Sekali dalam Sejarah, Nabi Musa Menampar Malaikat Maut

nabi musa menampar malaikat maut

Pecihitam.org – Musa ‘alaihissalam adalah salah seorang Nabi yang punya kedudukan tinggi dan pemimpin yang mudah berinspirasi, sehingga mampu mengendalikan umat yang tabiatnya keras. Beliau juga dikenal karakter ragu-ragu dalam setiap mengambil keputusan secara spontan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tak heran ketika malaikat maut datang kepada Nabi Musa dalam wujud seorang laki-laki yang akan mencabut nyawanya, beliau langsung menampar muka sang malaikat hingga bola matanya pecah.

Kemudian, Allah pun memberikan dua pilihan kepadanya: apakah akan beralih ke hadirat-Nya atau tetap berada di dunia beberapa lama lagi hingga malaikat maut kembali datang menjemput nyawanya.

Namun, Nabi Musa memilih untuk segera bersanding di sisi Allah dan meninggalkan kepenatan dan hiruk-pikuk kehidupan dunia. Maka Allah mengabulkan doanya, kemudian didekatkan dengan Tanah Suci (Baitul Maqdis) sejauh lemparan batu. Konon, kuburannya pun berada di sana.

Kisah tersebut dapat kita lihat dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ. فَقَالَ لَهُ: أَجِبْ رَبَّكَ قَالَ فَلَطَمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَفَقَأَهَا، قَالَ فَرَجَعَ الْمَلَكُ إِلَى اللهِ تَعَالَى فَقَالَ: إِنَّكَ أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَكَ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ، وَقَدْ فَقَأَ عَيْنِي، قَالَ فَرَدَّ اللهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى عَبْدِي فَقُلْ: الْحَيَاةَ تُرِيدُ؟ فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْحَيَاةَ فَضَعْ يَدَكَ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ، فَمَا تَوَارَتْ يَدُكَ مِنْ شَعْرَةٍ، فَإِنَّكَ تَعِيشُ بِهَا سَنَةً، قَالَ: ثُمَّ مَهْ؟ قَالَ: ثُمَّ تَمُوتُ، قَالَ: فَالْآنَ مِنْ قَرِيبٍ، رَبِّ أَمِتْنِي مِنَ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ، رَمْيَةً بِحَجَرٍ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَاللهِ لَوْ أَنِّي عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ، عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ

Artinya: Malaikat maut datang kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dan berkata, “Penuhilah panggilan Tuhanmu!” Namun spontan Musa menampar mata malaikat hingga bola matanya terpecah. Akhirnya, malaikat maut kembali kepada Allah dan menyampaikan, “Sesungguhnya Engkau telah mengutusku menemui hamba yang tidak menginginkan kematian. Akibatnya, mataku terpecah.” Kemudian, Allah segera mengembalikan penglihatannya dan berfirman, “Kembalilah kepada hamba-Ku dan sampaikan padanya, apakah engkau terus menginginkan kehidupan? Jika engkau masih menginginkannya, letakkanlah tanganmu pada punggung sapi jantan. Satu bulu yang tertutupi tanganmu, maka engkau akan hidup satu tahun.” Musa bertanya, “Lalu apa setelah itu?” Allah menjawab, “Tetaplah engkau akan meninggal.” Musa berkata lagi, “Wahai Tuhanku, sekarang kupilih kematian itu dalam waktu dekat.” Kemudian Nabi Musa menyampaikan keinginannya, “Matikanlah aku dekat Tanah Suci (Baitul Maqdis) sedekat lemparan batu.” Terakhir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menambahkan, “Demi Allah, andai aku berada di sisinya, niscaya akan aku perlihatkan kepada kalian kuburannya berada di pinggir jalan, tepatnya pada gundukan pasir.”

Dalam redaksi hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah ra. berkata, “Malaikat maut diutus kepada Nabi Musa, ketika dia datang, Musa menampar malaikat itu. Kemudian Malaikat maut kembali kepada Tuhan-nya dan berkata, ‘Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang menolak mati.’ Allah lalu mengembalikan matanya (yang rusak karena tamparan Musa).

Baca Juga:  Alhamdulillah; Makna Kata, Tafsir dan Keutamaannya dalam Hadis Nabi

Allah berfirman kepada Malaikat, “Kembalilah kepada Musa. Katakan kepadanya agar dia meletakkan tangannya di punggung sapi jantan, maka bulu sapi yang tertutup oleh tangannya itulah sisa umurnya. Satu bulu satu tahun.”

Musa berkata, “Ya Rabb setelah itu apa?” Malaikat menjawab, “Maut.” Musa berkata, “Sekarang aku pasrah.” Maka Musa memohon kepada Allah agar didekatkan kepada Tanah Suci sejauh lemparan batu.

Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda: “Seandainya aku di sana, niscaya aku tunjukkan kuburnya kepada kalian yang berada di sisi jalan di dataran berpasir merah yang bergelombang.”

Penjelasan Hadis:

Nabi Muhammad Saw memberitakan kepada kita bahwa di antara kemuliaan para Nabi di sisi Allah adalah bahwa mereka diberi pilihan menjelang kematian, antara hidup di dunia atau berpindah ke Rafiqil A’la.

Baca Juga:  Sholawat Fatih: Sejarah, Bacaan Lengkap, Arti dan Keutamaannya

Dalam beberapa hadis shahih dari Aisyah ra, dijelaskan bahwa Raulullah SAW diberi pilihan, dan beliau memilih Rafiqil A’la.

Allah mengutus Malaikat maut yang menjelma dalam wujud seorang laki-laki kepada Musa. Malaikat kemudian meminta agar Musa menjawab panggilan Tuhan-nya. Ini berarti bahwa ajalnya telah tiba dan saatnya telah dekat.

Nabi Musa memang dikenal memiliki temperamental yang cukup tinggi (untuk menghadapi kaum-kaumnya yang keras) itu sebabnya ia dengan spontan menampar wajah Malaikat maut dan merusak matanya (mata manusia). Karena seandainya dia dalam wujud aslinya, yakni Malaikat, niscaya Nabi Musa tidak akan mampu menempelengnya.

Karena kejadian itu, Malaikat maut lalu kembali kepada Allah untuk mengadukan apa yang diperolehnya dari Musa. Allah kemudian menyembuhkan matanya dan menyuruhnya kembali kepada Musa, agar meletakkan tangannya di atas punggung sapi, kemudian rambut-rambut yang tertutup oleh tangannya itu dihitung dan satu helai rambut satu tahun.

Maka ajal Musa disamakan dengan jumlah rambut itu. Dengan itu Musa mendapatkan kehidupan yang panjang. Jika Musa melakukan itu, niscaya tidak menutup kemungkinan dia tetap hidup sampai hari ini.

Nabi Musa lantas bertanya kepada Malaikat maut tentang apa yang ada di balik kehidupan panjang tersebut. Malaikat menjawab, ’Maut.’ Maka Musa lebih memilih yang dekat. Apa yang ada di sisi Allah bagi para Rasul dan Nabi-Nya, serta hamba-hambaNya yang saleh, adalah lebih baik dan lebih kekal.

Jika roh para syuhada berada di perut burung hijau yang beterbangan di kebun-kebun Surga, memakan buah-buahnya, minum dari sungainya dan berlindung di lampu-lampu yang bergantungan di atap ‘Arasy Allah, maka kehidupan para Nabi dan Rasul adalah di atas semua itu.

Karena, apa yang didapat oleh Musa seandainya ia memilih hidup sampai hari ini? Ia pasti memikul kesulitan-kesulitan dunia dan ujian-ujiannya. Ia juga akan menyaksikan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi sepanjang sejarah yang membuat pikiran sibuk dan hati bersedih.

Baca Juga:  Begini Konsep Kenegaraan Menurut Sang Filusuf al-Mawardi

Bukankah lebih baik ia berada di Rafiqil A’la dengan para Nabi dan para Rasul menikmati keindahan Surga, daripada hidup di rumah kesengsaraan dan ujian (dunia)? Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal dan akhirat lebih baik daripada dunia.

Kemudian Nabi Musa memohon kepada Allah agar ketika ruhnya dicabut supaya didekatkan kepada tanah yang suci sejauh lemparan batu. Permintaan Nabi Musa ini adalah sebagai wujud kecintaannya kepada Tanah Suci yang bercokol di dalam jiwanya, sehingga dia meminta dikubur di perbatasannya, dekat dengannya.

Meski demikian, Nabi Musa tidak meminta kepada Allah agar ia dicabut nyawanya di Tanah Suci. Karena Nabi Musa tahu bahwa Allah mengharamkannya atas generasi di mana Musa berasal. Ini sebagai hukuman atas ketidaktaatan mereka kepada perintah Tuhan-nya agar masuk tanah suci seperti yang telah Allah tulis untuk mereka.

Mereka malah berkata, Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja, (Q.S. al-Ma’idah [5]: 24). Akibatnya, Allah menetapkan, mereka tersesat di padang Sinai selama empat puluh tahun.

Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik