaan pemilik hidangan pada saat membatalkan puasa. Bagi tamu diperbolehkan menikmati makanan yang telah dihidangkan meskipun belum dipersilahkan dengan ucapan dari tuan rumah

Baca Juga:  Hukum Korupsi dalam Islam; Definisi, Dalil, dan Ijtihad NU Melawan Korupsi

Fathul Muin menjelaskan dengan gamblang, bahwasanya puasa sunnah adalah ibadah sunnah, tidak ada keharusan dalam pengamalannya. Begitupun dengan menghormati tamu, sudah menjadi tugas kita untuk selalu menjaga hablun minannas.

Bahkan tersirat dalam penjelasan diatas tentang keharusan untuk menjaga hati pemilik makanan, sampai-sampai jika dikhawatirkan menyakiti hati si pemilik makanan tersebut, anjuran dari imam syafi’i untuk membatalkan puasa, karena menghormati tamu atau pemilik makanan lebih diprioritaskan.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan