Cara Nalar Berpikir Mufassir dalam Menyusun Kitab Tafsir Berbahasa Lokal

mufassir nusantara

Pecihitam.org – Epistemologi atau biasa yang kita kenal dengan teori pengetahuan merupakan sebuah kajian yang berfokus pada aspek kehidupan yang fundamental seperti ilmu pengetahuan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Epistemologi mengkaji sebuah pengetahuan dengan cara yang sangat filosofis yaitu dengan asal, struktur, metode, validasi dan tujuan dari sebuah ilmu pengetahuan.

Epistemologi juga menjelaskan tentang kebenaran dan kiretrianya serta membantu untuk menemukan sebuah kebenaran.  Oleh sebab itu, epistemologi termasuk tergolong filsafat pengetahaun yang mencari kebenaran dalam sebuah pengetahuan.

Jika kita lihat dalam aspek bahasa, epistemologi berasal dua kata dari bahasa Yunani yaitu episteme dan logos. Episteme atau epistamai dalam bahasa Yunani berati kedudukan, menempatkan, dan meletakan.

Namun secara harfiah episteme mempunyai arti pengetahuan sedangkan logos adalah teori, uraian dan ulasan. Dengan demikian epistemologi adalah  cabang ilmu filsafat yang membahas tentang ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia.

Namun disisi yang lain, epistemologi juga bersifat kritis. Hal ini dikarnakan setiap pengetahuan harus mempunyai kaidah-kaidah dasar dalam rasionalitas pengetahuan dan dapat dipertanggung jawabkan klaim kebenaranya.

Dalam dunia tafsir, epistemologi digunakan untuk melihat sejauh mana kerangka berpikir seseorang (mufassir) terhadap teks ( Al-Qur’an ) yang dipahaminya.

Pengungkapan makna yang ada di dalam Al-Qur’an dilakukan oleh mufassir dengan berbagai macam latar belakang. Mulai dari latar belakang pendidikan (pesantren dan non pesanren), akademik, kultur dan juga keluarga.

Baca Juga:  Menganal Tafsir Al-Quran Pathok Nagari dari Plosokuning, Yogyakarta

Komponen-komponen tersebutlah yang menjadikan pemahaman seseoarang mengenai teks Al-Qur’an bermacam-macam. Dengan demikian penting didudukan secara bersama nalar epistemologi tafsir Nusantara.

Seiring dengan perkembangan zaman dan berjalannya waktu. Kajian mengenai tafsir Al-Qur’an di Nusantara telah dilakukan oleh para ahli dengan berbagai sudut pandang yang beraneka macam.

Hal tersebut disebablan oleh keunikan dan ketertarikan para mufassir mengenai corak khas gaya penafsiran Al-Qur’an yang memuat berbagai macam unsur budaya, sufi, pendidikan dan bahkan ideologis.

Berangkat dari sebuah pemahaman alkulturasi budaya dan teks Al-Qur’an kemudian menjadi sebuah kitab tafsir yang mempunyai berbagai corak dan kekhasan tersendiri.  Oleh sebab itu, memahami Al-Qur’an tidak serta merta hanya sekedar tekstual saja namun juga harus diimbangi dengan pemahaman kontekstual.

Sebab jika hanya dipahami dengan tekstual maka yang akan terjadi adalah kekeliruan dalam penafsiran. Pemahaman dengan melibatkan kontekstual atau kondisi masyarakat baik dalam tradisi maupun budaya yang sudah ada. Karena setiap ayat Al-Qur’an mengandung makna jika dapat dikontekstualisasikan maka dapat diambil ide moral dan pesan moralnya.

Baca Juga:  Khazanah Tafsir Al-Qur’an II : Perkembangan Tafsir di Era-Kolonialisme Abad ke-18

Sahiron Syamsuddin dalam bukunya yang berjudul “ Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an” menjelaskan bahwa terdapat beberapa aspek penting dalam pengembangan makna dalam pengambilan ide moral.

Pertama penulis (Mufassir), Horizon mufassir (latar belakang pendidikan dan pengetahuan), metode, teks (Al-Qur’an) dan Konteks (lingkungan). Lima aspek penting dalam pengembangan makna dalam rangka pengangambilan ide moral yang dilakukan oleh para mufassir untuk menafirkan dan membukukan kitab tafsir.

Selanjutnya, bisa kita lihat perkembangan penafsiran pada abad ke-16 sampai abad ke-17. Corak dan metode yang digunakan oleh mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an bertendensi pada aspek lingkungan.

Artinya dengan menggunakan metode kontekstual dengan mengalkulturasikan teks dengan budaya tanpa meninggalkan aspek horizon pengetahuan. Maka terciptalah sebuah kita tafsir yang dipelajari oleh banyak orang. Seperti Abd al-Ra’uf al-Sinkili dengan kitab yang tulisan lengkap tiga puluh juz Tarjuman al Mustafid.

Kitab tafsir Tarjuman al Mustafid adalah Tafsir yang berbahasa Melayu dan dilengkapi dengan tafsir Baidlawi dan al-Khazin (1615 – 1693). Selain itu, ada juga kitab tafsir Tasdiqul Ma’arif . Tafsir tersebut ditulis di daerah Aceh dengan menggunakan bahasa Aceh.

Kemudian Tafsir surat al-Kahfi kitab ini belum dapat menemukan kepastian, namun kemungkinan ditulis oleh Hamzah Fansuri atau Syamsuddin al-Sumatrani (1607-1636 ).

Baca Juga:  Bahkan Antar Para Sahabat Pun Saling Bertabarruk Satu Sama Lain

Beberapa kitab tafsir di atas memperlihatkan bahwa gaya bahasa dan corak yang digunakan masih tradisional. Artinya aspek metodologi yang digunakan oleh mufassir kala itu sangat sederna. Dengan menggunakan pendekatan tekstual kontekstual, para mufassir tersebut dapat menuliskan makna-makna Al-Qur’an dalam diterbitkan ke dalam sebuah buku/kitab.

Nalar berpikir bercorak tradisional tanpa mengabaikan aspek kaidah-kaidah tafsir yang ada. Maka disinilah keunikan tafsir Nusantara dan memberikan khazanah sejarah pemikiran baru yang dapat menjadi pelajaran bagi masa sekarang dan juga dimasa yang akan datang.

M. Dani Habibi, M. Ag