Menjawab Tuduhan Salafi Wahabi Bahwa Ayah Rasulullah di Neraka

Menjawab Tuduhan Salafi Wahabi Bahwa Ayah Rasulullah di Neraka

Pecihitam.org – Dengan maraknya dakwah tauhid 3 serangkai (Wahabi/Salafi) yang tidak memasukkan Sifat Rahmat (Kasih Sayang) sebagai Sifat utama Sifat Rububiyah dalam pembahasan Tauhid Rububiyah, marak pula kita dengar pernyataan mereka yang membuat kita terkejut sekaligus prihatin.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Mereka berkata di depan masyarakat umum bahwa hubungan keluarga tidak menjamin datangnya hidayah Allah, contohnya ayah dan ibu Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam, yang walaupun anak mereka seorang Rasul, tetapi mereka berdua musyrik dan masuk neraka. Kita berlindung kepada Allah dari berkeyakinan dan tidak beradab kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam seperti itu.

Mereka membuat kesimpulan atas dasar Hadits Sahih riwayat Imam Muslim,

”Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa alihi wassalam, `Dimana ayahku?` Beliau shallallahu alaihi wa alihi wassalam bersabda, ’Sesungguhnya ayahmu didalam neraka.’ Dan tatkala orang itu berpaling maka Nabi shallallahu alaihi wa alihi wassalam memanggilnya dan bersabda, ’Sesungguhnya ayahmu dan ayahku berada di neraka.

Kefahaman mereka ini hanyalah pendapat Ulama mereka yang di akhir zaman ini semakin gencar mereka sebarkan. Mari kita bahas pernyataan mereka ini berdasarkan ajaran mereka sendiri yaitu agar jangan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam, sebab apa-apa yang dilakukan yang tidak ada contoh dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam adalah bid´ah yang sesat , sesuai dalil yang selalu mereka kemukakan:

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)

Perhatikan hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam tentang pertanyaan seorang Shahabat tentang nasib ayahnya di atas itu.

  1. Pernyataan itu hanya diucapkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam di depan seorang Shahabat radhiallahu anhu yang ayahnya meninggal dalam keadaan kafir, Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam tidak berbicara seperti itu tanpa sebab.
  2. Pernyataan itu diucapkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam kepada Shahabat beliau sebagai rasa empati melihat kesedihan yang nampak di wajah Sahabat setelah mengetahui ayahnya masuk neraka. Itu sebabnya beliau Shallallahu alaihi wa alihi wassalam memanggilnya untuk menghiburnya dengan menjelaskan bahwa nasib Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam adalah senasib seperti shahabat itu, yaitu ayah mereka sama-sama masuk neraka. Mohon pembaca jangan berhenti membaca sampai disini, kami akan jelaskan nanti siapa “ayah” yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam itu.
  3. Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam berkata “Abi (ayahku)” bukan “Abdullah bin Abdul Muthalib”. Makna “Abi (ayahku)” bukan mesti bermakna ayah kandung, tetapi dapat bermakna paman atau bapak asuh.

Jadi ucapan Ulama dan pengikut Tauhid 3 serangkai (Wahabi/Salafi) itu sudah melanggar landasan mereka sendiri, yaitu mereka telah melakukan bid´ah sesat yang mereka definisikan sendiri. Bid´ah yang mereka lakukan adalah

1. Mereka mengucapkan ayah Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam masuk neraka di depan masyarakat umum, bukan sebab adanya seorang teman muslim mereka yang ayahnya meninggal dalam keadaan kafir. Jadi mereka telah menta´thil (menolak/menghilangkan) adanya sebab teman muslim yang ayahnya meninggal dalam keadaan kafir.

2. Apa maksud mereka berkata begitu? Tujuan mereka mengucapkan itu bukan untuk menghibur atau menunjukkan rasa empati kepada orang Islam yang ayahnya meninggal dalam keadaan kafir, tetapi ditakwil (diganti) menjadi bertujuan sebagai contoh bahwa hubungan keluarga tidak dapat menyelamatkan orang yang kafir dari neraka. Selain itu ucapan mereka itu telah melukai banyak ulama dan kaum muslimin yang berkeyakinan bahwa ayah dan ibu Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam adalah selamat dari neraka. Beda jauh sekali dari tujuan Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam mengucapkan pernyataan itu.

3. Mereka juga telah mentahrif (mengubah) makna hadits “Abi (ayahku)” menjadi “Abdullah bin Abdul Muthalib”. Disini kelihatan jelas mereka telah melanggar aturan Tauhid mereka sendiri. Inilah akibat anomali Tauhid Asma Wa Sifat yang memahami sifat Allah sesuai lafaz zahir Asma dan Sifat Allah, kecuali Sifat Rububiyah. Mereka begitu berpegang teguh dengan makna zahir Quran dan Hadits. Ketika memahami Allah istawa (bersemayam) di atas arasy mereka benar-benar memahami Allah beristawa (bersemayam) di atas arasy tanpa tahrif (mengubah), ta´thil (menghilangkan) dan takwil (mengganti) dan takyif (bertanya bagaimana). Mengapa untuk kata “Abi (ayahku)” dalam hadits di atas diubah menjadi “Abdullah bin Abdul Muthalib” ?

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Mencium Tangan dan Membungkukkan Badan Kepada Kyai? Ini Pendapat Ulama

Mereka menyandarkan pemahaman itu konon dari Imam Nawawi. Beliau memang menerangkan tentang hadits itu bahwa hubungan keluarga tidak dapat menolong orang yang kafir. Yang dimaksud oleh Imam Nawawi dalam hadits itu tentang ayah dari Shahabat dan “ayah” Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam maksudkan.

Imam Nawawi tidak pernah mentahrif (mengubah) maksud “ayah” Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam menjadi Abdullah bin Abdul Muthalib, ayah kandung Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam. Beliau dikenal sebagai Ulama bermazhab Syafei yang mempunyai kaidah ushul fiqih tertentu yang di antaranya mengatakan, jika ditemukan dalil-dalil yang dapat menjadikannya bertentangan, maka diambil jalan tengah yang tidak menyalahi satupun dari dalil-dalil itu.

Jadi mereka secara tidak sadar telah melakukan bid´ah yang mereka fahami dan melanggar kaidah ajaran Aqidah mereka sendiri yaitu untuk memahami makna Quran dan Hadits sesuai makna zahirnya tanpa tahrif (mengubah), ta´thil (menghilangkan) takwil (mengganti) dan dan takyif (bertanya bagaimana) (lihat muslim.or.id/6615-makna-tauhid).

Apakah tidak ada contoh lain tentang tidak manfaatnya hubungan keluarga terhadap datangnya hidayah Allah yang disepakati semua golongan Islam? seperti anak dan istri nabi Nuh serta istri nabi Luth?

Apakah mereka tidak tahu bahwa banyak ulama dan kaum muslimin yang meyakini bahwa ayah dan ibu Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam adalah selamat dari neraka?

Sekarang kami ingin menjelaskan apa yang dimaksud “ayah” oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam dalam hadits itu menurut ulama Ahlussunnah Wal Jamaah.

Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah dari zaman Shahabat, Salafus Shalih dan Ulama Muktabar tidak ada yang berpendapat seperti mereka. Ulama Ahlusunnah Wal Jamaah membahas hadits tentang ayah Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam dengan sangat hati-hati dan menjaga akhlak.

Hadits di atas memang shahih, tetapi mutasyabihat (samar/syubhat), maka jangan kita memahami makna zahirnya supaya tidak melanggar dalil Quran dan Hadits yang lain (lihat Bagaimana ASWAJA memahami ayat-ayat Mutasyabihat), sebab tidak mungkin dalil Qur´an dan Hadits saling bertentangan seperti ajaran Aqidah Tauhid 3 Serangkai, dimana Tauhid Rububiyah dalam ajaran 3 Tauhid melanggar Tauhid al Asma was Sifat ajarannya sendiri.

Ada 3 pendapat Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah Tentang Orang Tua Rasulullah

1. Ayah dan Ibu kandung Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam termasuk beragama Tauhid yang selamat.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam pernah bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah memilih Ibrahim dan Ismail dari kalangan anak-cucu Adam, memilih Bani Kinanah dari keturunan Ismail, memilih suku Quraisy dari kalangan anak-cucu keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy, dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim.”

Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim ini menjelaskan Rasululullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam berasal dari orang-orang pilihan Allah. Orang-orang yang menjadi pilihan Allah itu sudah barang tentu tidak mungkin memiliki sifat-sifat kafir atau musyrik yang akan masuk neraka. Allah menjelaskan bahwa orang musyrik adalah najis (keyakinan/aqidahnya) dalam QS At Taubah 28

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَٰذَا ۚ وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Kata al-ab (Abi, Abuka, Abaka, Abihi dan semacamnya) dalam bahasa Arab sering pula digunakan untuk makna ‘paman’ di samping ‘ayah’. Dari situ, sangat boleh jadi yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam dengan kata Abi dalam hadits ini adalah ‘pamanku´. Paman Nabi yang jelas masuk neraka adalah Abu Lahab.

Abu Lahab sangat gembira atas kelahiran Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam seperti kelahiran anaknya. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam lahir, budak wanita Abu Lahab yang bernama Tsuwaibah dibebaskan karena memberitakan berita kelahiran Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam.

Baca Juga:  Ungkapan "Berbukalah dengan yang Manis", Hadis atau Bukan?

Tsuwaibah ini kemudian menjadi ibu susu Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam sebelum dibawa oleh Siti Halimah ke kampung Bani Sa´ad.

Demikian juga Azar yang disebut “Abihi” (ayah Nabi Ibrahim) dalam QS Al An´am 74, bukanlah ayah kandung, tetapi bapak asuh atau paman Nabi Ibrahim. Ini ditegaskan dalam doa nabi Ibrahim dalam QS Ibrahim : 35-41.

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.

رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ ۖ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي ۖ وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

رَبَّنَا إِنَّكَ تَعْلَمُ مَا نُخْفِي وَمَا نُعْلِنُ ۗ وَمَا يَخْفَىٰ عَلَى اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ ۚ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.

رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”.

Perhatikan doa Nabi Ibrahim yang menggunakan kata “walidain” yang sudah pasti bermakna kedua ayah dan ibu kandungnya. Doa ini diucapkan setelah kelahiran Nabi Ismail dan Nabi Ishak (lihat ayat 39 di atas), yaitu di kala usia Nabi Ibrahim sudah sangat tua.

Jauh setelah Nabi Ibrahim meninggalkan Azar (bapak asuhnya) yang ditinggalkan ketika Nabi Ibrahim masih sangat muda dan belum menikah. Walidain (kedua ayah dan ibu) dalam doa Nabi Ibrahim itulah ayah (dan ibu) yang sebenarnya yang beriman dan bukan bapak asuhnya Azar. Dijelaskan Nabi Ibrahim sudah berlepas diri dari Azar sebagaimana disebut dalam QS At Taubah : 114.

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.

Janji Nabi Ibrahim untuk memohon ampun untuk bapak asuhnya Azar ada dalam QS Maryam: 42-48

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا

Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?

يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا

Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.

يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَٰنِ عَصِيًّا

Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.

Baca Juga:  Fiqih Maqashid Ibnu Taimiyah, 4 Pokok Pemikirannya

يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا

Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”.

قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ ۖ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ ۖ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا

Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”.

قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ ۖ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي ۖ إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا

Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.

وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَىٰ أَلَّا أَكُونَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا

Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku”.

QS Mumtahanah : 4 Allah berfirman bahwa pada diri Nabi Ibrahim ada suri tauladan, kecuali perkataan janji Nabi Ibrahim untuk memintakan ampun bapak asuhnya Azar yang kafir.

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ۖ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali”.

2. Ayah dan Ibu kandung Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam wafat di zaman fatrah yaitu zaman ketika belum didatangkannya Rasul.

Oleh sebab itu mereka berdua selamat sesuai QS al-Isra’ : 15

مَنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.

3. Tawaquf (berdiam diri).

Tidak memberi pendapat apapun tentang ayah dan ibunda Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam, maksud sebenarnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah dan RasulNya Shallallahu alaihi wa alihi wassalam. Kembali kepada Imam Nawawi, jika memperhatikan kaidah ushul fiqih beliau, paling jauh beliau adalah termasuk golongan yang ke 3 ini.

Mereka Para Ulama sangat menjaga akhlak khususnya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam, karena ini adalah hal yang sensitif. Untuk mudah memahami apa yang dimaksud dengan menjaga akhlak, kami ingin bertanya apakah jika ada tetangga anda non muslim yang meninggal dunia, apakah anda akan berkata kepada anaknya, “turut berduka cita, ayah anda bakal masuk neraka”? Jika ini anda lakukan, maka anda akan dikenal sebagai orang yang tidak punya akhlak atau tidak punya hati.

Jika ternyata hati nurani anda tidak tega mengatakan itu kepada anak tetangga anda itu, apakah anda tega mengatakan hal yang sama di hadapan Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam? Apalagi jika itu tidak benar? Wallahu a’lam

Sanad

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *