Mencontoh Para Perawi Hadis dalam Menyerap dan Menyebarkan Berita

Mencontoh Para Perawi Hadis dalam Menyerap dan Menyebarkan Berita

Pecihitam.org – Kaum muslimin semestinya mencontoh para perawi Hadis dalam menyerap dan menyebarkan suatu kabar berita. Jika tidak, pengorbanan mereka akan sia-sia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Al-Quran merupakan kitab yang menjadi rujukan pertama dan utama, baik sebagai sumber pengetahuan, sumber hukum, maupun sumber spiritualitas bagi setiap muslim, baik sebagai seorang hamba Tuhan maupun sebagai anggota masyarakat dan bangsa, bahkan sebagai masyarakat dunia.

Kedudukan al-Quran yang begitu tinggi dalam agama dapat dilihat dari teknik periwayatan atau penyebarannya yang mutawatir. Artinya, ketika Rasulullah Saw menyampaikan wahyu Allah, banyak orang yang mendengar dan bersaksi bahwa benar Rasul menyampaikan kabar tersebut dan kemudian disebarkan oleh mereka kepada banyak orang pula. Sehingga, dari sudut pandang penyebaran berita tiada keraguan di dalamnya (la rayba fihi)

Hal ini berbeda dengan Hadis Nabi Muhammad Saw atau perkataan, perbuatan dan pembenaran (taqrir) beliau. Ada yang periwayatannya atau penyiaran beritanya berderajat mutawatir seperti halnya al-Quran, ada pula yang didengar oleh satu atau segelintir orang saja dan disebarkan secara beruntun kepada satu atau segelintir orang yang lain lagi.

Dalam ilmu Mushthalah al-Hadits atau ilmu pengistilahan Hadis kabar jenis ini disebut dengan Hadits Ahad. Karena kabar bahwa Rasulullah menyampaikan atau berbuat ini dan itu disampaikan secara beruntun oleh satu atau segelintir orang saja maka derajat Hadits Ahad berbeda-beda pula.

Ada yang derajatnya shahih atau benar bahwa kabar itu memang disampaikan atau dilakukan Rasulullah, ada yang derajatnya hasan atau derajat antara benar dan tidak namun masih dapat dipertanggungjawabkan, ada pula yang derajatnya dha’if yang berarti lemah atau diragukan bahwa kabar itu bersumber dari Rasulullah dan bahkan ada pula Hadis yang maudhu’ yang berarti diletakkan atau dibiarkan karena kepalsuannya.

Baca Juga:  Peran Santri dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia

Pengistilahan dan pengelompokan Hadis ini merupakan buah pemikiran para ulama dan orang-orang saleh yang hidup pada abad ke-2 H. Para ulama tersebut dikenal dengan istilah perawi Hadis.

Kehidupan umat Islam yang jauh dari masa dan tempat hidup Rasulullah, dengan berbagai masalah yang begitu kompleks, mendesak mereka untuk mencari sumber rujukan yang dapat menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang kandungannya bersifat umum dan ditafsirkan berbeda itu, sehingga mereka menetapkan kriteria atau standar yang rumit lagi sistematis untuk mengetahui kebenaran kabar berita dari Rasulullah.

Kriteria-kriteria tersebut di antaranya adalah sifat dan karakter rentetan orang-orang pembawa kabar berita atau yang disebut dengan sanad: apakah di antara rentetan para pembawa kabar itu ada orang yang berkarakter pendusta, pelupa atau berdosa besar, ataukah rentetan para pembawa kabar itu orang-orang yang jujur dan berilmu atau yang disebut dengan tsiqah?

Kriteria lain yang juga ditetapkan terhadap matan atau isi kandungan Hadis, apakah isi kabar berita yang katanya dari Rasulullah itu sesuai dengan al-Quran dan akal sehat ataukah sesuatu mengada-ada, sebab mustahil seorang Rasul menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan akal sehat apalagi beliau adalah seorang yang: “Dan tidaklah ia (Muhammad) mengatakan sesuatu yang berdasar hawa nafsu, melainkan per-kataannya itu wahyu yang diilhamkan” (QS. An-Najm: 3-4)

Rumit dan njelimet-nya kriteria penetapan kebenaran suatu Hadis memberikan pelajaran kepada kita betapa berhati-hatinya para ulama perawi Hadis dalam menyerap suatu kabar berita, apalagi kriteria-kriteria tersebut dibuat sebagai suatu bidang ilmu yang begitu sulit dipelajari pula.

Kemuliaan para ulama perawi Hadis semakin bertambah ketika mengetahui betapa susah dan repotnya mereka mengumpulkan Hadis. Mereka harus menempuh perjalanan beribu-ribu mil jauhnya, dari satu negeri ke negeri yang lain, untuk menemui dan mendengarkan langsung Hadits dari pembawa kabar berita satu-persatu.

Baca Juga:  Maaher At Thuwailibi Sering Hina Ulama NU, Nadhiyyin Balas Mendoakan Kesembuhannya

Mereka tidak memiliki fasilitas teknologi canggih seperti zaman kita sekarang ini. Mereka tidak memiliki sarana komunikasi singkat dan aplikasi komputer yang menyelesaikan suatu pekerjaan dengan satu klik. Itupun hanya untuk satu atau dua Hadis saja, padahal mereka harus mengumpulkan banyak Hadis untuk dijadikan pegangan seluruh umat muslim.

Melihat dari hasil pengumpulan oleh perawi Hadis seperti Imam Bukhari misalnya, beliau berhasil mengumpulkan berpuluh-puluh ribu Hadis atau kabar yang katanya dari Rasulullah tapi hanya beberapa ribu saja yang dikategorikan sebagai Hadits Shahih atau benar berasal dari Rasul.

Namun sungguh ironis melihat fenomena sebagian muslimin saat ini yang mudah sekali menerima kabar berita dari sumber yang belum tentu jelas dan benar namun dianggap sebagai suatu kebenaran lalu dijadikan dasar untuk bertingkah-laku, bertindak, bahkan menyudutkan orang lain.

Kehidupan bermasyarakat jadi rusak karena gosip, ghibah dan fitnah yang berseliweran. Apalagi di masa ini ketika media-media sosial begitu merajalela dan nampaknya tidak mungkin dihindari oleh siapapun, peredaran kabar yang begitu bebas tanpa penyaringan yang baik mempengaruhi kehidupan umat Islam yang seharusnya damai dan tenteram kini dipenuhi oleh rasa curiga dan dendam.

Semua itu gara-gara mudahnya kita mendapatkan informasi yang masih mentah tanpa diketahui dulu kebenaran dan kesesuaiannya dengan akal sehat tapi sudah langsung disebarkan tanpa dipilah-pilah pula kepada siapa kita menyampaikannya.

Dalam al-Quran yang kita percaya itu, Allah telah mengingatkan kita untuk ber-tabayyun atau memeriksa dan meneliti kembali suatu kabar berita agar terhindar dari pikiran dan perbuatan yang mengandung fitnah. Allah Swt berfirman:

Baca Juga:  Nahdlatul Ulama dan Masa Depan Sumber Daya Energi Indonesia

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu kabar berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Dalam ilmu Tauhid dijelaskan bahwa orang fasiq adalah orang yang tidak jelas kedudukannya apakah ia kafir ataukah mukmin. Disebut kafir, tapi ia masih percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Disebut mukmin, tapi ia berbuat dosa besar.

Meski ayat tersebut berbicara seputar fitnah yang menimpa Aisyah, istri Rasulullah Saw, namun dalam konteks kita sekarang ini orang fasiq dapat difahami sebagai orang yang membawa kabar berita yang tidak jelas kebenarannya, sekalipun kita mengenal orang itu.

Maka ketika mendengar atau mengetahui kabar semacam ini Allah memerintahkan kita untuk memeriksa dengan teliti kabar yang dibawanya. Pemeriksaan itu bisa dilakukan dengan mencontoh para perawi Hadis, yakni memeriksa rentetan sanad kabar tersebut dan memeriksa isi kandungan kabar yang dibawanya apakah dapat diterima akal sehat ataukah tidak.

Jika kita jadikan kabar yang tidak jelas itu sebagai dasar kita bertingkah-laku dan bertindak, Allah memperingatkan mungkin sekali kita akan menimpakan musibah kepada orang lain yang mungkin nantinya akan kita sesali.

Kaum muslimin semestinya mencontoh para perawi Hadis dalam menetapkan kebenaran dan menyerap lalu menyebarkan suatu kabar berita. Perjuangan dan pengorbanan para ulama dan orang-orang saleh itu dalam mengumpulkan Hadis akan sia-sia jika kita mendengar dan menyebar kabar berita yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang sabar dan rendah hati.

Yunizar Ramadhani