Sholawat Burdah, Siapakah Pengarangnya?

Sholawat Burdah, Siapakah Pengarangnya?

PeciHitam.org – Sholawat Burdah bagi masyarakat indonesia sudah tidak asing lagi, seakan-akan sholawat “Maulaya Shalli wa sallim daiman abada” nyaris tak pernah dtinggalkan disetiap bacaan sholawat ketika maulid baginda nabi besar muhammad SAW. Pengarang Sholawat Burdah ini adalah Imam al-Busiri (610 H-695 H).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Imam al-Bushiri merupakan murid dari seorang guru yang terkenal yaitu Abdul ‘Abbas al-Mursi dan dia juga merupakan penyair yang ulung dan kaligrafer yang hebat pada masanya.

Bait Sholawat Burdah ini berjumlah 160 bait, bait-bait tersebut mengandung nilai sastra yang tinggi, lembut, dan menyentuh setiap pembacanya yang mengerti sastra Arab. Di dalam qasidahnya Imam al-Bushiri mengisahkan tentang kehidupan Nabi.

Lebih menarik lagi, sebelum beliau menceritakan sirah Nabi tersebut, beliau menempatkan beberapa renungan indah yang dapat menyentak jiwa para pembacanya. renungan ini ada di dalam pasal kedua, yang menyatakan tentang bahayanya hawa nafsu.

فَإِنّ أَمّارَتِ بِالسّـوءِ مَا اتّعَظَتْ مِنْ جَهْلِهَا بِنَذِيرِ الشّيْبِ وَالَهَرَمِ

Artinya: “Sungguh nafsu amarahku tak dapat menerima nasihat, karena ketidaktahuannya. Akan peringatan berupa uban di kepala, dan ketidakberdayaan tubuh akibat umur senja”.

Al-Bushiri menegaskan dalam bait ini bahwa hampir semua manusia tidak sadar akan hawa nafsu yang mengelabuinya seumur hidup. Bahkan ketika usia senja, kita tak dapat menjamin hidayah akan datang kecuali kita mendapat ‘inayah dari Allah swt. Padahal tanda-tanda maut sudah ada, yaitu uban yang tumbuh pada rambut.

Baca Juga:  Kontroversi Yazid bin Muawiyah dalam Tragedi Karbala, Bagaimana Sebaiknya Sikap Kita?

مَنْ لِي بِرَدِّ جِمَاحٍ مِنْ غَوَايَتِهَا كَمَا يُرَدُّ جِمَاحُ الَخَيْلِ بِاللُّجُمِ

Artinya: “Siapakah gerangan yang sanggup mengendalikan nafsuku dari kesesatan

Sebagaimana kuda liar yang terkendalikan dengan tali kekangan”

Teringat suatu ketika pasca-Rasulullah SAW pulang dari perang Badar, beliau  berkata, “Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran besar.” Lalu para sahabat bertanya, “Apakah pertempuran yang lebih besar itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab, “Jihad (memerangi) hawa nafsu.”

Artinya, sungguh besarnya kekuatan dari hawa nafsu, hingga Rasulullah SAW pun menggambarkan hawa nafsu sedemikian rupa.

فَلاَ تَرُمْ بِالْمَعَاصِيْ كَسْرَ شَهْوَتِهَا إِنّ الطَّعَامَ يُقَوِّيْ شَهْوَةَ النَّهِمِ

Artinya: “Jangan kau berharap, dapat mematahkan nafsu dengan maksiat. Karena makanan justru bisa perkuat bagi si rakus makanan lezat.”

وَالنّفْسُ كَالطّفِلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ

Artinya: “Nafsu bagaikan bayi, bila kau biarkan akan tetap suka menyusu. Namun bila kau sapih, maka bayi akan berhenti sendiri”

Baca Juga:  Ternyata Begini Cara Turun Hujan Menurut Imam Al-Razi

Sebagian orang beranggapan, dengan mengikuti hawa nafsu, nafsu itu akan berkurang karena habis dilampiaskan. Tetapi kenyataan tidak begitu, hawa nafsu akan semakin menjadi-jadi ketika dituruti, bagaikan orang yang rakus jika diberi makanan maka ia akan bertambah rakus.

Imam al-Bushiri mengibaratkan nafsu itu seperti seorang bayi. Apabila bayi itu tidak disapih, maka sampai besarpun ia akan tetap menyusu pada ibunya, dan tentunya itu sangat membahayakan.

فَاصْرِفْ هَوَاهَا وَحَاذِرْ أَنْ تُوَلِّيَهُ إِنّ الْهَوَى مَا تَوَلَّى يُصِمْ أَوْ يَصِمِ

Artinya: “Maka palingkanlah nafsumu, takutlah jangan sampai ia menguasai-nya. Sesungguhnya nafsu, jikalau berkuasa maka akan membunuhmu dan membuatmu tercela”

وَرَاعِهَا وَهْيَ فِيْ الأَعْمَالِ سَآئِمَةٌ وَإِنْ هِيَ اسْتَحْلَتِ الْمَرْعَى فَلاَتُسِمِ

Artinya: “Dan gembalakanlah nafsu, karena dalam amal nafsu bagaikan hewan ternak. Jika nafsu merasa nyaman dalam kebaikan, maka tetap jaga dan jangan kau lengah.”

Dari bait diatas, Imam al-Bushiri menghimbau kita untuk mengontrol hawa nafsu supaya menjadi tertib dan tidak menjadi liar. Beliau juga mengingatkan kita bahwa tidak semua yang kita anggap indah, pada hakikatnya juga indah. Bisa jadi ia merupakan racun yang terkandung di dalam hidangan yang lezat, sebagaimana disebutkan dalam syairnya:

Baca Juga:  Ketika Hijrah Hanya Dipahami Sebagai Ibadah Mahdah

كَمْ حَسّنَتْ لَذّةً لِلْمَـــــــرْءِ قَاتِلَةً مِنْ حَيْثُ لَمْ يَدْرِ أَنّ السَّمَّ فِي الدَّسَمِ

Artinya: “Betapa banyak kelezatan, justru membawa kematian bagi seseorang. Karena tanpa diketahui, adanya racun tersimpan dalam makanan.”

Kemudian, setelah kita merenungi tentang hawa nafsu. Kita dianjurkan untuk segera meminta ampunan pada Allah SWT dari perkataan yang tidak disertai dengan perbuatan. Ini harus menjadi cerminan bagi kita, selama ini amal dan perbuatan kita tidak sebaik perkataan yang terlontar dari lisan kita maupun postingan kita di media sosial.

أَسْتَغْفِرُ الَّلهَ مِنْ قَوْلٍ بِلاَعَمَــلٍ لَقَدْ نَسَبْتُ بِهِ نَسْلً لِذِي عُقُمِ

Artinya: “Aku mohon ampun kepada Allah dari ucapan tanpa disertai amal Aku telah menasabkan diriku dengan perkataan itu, bagaikan seorang yang mandul mengharap keturunan.”

Semoga allah menganugerahi kesempatan untuk bertafakur dan muhasabah atas segala kesalahan dan dosa dalam diri kita, sehingga kita bisa luput dari menghukumi kesalahan orang lain. Demikian penjelasan perihal Sholawat Burdah beserta esensinya.

Mochamad Ari Irawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *