NU Sejak Dulu Hingga Kini Tidak Pernah Goyah dan Berubah

NU Sejak Dulu Hingga Kini Tidak Pernah Goyah dan Berubah

Pecihitam.org – Gus Abdul Latif, Lc, aktivis GP Ansor lulusan S1 Syiria. Beliau adalah salah seorang cucu pendiri NU dan pencipta mars Syubbanul Wathan, KH. Wahab Chasbullah.

Pertengahan Desember 2017 silam, saat menyampaikan materi Aswaja II di hadapan peserta Pelatihan Kepemimpinan Lanjutan (PKL) di Kabupaten Mempawah. Beliau bercerita melalui sanad ibunya tentang Mbah Wahab Chasbullah.

“Dulu Mbah Wahab sering dituduh PKI, layaknya tokoh-tokoh NU sekarang ini, bahkan pernah sebuah koran pada masa itu membuat karikatur yang mengejek Mbah Wahab. Koran itu memuat karikatur Mbah Wahab, tapi di bagian kepala beliau, sorbannya dilepas dan diganti dengan gambar palu-arit (logo PKI). Alasannya, karena waktu itu Mbah Yai Wahab sering mendekati Presiden Soekarno yang dianggap Pro PKI”. Begitulah lebih kurang cerita Gus Abdul Latif Hakim.

Dari cerita ini, kita jadi mafhum dan tak perlu heran jika sekarang-sekarang ini, tokoh-tokoh NU kita, sekaliber KH. Said Aqil Siradj dan alim NU lainnya, sering dituduh antek Syi`ah, Komunis, bahkan Zionis.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Memang dari dulu begitu: dari dulu, orang yang tidak paham, iri atau yang benci pada NU, sering gegabah dalam memandang tokoh-tokoh NU; dari dulu tokoh-tokoh NU selalu rela walau diejek, difitnah asal keutuhan NKRI tetap terjaga.

Maka, kita jangan beranggapan bahwa NU telah melenceng, NU tidak lagi lurus. Tapi ketidakpahamanlah yang membuat beranggapan begitu. Mari renungkan, di zaman old: zamannya Mbah Yai Wahab, zaman mesin tik, zaman pos, zaman radio, sudah sedemikian keji fitnah pada beliau. Apalagi zaman now: zaman gadget, zaman medsos, zaman digital, tak heran jika tokoh-tokoh NU selalu disyakwasangka.

Kita pun jangan sok mau mengajari tokoh-tokoh NU yang dengan tanpa filter menyebar sembarang isu tentang PKI, Syi`ah, Yahudi, Misionaris. Seolah itu adalah informasi yang 100% benar. Seakan ulama NU tidak tahu, tak paham tentang PKI. Serta merta meyayangkan ulama NU tak mengerti perkembangan terkini. Jangan. Itu salah besar.

Pahami kisah ini….

Baca Juga:  Ancaman Arus Islam Formal

Ada seorang santri shaleh: taat luar dan elok budi pekertinya. Rajin shalat. Tiap selesai shalat, selalu membalikkan hadapan sandal sang guru sebagai bentuk takdzim agar beliau bisa dengan mudah langsung memakai sandalnya sepulang dari masjid. Begitu tiap hari. Hingga santri yang lain takjub akan ketaatan dan akhlaknya.

Hingga suatu hari, ada ulama lain yang silaturahmi ke kediaman sang guru. Santri taat dan shaleh itu tetap seperti biasanya: rajin ibadah, memperbaiki hadapan sandal sang guru. Ulama yang sedang silaturahmi kemudian menegur sang guru, “Mengap kamu tertipu dengan muridmu yang kelihatan taat dan shaleh, tidakkah kamu sadar ia adalah setan yang menyamar agar lebih mudah menggodamu?”

Kagetlah sang guru itu, karena baru tahu? Sama sekali tidak. Justeru dengn tenang, tapi berwibawa, ia menjawab, “Bukannya aku tidak tahu. Dari dulu aku sudah tahu. Tidak apa-apalah aku pura-pura tidak tahu. Biarlah ia tetap merapikan sandalku, toh aku tahu dia setan. Biarlah ia tertipu sendiri”.

Kemudian setan yang menyamar itu, bekata dengan heran, “Baru kali ini aku mendapati alim sehebat dirimi. Engkau bisa mengetahui penyamaranku”.

Lalu sang guru mengambil sandalnya dan melemparkannya pada setan itu sambil berkata, “Kamu mau menipu hatiku, ya. Agar aku ujub, sombong”. Maka setan itu pun lari.

Dari kisah yang pernah disampaikan al-Magfurlah Habib Mundzir bin Fuad al-Musawwa ini, kita mestinya mengerti.

Baca Juga:  Problematika Hukum Memakai Jilbab dari Quraish Shihab, Gus Baha, Hingga Bu Shinta Nuriyah

Bukannya ulama tidak tahu apa itu PKI, bahayanya, gerak-geriknya, kader-kadernya yang menyusup di berbagai lini. Bukannya kyai tidak tahu. Tapi begitulah bijak bestarinya mereka. Tak perlu repot-repot, ruwet-ruwet. Yang penting, mereka melakukan apa yang dapat meredam segala yang ingin mengoyakkan NKRI, bukan hanya PKI. Ingat… bukan hanya PKI.

Gusdur adalah teladan nyata dalam hal ini. Beliaulah Ali bin Abi Thalib-nya Indonesia: Banyak pengorbanan demi stabiltas negara. Hanya saja, kadang ilmu kita yang terbatas, wawasan yang sempit, pergaulan yang kurang luwes yang membuat kita tidak bisa memahami.

Maka, janganlah tergesa-gesa. Jangan gegabah menjust tokoh NU. Apakah kita merasa lebih paham tentang agama daripaada Kang Sa’id yang bergelar profesor, misalnya? Apakah kita mengklaim lebih mencintai agama daripada beliau yang sebagai putra kyai kharismatik, bahkan dzurriyah Rasul? Apakah kita lebih merasa berwawasan ketimbang beliau yang belasan tahun di Makkah dan bahasa Arabnya lebih fasih daripada orang domestik? Apakah kita mengklaim lebih pandai bicara kondisi kekinian melebihi beliau yang menahkodai NU hingga periode kedua ini?

Siapa kita, sarjanakah kita? Keturunan siapa dan mengambil sanad ilmu dari manakah kita? Pernah ke luar negerikah kita? Pengurus perkumpulan apakah kita? Jangan-jangan kita kuliah pun tidak tuntas. Anak orang buta aksara. Ke luar kota saja jarang. Hanya admin grup WA. Hanya suka share info tak jelas. Sangat timpang dengan putera Cirebon itu.

Begitulah…

Baca Juga:  Setelah NU dan Muhammadiyah, Giliran PGRI Mundur dari Program POP Mendikbud

Jangan mudah terprovokasi. Dan jangan keluar dari NU. Jika secara lahir, ada ketidaksepahaman dengan tokoh-tokoh NU, maka sampaikan kritik dengan santun setelah melakukan tabayun jika memungkinkan. Menghujat tokoh NU bukan cerminan kedewasan, apalagi mufaraqah dari NU.

Apakah jika kaum muslimin atau pemimpinnya kita anggap menyimpang dari ajaran Islam, lantas kita akan keluar dari Islam? Tidak ‘kan. Karena Islam adalah tetap sebuah keyakinan yang benar sesuai Al-Qur’an dan As-sunah.

Begitu juga NU. Karena NU tetaplah sebagaimana yang diniatkan oleh pendirinya. Cintailah NU bagaimanapun kondisinya. NU milik kita bersama. Rawat dan jaga bersama. Bukan malah meninggalkannya. Karena kita cinta pada Mbah Yai Hasyim Asy’ari.

NU tetap sama. Dari dulu tak pernah berubah dan goyah. Kukuh menjaga NKRI. NKRI Harga Mati

Faisol Abdurrahman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *