Menjadi Ahli Ibadah atau Ahli Syariah, Pilih yang Mana?

ahli ibadah ahli syariah

Pecihitam.org – Pribadi sebagai Ahli Ibadah dan Ahli Syariah seharusnya dimiliki oleh setiap muslim. Tak hanya salah satunya, melainkan keduanya sekaligus. Namun, yang seringkali terjadi adalah bahwa ahli ibadah tidak selalu mengerti syariah. Sehingga ia tidak tahu batas sah atau tidak sahnya suatu ibadah yang sedang ia laksanakan. Dan sebaliknya, Ahli syariah juga tidak selalu ahli ibadah, dimana ia mengerti hukum suatu ibadah, namun belum tentu semangat melaksanakannya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam kasus ‘wudhu’ misalnya: ahli ibadah yang tidak mengerti syariah tidak mampu membedakan mana anggota tubuh yang wajib diusap/dibasuh, dan mana yang sekedar sunnah untuk dibasuh. Ia juga tidak mengerti mana syarat dan mana yang rukun. Akhirnya, semua itu bercampur aduk dalam benaknya, dan seringkali merasa was-was dalam melaksanakan ibadahnya.

Namun di sisi lain, ahli syariah juga tidak selalu menjadi ahli ibadah. Artinya, bisa jadi ia mengerti hitam-putih suatu hukum syariat, akan tetapi belum tentu getol beribadah dan tidak terlalu mementingkan kualitas ibadah.

Sehingga yang terjadi adalah ‘ibadah serba minimalis’: minimal sudah menggugurkan kewajiban, dan minimal sudah sah ibadahnya. Tidak terlalu penting apakah shalatnya khusyu’ atau tidak. Mungkin juga tidak merasa harus berpuasa senin-kamis, karena jika tidak dilakukanpun, toh tidak akan berdosa karena itu sunnah hukumnya, dan bukan wajib.

Lalu idealnya bagaimana? Tentu gabungan dari keduanya. Seorang ahli ibadah yang mengerti syariah akan mengerti betul bagaimana melaksanakan ibadahnya. Ia tidak hanya getol beribadah, tapi juga mengerti betul standar sah dan tidak sahnya suatu ibadah.

Baca Juga:  Pentingnya Kecakapan Literasi Baca-Tulis di Abad 21 bagi Generasi Muslim Milenial

Maka ketika ia shalat, ia tidak akan mengejar jumlah rakaat shalat tahajjud yang berpuluh-puluh rakaat, jika itu akan membuat shalat shubuhnya esok hari terbengkalai. Kemudian, jika ia menjadi imam shalat maghrib, maka ia tidak akan memanjangkan surah yang dibaca dengan alasan mengejar target muraja’ah hafalan Qur’an-nya, karena ia tahu bahwa sebagian makmumnya terdiri dari orang tua renta dan anak kecil.

Demikian pula ahli syariah yang ahli ibadah akan lebih memperhatikan mutu ibadahnya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Sehingga ia meyakini bahwa ibadah adalah sesembahan dari dirinya yang akan dipersembahkan pada Allah. Persembahan pada Dzat tertinggi yang seharusnya diberikan dengan kualitas yang sebaik-baiknya. Baginya, kualitas ibadah akan menentukan kualitas dirinya di hadapan Sang Khaliq.

Maka ketika ia shalat misalnya, ia tidak hanya memperhatikan syarat dan rukunnya, melainkan diperhatikan pula waktu pelaksanaannya, yakni di awal waktu dan dengan berjamaah misalnya. Agar ibadah shalat tak hanya disadari untuk menjadi ritual ragawi semata yang tidak ada ‘ruh’-nya. Shalat akan dijadikannya momen untuk menenangkan hati karena di dalamnya ia banyak berdzikir dan memuji Allah Ta’ala. Bukankah dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang? alaa bidzikrillahi tathma’innul qulub.

Baca Juga:  Ketika Seorang Ahli Ibadah Dikalahkan Oleh Iblis

Kisah Imam Ahmad Yang Ahli Syariah Juga Ahli Ibadah

Dikisahkan bahwa suatu hari saat Imam Ahmad Bin Hanbal (Pendiri Mazhab Hambali) sedang keluar rumah menuju masjid, ia bertemu seorang pemuda yang ujung gamisnya kotor sebab terkena tanah dan debu tebal. Padahal ia sedang menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah.

Saat ia resah karena ragu, apakah boleh menunaikan shalat dengan keadaan pakaian sedemikian rupa, ia meminta fatwa pada Imam Ahmad Bin Hambal. Sang Imam mengatakan bahwa ia boleh-boleh saja melaksanakan shalat dengan keadaan pakaiannya yang kotor terkena tanah. Sebab debu dan tanah bukan termasuk najis yang bisa membuat shalatnya tidak sah. Si pemuda pun bersyukur dalam hati seraya melanjutkan langkahnya menuju masjid tanpa ragu.

Di lain kesempatan, saat Imam Ahmad Bin Hambal keluar rumah lagi untuk menunaikan shalat, tiba-tiba ujung pakaian beliau terkena tanah sehingga membuat pakaiannya tampak kotor dan tak indah dipandang. Lalu dengan tergesa beliau berbalik langkahnya menuju rumah dan berganti pakaian.

Melihat tindakan beliau ini, orang-orang yang melihatnya nampak heran. Bukankah beberapa waktu lalu Sang Imam berfatwa bahwa tanah itu bukan najis yang menghalangi sahnya shalat? Lalu untuk apa beliau pulang dan berganti pakaian?

Dengan perasaan ingin tahu, mereka kemudian menghampiri Sang Imam dan menanyakan hal yang membuat mereka terheran-heran. Imam Ahmad Bin Hambal pun menjawab: ”Dzaaka fatwa, wa hadza taqwa.”

Baca Juga:  Manhaj Salaf ala Wahabi Hanyalah Sebatas Pengakuan Sepihak Mereka Saja

Yakni bahwa apa yang beliau sampaikan pada pemuda kemarin merupakan fatwa yang boleh saja dilakukan dan diambil hukum yang ada padanya. Sedangkan apa yang beliau (Imam Ahmad) lakukan hari ini merupakan sikap Taqwa. Sang Imam tidak ingin sekedar menghadap Allah dalam keadaan suci saja, tapi juga ingin mempersembahkan shalat pada-Nya dalam keadaan mengenakan pakaian terbaiknya yang bersih tanpa noda. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenakan pakaian terbaik setiap kali memasuki masjid? ”khudzuuu ziinatakum inda kulli masjid.”

Imam Ahmad Bin Hanbal tidak hanya mengerti syariat dan ketentuan dasar suatu ibadah, tapi juga sangat berhati-hati dan memperhatikan kualitas ibadahnya pada Sang Khaliq.

Subhanallah…Betapa tinggi tingkat ketaqwaan Imam Ahmad Bin Hambal. Masih berapa tangga lagi-kah yang harus kita lewati untuk mencapai kualitas taqwa seperti ini? Ya Allah, perkenankanlah Imam Ahmad Bin Hambal (Allah yarham) untuk menghuni satu dari sekian banyak istana termegah-Mu di syurga. Amin.

M Resky S