Hukum Cadar Dalam Islam Menurut Ulama Fiqih

Hukum Cadar Dalam Islam Menurut Ulama Fiqih

PeciHitam.org – Beberapa tahun belakangan, Indonesia diramaikan dengan kontroversi permasalahan cadar. Beberapa instansi pemerintah melarang mengenai hal ini. Bahkan di salah satu perguruan tinggi juga dilarang penggunaannya. Lalu timbullah pertanyaan, bagaimana hukum cadar dalam Islam?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Berkaitan dengan hukum cadar dalam Islam, Kementerian Wakaf Republik Arab Mesir pernah menerbitkan risalah yang berjudul “al-Niqab ‘Adat wa Laysa ‘Ibadah: al-Ra’y al-Shar‘i fi al-Niqab bi Aqlam Kibar al-‘Ulama”. Inti risalah tersebut berpendapat bahwa cadar termasuk dalam kategori adat, bukan termasuk bagian dari ibadah.

Risalah tersebut memuat beberapa tulisan ulama al-Azhar terkait dengan cadar. Risalah tersebut diberi pengantar oleh Menteri Wakaf Mesir, Mahmud Hamdi Zaqzuq dan diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Misriyyah Kairo pada tahun 1429 H./2008 M.

Dalam pendahuluannya, Mahmud Hamdi Zaqzuq menyampaikan bahwa bercadar tidak berkaitan dengan kebebasan pribadi, cadar pada dasarnya justru menciderai kebebasan itu sendiri, karena pada hakekatnya ia bertentangan dengan karakter manusia dan kemashlahatan masyarakat, bahkan ia dianggap menciderai ajaran agama dan mendistorsi ajaran-ajarannya yang mulia.

Ia kemudian mengutip pernyataan Muhammad al-Ghazali untuk menguatkan pendapatnya bahwa cadar adalah adat, bukan ibadah. Menurutnya, tidak ada satu pun dalil, baik dalam al-Quran, al-Sunnah maupun akal sehat yang menguatkan cadar.

Dengan demikian, maka cadar adalah adat, bukan ibadah, karena ibadah harus dengan dalil yang jelas. Telah maklum pula bahwa sebagian perempuan Jahiliyah di permulaan Islam, mereka kadang-kadang menutupi wajahnya, menyisakan matanya saja. Tentu perbuatan ini merupakan adat, bukan ibadah.

Baca Juga:  Suluk Linglung dan Konsep Ketuhanan Sunan Kalijaga, Bagian II

Tulisan kedua dalam risalah ini mengutip pandangan Syaikh al-Azhar, Muhammad Sayyid Tantawi dengan judul Wajh al-Mar’ah Laysa bi ‘Aurat wa al-Niqab ‘Adat La ‘Ibadat (Wajah perempuan bukanlah aurat dan cadar merupakan adat, bukan ibadah).

Isi tulisan ini menegaskan pandangan mayoritas ahli fiqih yang menyatakan bahwa wajah perempuan bukanlah aurat, sehingga boleh ditampakkan. Bagi laki-laki lain boleh melihatnya asalkan tanpa syahwat. Di akhir tulisan ini, Tantawi menegaskan bahwa berdasarkan faktor-faktor yang telah disebutkan, ia cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa wajah perempuan bukanlah aurat. Sedangkan masalah cadar merupakan adat yang tidak berkaitan dengan ibadah.

Tulisan selanjutnya dalam risalah al-Niqab ‘Adat wa Laysa ‘Ibadah menampilkan pandangan Syaikh ‘Ali Jum‘ah, mufti Republik Mesir yang berjudul al-Niqab Murtabit bi al-‘Adat (Cadar berkaitan dengan adat). Tulisan ini merupakan fatwa atas pertanyaan yang diajukan tentang pakaian syar’i bagi perempuan muslimah dan hukum cadar dalam Islam.

Dalam fatwa ini, Syaikh ‘Ali Jum‘ah menegaskan bahwa pakaian syar’i yang diperuntukkan bagi perempuan adalah semua pakaian yang tidak menggambarkan pesona tubuh dan menutup seluruh tubuh perempuan, selain wajah dan kedua telapak tangan. Seorang perempuan juga tidak dilarang memakai pakaian yang berwarna-warni dengan syarat pakaian tersebut tidak menarik perhatian dan dapat menimbulkan fitnah. Jadi, apabila pakaian yang dipakai oleh perempuan telah memenuhi syarat-syarat ini, maka perempuan boleh memakainya.

Baca Juga:  Kesantunan Dakwah Islam Kepada Non Muslim Ala KH Hasyim Asyari

Adapun cadar, menurut pendapat yang sahih, hukumnya tidak wajib, karena aurat perempuan muslimah yang merdeka adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Oleh karena itu, boleh bagi perempuan menampakkan wajah dan kedua telapak tangannya.

Menurut Syaikh ‘Ali Jum’ah, pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Shafi‘iyyah. Menurut al-Mardawi, pendapat ini adalah pendapat yang sahih dari mazhab Ahmad dan ashabnya. Pendapat ini juga merupakan pendapat al-Awza‘i, Abu Thawr dan mujtahid lainnya dari kalangan salaf.

Ulama Malikiyyah menegaskan bahwa pemakaian cadar bagi perempuan dapat dihukumi makruh apabila hal itu tidak menjadi kebiasaan masyarakatnya. Mereka menyebutkan bahwa memakai cadar pada komunitas masyarakat yang tidak bercadar merupakan perbuatan ghulluw (berlebih-lebihan) dalam beragama. Syaikh ‘Ali Jum‘ah kemudian menampilkan dalil dan argumen yang mendukung pendapatnya.

Kesimpulannya, ia berpendapat bahwa permasalahan pakaian berkaitan erat dengan kebiasaan sebuah komunitas masyarakat. Menurutnya, pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama yang memperbolehkan perempuan membuka wajah dan kedua telapak tangannya. Pendapat inilah yang diamalkan dan difatwakan di negara Mesir.

Baca Juga:  Mengenal Metodologi Tafsir Al-Quran di Nusantara

Adapun komunitas lain yang mengikuti Mazhab Hanbali (yang mengharuskan memakai cadar), menurut ‘Ali Jum‘ah, tidak masalah bagi perempuan mengikuti mazhab ini karena sesuai dengan kebiasaan masyarakatnya yang tentunya sama sekali tidak berkaitan dengan kualitas keberagamaan perempuan tersebut, tapi semata-mata karena kebiasaan yang berlaku di kalangan mereka, dimana perempuan menutup wajahnya.

Menurut Syaikh ‘Ali Jum‘ah, perbedaan pendapat semacam ini jika memang cadar tidak digunakan sebagai identitas untuk membedakan antar kelompok masyarakat atau simbol yang menunjukkan kualitas ibadah dan religiusitas. Namun jika keberadaan cadar tersebut dijadikan sebagai identitas dan simbol untuk membedakan kualitas ibadah dan religiusitas, maka hukum cadar yang semula sunah atau mubah menjadi bid’ah, karena telah menyebabkan perpecahan diantara umat Islam.

Mohammad Mufid Muwaffaq