Reformulasi Pendidikan Kepemimpinan Di Pondok Pesantren

Reformulasi Pendidikan Kepemimpinan Di Pondok Pesantren

Pecihitam.org – Perekayasaan (reengenering) formula pendidikan kepemimpinan pondok pesantren di Indonesia, adalah salah satu langkah untuk mengatasi krisis kepemimpinan Indonesia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Adapun bentuk reformulasi pendidikan kepemimpinan di pondok pesantren dapat dilakuka melalui lima langkah, yakni:

Pertama, memasukkan kurikulum kepemimpinan, dan politik kedalam kurikulum pondok pesantren.

Kurikulum merupakan instrumen untuk mencapai tujuan pendidikan, tak terkecuali tujuan kepemimpinan (leadership), dan politik. Kealfaan pondok pesantren di Indonesia dalam menyajikan menu kepemimpinan, dan politik berdampak buruk pada nasib bangsa, dan negara di masa depan.

Dengan demikian, diperlukan adanya kurikulum kepemimpinan, dan politik di pesantren. Cara kerjanya dapat diformat melalui tigaranah, yakni:

(1) dimasukkannya mata pelajaran kepemimpinan, dan politik secara formal kedalam kurikulum di pondok pesantren. Mata pelajaran tersebut dapat diajarkan melalui sistem pengajian klasikal, maupun bandongan;

(2) kajian kepemimpinan, dan politik dijadikan menjadi mata pelajaran wajib sebagaimana mata pelajaran tauhid, aqidah, fiqih, al-Qur’an hadis, tajwid, dan lain sepadannya;

(3) pelbagai kegiatan keorganisasian di pondok pesantren diwajibkan mengkaji kepemimpinan, dan politik.

Kedua, mengintensifkan pelatihan kepemimpinan di pondok pesantren. Pelatihan ini didasarkan pada teori kepemimpinan. Perdebatan apakah pemimpin itu bawaan (given), atau diciptakan (made) hingga kini masih mengemuka.

Namun demikian, klasifikasi teori kepemimpinan pada umumnya mengerucut pada tiga mainstream kelompok besar, yaitu kelompok teori sifat (fraif), perilaku (behavioral), dan kontigensi (contingency).

Adanya pelbagai pelatihan kepemimpinan di pondok pesantren dapat membantu memahami bagaimana cara menjadi pemimpin yang baik, walau hanya sebatas teori.

Baca Juga:  Ahlussunnah wal Jama’ah Asya’irah Yang Mendominasi Islamisasi Nusantara

Ketiga, mengadakan program pencangkokan kepemimpinan di pondok pesantren.

Program pencangkokan kepemimpinan menjadi penting mengingat sedikit sekali pemimpin (Islam) yang terlahir dari institusi pondok pesantren. Padahal, jumlah pondok pesantren berlimpah, akan tetapi kualitas alumni yang memiliki kapasitas, dan kreteria kepemimpinan (leadership) sangat terbatas.

Melalui konsorsium pondok pesantren (lembaga pendidikan Islam, dan organisasi sosial keagamaan) dapat membuat kebijakan pencangkokan, laiknya program praktik lapangan (PPL), atau kelas magang di dunia persekolahan.

Dengan begitu, para kiai (pengelola pondok) dapat menugaskan wakilnya (guru, dan santri) bahkan dirinya sendiri untuk belajar di pondok pesantren lainnya. Selain itu, para kiai pun dapat mengirimkan putra-putrinya (gus, ning) ke pondok pesantren lainnya untuk mendalami kepemimpinan, dan pengelolaan di pondok pesantren.

Di sisi yang sama, para pengurus organisasi keagamaan (NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad) dapat pula melakukan hal yang sama, yakni mengirimkan para pengurusnya untuk saling belajar antara organisasi yang satu dengan lainnya dibidang leadership.

Keempat, mendudukkan alumni pondok pesantrenyang qualified (berkualitas) menjadi pemimpin publik.

Banyak alumni pesantren yang berkualitas tetapi peranannya di masyarakat sangat terbatas, yakni hanya menjadi guru ngaji atau dai kampung. Padahal, keilmuan mereka dibidang agama, kepemimpinan, kewirausahaan, politik, dan bidang-bidang lainnya dapat diandalkan.

Penyebabnya dari keterbatasan peranan alumni pesantren yang dimaksud tentunya bersifat kasuistis, dan kualitatif. Hanya saja, salah satu penyebab terbesar darinya adalah minimnya kesempatan, dan ruang kontestasi yang diberikan masyarakat (tokoh masyarkat, pemilik modal) kepada mereka.

Baca Juga:  Sering Kita Dengar, Ternyata Begini Sejarah Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamitthariq

Apalagi, jika mereka tidak memiliki modal kultural, dan kapital yang cukup memadai di kampungnya. Diarea inilah diperlukan personal garansi (jaminan seseorang), baik dari para kiai, tokoh masyarakat, pemilik modal, maupun organisasi keagamaan (NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan lainnya) agar mereka diberikan kesempatan berkontestasi (berdakwah, dan mengabdi) di masyarakat.

Model seperti barangkali cukup efektif diberlakukan ditengah menjalarnya materialisme, pragmatisme, dan hedonisme bawaan dunia globalisasi yang tengah menjangkiti masyarakat.

Kelima, pendampingan (coaching) pemimpin muda di pesantren.

Langkah taktis ini menjadi penting, sebab biasanya pemimpin muda (yunior) dalam menjalankan proses kepemimpinan jatuh bangun sendirian, dan para seniornya melihat dari kejauhan.Padahal, mereka terkadang butuh bimbingan, arahan, dan pedampingan.

Model coaching kepada pemimpin yunior ini dapat diterapkan oleh pondok pesantren. Agar kepemimpinan yang dijalankannya lebih efektif, dan dapat mencapai tujuan institusionalnya visi, dan misi kelembagaan secara baik. Lebih-lebih, jika pondok pesantren tersebut mempunyai basis massa di akar rumput (Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, dan Nasional) tentunya lebih efektif.

Lima langkah taktis tersebut di atas, dapat mendorong terjadinya percepatan lahirnya kepemimpinan ideal disemua level. Sebuah negara ideal selalu meniscayakan adanya pemimpin yang ideal, yaitu pemimpin yang dalam dirinya terpenuhi kecakapan untuk memimpin.

Baca Juga:  Konsep Bangsa dan Bernegara Ala Islami

Kecakapan ini bersifat naluriah (given),atau bersifat malakah irādiyyah (by effort), dan kelima langkah taktis tersebut menjadi bagian dari ijtihad menuju sifat malakah irādiyyah itu. Poin terpenting yang harus dipahami adalah terwujudnya reformulasi kepemimpinan diberbagai pondok pesantren di Indonesia berkorelasi secara positif terhadap adanya percepatan kaderisasi calon pemimpin di semua elemen.

Secara teoritis, dalam pandangan teori Operant Conditioning (S-R) yang dikembangkan oleh Skinner (1904-1980 M) menyebutkan bahwa setiap tindakan seseorang (Stimulus) akan menuai respon lanjutan. Dengan demikian, jika, para santri dikondisikan (S) diberikan pemahaman tentang dasar-dasar kepempinan, maka mereka akan mengalami perubahan sikap (R) dalam perbaikan kepemimpinan secara personal.

Muaranya, dikemudian hari nantinya berimbas secara sistemik terhadap perbaikan kepemimpinan di skop kewilayahan (regional), dimana santri tinggal setelah ia pulang dari pondok pesantren, maupun di skop nasional tatkala ia ikut berkompetisi di politik praktis.

Mochamad Ari Irawan