Mendidik Anak Ala Gus Baha, Jangan Berani Sama Anak Nanti Kualat!

gus baha mendidik anak

Pecihitam.org – Dalam sebuah kajian, Gus Baha pernah menyampaikan sebuah pandangan yang tak lazim dari kebanyakan orang tentang anak.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

“Ojo wani-wani karo anak, ndak kuwalat.” (Jangan berani sama anak, nanti kalian bisa celaka), kata Gus Baha.

Bagi kita, biasanya pasti lebih sering mendengar Jangan berani sama orang tua, nanti celaka. Gus Baha’ membalik kalimat tersebut, bahwa anak harus dihormati.

Anak selamanya adalah anak.

Gus Baha’ lantas menjelaskan, bahwa anak itu mempunyai ikatan yang tidak akan putus. Berbeda dengan istri, ketika cerai maka hak dan kewajiban yang pernah melekat akan gugur seketika.

Ikatan anak akan tetap ada dan tak akan terputus, meskipun jika anak mempunyai kelakuan yang nakal, mbedugal dan ndableg, mereka akan tetap menjadi anak.

Bahkan jika anak dan orang tua saling berjanji tidak mau mengakui hubungan mereka, maka tetap saja secara syariat mereka tetap mempunyai hubungan.

Jika salah satu di antara mereka yang meninggal dunia, maka warisan tetap berlaku. Jika perempuan, maka walinya tetap saja adalah ayahnya. Begitulah anak. Statusnya akan selalu melekat tanpa sekat.

Anak adalah penerus Kalimat Tauhid, kata Gus Baha.

Beliau memberikan poin penting tentang kalimat tauhid. Baginya, kalimat tauhid adalah kalimat kebenaran yang universal dan absolut. Sehingga jika kalimat tersebut diucapkan oleh orang gila sekalipun, kalimat tersebut akan selalu benar.

Baca Juga:  Tugas Malaikat Allah Sejak Diciptakan Hingga Hari Kiamat

Kebenaran kalimat tauhid tidak bisa dimonopoli oleh siapapun. Meskipun diucapkan oleh seorang pendosa sekalipun kalimat tauhid tidak menjadi hina, begitu pula jika diucapkan oleh orang shaleh sekalipun kalimat tersebut juga tidak akan bertambah mulia.

Siapapun orang yang mengucapkan kalimat tauhid akan menjadi mulia, siapapun orangnya. Itulah sebabnya anak itu harus dihormati, karena dialah yang kelak akan meneruskan kalimat tauhid tersebut.

Sebab inilah, Gus Baha’ mengaku tidak pernah memukul anaknya, “Bagaimana bisa mukul ketika saya selalu ingat bahwa ia adalah umatnya Nabi Muhammad yang kelak akan menjadi penerus agama Islam. Ini penting, jangan sampai anak merasa kecewa dengan bapaknya, begitu kira-kira kalimat Gus Baha’.

Kekecewaan anak terhadap orang tua, agaknya sebanding dengan kekecewaan orang tua kepada anak. Sebagai orang tua umumnya kita merasa yang paling berhak atas masa depan anak kita.

Sebagai anak, kita justru yang paling berhak kelak mau menjadi apa. Wajar, sebab zaman yang dialami oleh orang tua dan anak sama sekali berbeda. Jadi tidak bisa disamakan.

Gus Baha’ selalu mewanti-wanti bagaimana anaknya harus bangga kepada bapaknya, ini bukan persoalan sombong-sombongan. Tapi tujuannya mendidik kepada anak agar ia tidak kecewa kepada orang tuanya, apalagi kalau sampai anak punya pikiran dengan membanding-bandingkan orang tuanya dengan orang tua temannya.

Baca Juga:  Iqra’, Bacalah! Perintah Agung Bahwa Manusia Wajib Berilmu

Bagi saya ini persoalan yang sulit. Bagaimana agar anak bisa bangga mempunyai orang tua seperti kita, kata Gus Baha.

Contohnya, “saya itu dirumah punya televisi hanya karena, jangan sampai anaknya pergi dari rumah hanya ingin menonton televisi di tetangga.”

Saya, ketika memberikan uang saku untuk sekolah kepada Mas Hasan anak saya yang masih SD, selalu lebih dari teman-temannya. Kata istri saya apakah itu tidak boros jika anak seusia itu dengan uang 5.000 sedangkan teman-temannya hanya diberi uang saku 2.000, kata Gus Baha.

Gus Baha’ kemudian menjelaskan. Sama sekali tidak boros. Beliau ingin mengajarkan kepada anaknnya untuk selalu jajan kepada penjual-penjual jajanan di sekolah, persoalan tidak sehat dan atau tidak enak lalu dibuang itu perkara lain. Buang saja gak papa.

Persoalan dibuang berarti itu adalah rejekinya hewan-hewan seperti semut, cacing dan lain-lain. Gus Baha’ ingin mengajarkan bahwa kita harus mempunyai kontribusi kepada orang yang mencari nafkah dengan cara yang halal; berjualan jajanan di sekolah-sekolah.

Baca Juga:  Ukhuwah Islamiyah, Makna dan Implementasinya dalam Kehidupan Umat Beragama

Tidak ada yang mubazir, bagi Gus Baha’. Cara pandang seperti ini tentunya tidak lazim, dan tergantung pada niatnya. Meskipun tidak lazim, minimal bisa memberikan kita pemahaman yang lain, bahwa mendidik anak adalah pilihan orang tua.

Nasehat Gus Baha’ kepada para orang tua adalah jangan mengira bahwa anak nakal itu tidak ada hubungannya dengan orang tua, sangat berhubungan. Jika kalian ingin melihat dirimu, maka lihatlah anakmu.

Cerminan seperti ini sering mengingatkan saya kepada teman-teman saya yang merasa menyesal hingga menangis setelah memarahi anaknya.

Jika kita marah-marah bahkan memukul anak kita, pada hakikatnya kita sedang memarahi diri sendiri dan memukul diri kita sendiri. Kita sedang menyakiti diri kita sendiri.

Wallahua’lam bisshawab.

*Diolah dari Muhibbin Gus Baha dan kajian KH Bahaudin Nursalim, link video bisa lihat disini.

Lukman Hakim Hidayat