Sejarah Kodifikasi Hadits dan Perkembangannya (Bagian 2)

kodifikasi hadits

Pecihitam.org – Rutinitas pengumpulan hadits sudah menjadi suatu kewajiban sejak abad ke-2, hal ini dikarenakan karena perkembangan Islam semakin meluas,  dan diperlukannya rujukan hukum yang mudah. Oleh karena itu, pemeliharaan hadits sudah menjadi tanggungjawab para pemimpin pada saat itu.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Masa Pemeliharaan, Penertiban dan Penambahan Dalam Penulisan Hadist (Abad 4 s/d 7 H)

Setelah sejarah kodifikasi hadits sampai pada tahap pemurnian dan penyempurnaan penulisan pada abad ke 3 H, kemudian dilanjut dengan masa pemeliharaan, penertiban, dan penambahan dalam penulisan pada abad ke- 4

Dimulai sejak khalifah al-Muqtadir sampai pada al-Mu’tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada abad ke 7, akibat penyerangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan. Namun kegiatan para ulama hadits dalam sisi pemeliharannya dan pengembangkannya berlangsung sebagaimana periode sebelumnya.

Hanya saja penghimpunan hadits pada masa ini, tidaklah sebanyak masa sebelumnya. Adapun kitab-kitab hadits yang dihimpun adalah:                                                                                                                

  1. Al-Muntaqa, oleh ibn Jarud.  (295 H)
  2. Al-Shahih, oleh ibn Khujaimah (313 H).
  3. Al-Musnad, oleh Abu Awanah (316 H).
  4. Al-Anwa’wa al-Taqsim, oleh ibn Hibban (354 H).
  5. Al-Muhtarah, oleh Muhammad ibn Abd al-Maqdisi  (634 H)

Kitab-kitab di atas merupakan bahan rujukan bagi para ulama hadits. Selanjutnya menyusun kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun sanad serta matannya yang saling berhubungan.

Baca Juga:  Sejarah Kodifikasi Hadits dan Perkembangannya (Bagian 1)

Bentuk-bentuk penyusunan kitab hadits pada masa ini memunculkan inovasi, yaitu:

  1. Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matan hadits tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip matannya ataupun dari kitab-kitab lainnya.
  2. Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau yang lainnya, dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan hadits tersebut dengan sanadnya sendiri.
  3. Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya.
  4. Kitab Jami’, kitab ini menghimpun hadits-hadits yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada, seperti, hadits-hadits shahih Bukhari dan Muslim.

Pensyarahan, penghimpunan, pentakhiran dan pembahasan Hadist (Abad 7 H s/d sekarang)

Setelah penaklukkan Mesir yang ditandai dengan runtuhnya Dinasti Abbasiyah, maka pusat kekuasaan Islam berpindah ke Konstantinopel pada abad ke-13 H, kemudian Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaannya masa silam.

Namun Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara bertahap mereka mulai menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M sampai abad ke-20 M hampir seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa Eropa.

Baca Juga:  Mengenal Kerajaan Islam Di Indonesia

Kembangkitan kembali umat Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M. Maka periwayatan hadits pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara al-ijazah dan mukatabah.

Sedikit sekali dari ulama hadist pada periode ini yang melakukan periwayatan secara hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama yang terdahulu, di antaranya: 

  1. Al-‘Iraqi (w. 806 H/ 1404 M). Dia berhasil mendiktekan hadits secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun 796 H / 1394 M, serta menulis beberapa kitab hadist.
  2. Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H / 1448 M), seorang penghafal hadits yang tiada tandingannya pada masanya. Ia telah mendiktekan hadits kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan hadits.
  3. Al-Sakhawi (w. 902 H / 1497 M), ia merupakan murid Ibnu Hajar, yang telah mendiktekan hadits kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab.

Pada masa ini, para ulama hadits pada umumnya mempelajari kitab-kitab hadits yang sudah ada dan selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya sehingga menghasilkan beberapa karya, seperti kitab Syarah, Mukhtashar, Zawa’id, Takhrij dan lain sebagainya.

Tentunya tidak terlepas dari pengkaji hadits pada saat sekarang, selain mengkaji Matan (isi) hadist tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak hanya menerima bahwa hadits tersebut shahih atau tidak shahih.

Akan tetapi kita telah mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab hadits tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan hadits dari orang-orang yang ingin menyelewengkannya.

Baca Juga:  Asuransi Menurut Islam, Konsep Al-Aqilah Ini Bisa Menjadi Pertimbangan Istinbath Hukum

Dalam sejarah kodifikasi hadits ini, kita tidak terlepas dari ilmu Tarikhir-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi hadits baik yang bersangkutan dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan mereka menerima hadits dari guru-guru mereka.

Demikianlah uraian sejarah kodifikasi hadits dari zaman Rasul hingga sekarang. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.                                                                                                           

Nur Faricha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *