Bukan Abal-Abal, Begini Deskripsi Ulama dalam Pandangan NU

Bukan Abal-Abal, Begini Deskripsi Ulama dalam Pandangan NU

PeciHitam.org Gelar Ulama pada masa sekarang sudah menjadi Komoditas yang seringkali ‘dihargai dan didapatkan’ sangat murah. Cukup berbekal gamis, peci, sorban, berjenggot dan ‘berteriak’ back to Al-Qur’an dan Hadits serta ‘mana Dalilnya’ bisa disahkan menjadi Ulama kenamaan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Padahal proses menjadi Ulama tidaklah mudah, karena harus menguasai seperangkat keilmuan Islam yang  sangat kompleks. Imam Syafii sendiri, putra seoran Ulama tetap bersusah payah mencari Ilmu sampai ke Kota Madinah bertemu dengan Imam Anas bin Malik.

Tidak ada keinstanan dalam Islam, apalagi seminggu mu’allaf kemudian berfatwa dalam mimbar-mimbar Masjid.

Organisasi Ulama di Nusantara yang terbesar yakni Nahdlatul Ulama, memandang miris fenomena Ulama ‘karbitan’ karena akan merusak tatanan Islam sebagai agama yang berdasarkan ilmu.

Ulama dalam pandangan NU adalah sebuah usaha untuk memahami Islam dengan kaffah atau Holistik berserta dengan khazanah keilmuannya.

Ulama adalah Gelar Keilmuan

Etimologi Ulama adalah seorang yang berilmu, baik dalam disiplin Ilmu umum atau ilmu keislaman. Penyempitan makna terjadi ketika kata Ulama masuk ke Nusantara, yang hanya merujuk pada penyebutan Ahli Agama Islam.

Hakikatnya Ulama adalah gelar Keilmuan atau spesialis, maka seyogyanya Gelar Ulama menyemat kepada mereka yang expert atau ahli dalam Islam.

Baca Juga:  Menjawab Tuduhan Ustadz Zainal Abidin Lc Tentang Shalawat Bid’ah

Nahdlatul Ulama menyikapi fenomena Ustadz yang banyak melakukan kekeliruan bukan karena kealfaan atau kelupaan namun karena kebodohan. Sikap ini tertuang dalam syarat-syarat secara khusus yang dapat diakui sebagai ulama panutan Umat.

  1. Seorang dengan gelar Ulama harus dalam hidupnya selalu berpedoman kepada al-Qur’an, Sunnah, al-Ijma‘ (Konsensus Ulama), dan al-Qiyas (Analogi Hukum Islam). Termasuk memahami klasifikasi ayat-ayat al-Qur’an baik ‘Am-Khas, Muhkamah-Mutasyabih, Haqiqi-Majazi dan lain sebaginya.
  2. Dalam hadits harus memahami kriteria hadits yang diterima dan pembagian Ulumul Hadits, mulai dari Jarh wa Ta’dil, Rawiyul Hadits, Rijalul Hadits, kritik Matan dan Rawi, serta Gharbul Hadits.
  3. Berakidah Islam Ahlussunnah wa al-Jama‘ah dengan ketentuan dalam bidang ilmu Kalam (teologi) harus mengikuti madhhab Abu Hasan Ali Al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi. Dalam bidang Fikih mereka mengikuti salah satu dari 4 Madzab, yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii da Imam Hanbali. Dalam bidang akhlak-tasawuf mereka mengikuti pemikiran Imam Abu Junaid Al-Baghdadi dan Imam Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali.

Syarat ulama dalam pandangan NU di atas bukanlah sayarat yang  sederhana karena bisa berkembang luas dengan keilmuan Ulumul Qur’an, Hadits, jenis-jenis Ijma’ dan pembagian dalam berhukum menggunakan Qiyas.

Ijma’ sendiri harus terbagi dua jenis, yaitu Qauli dan Sukuti, sedangkan Qiyas bisa terbagi menjadi sembilan yang antara lain adalah Qiyas Mantiqi, Jadali, Iqna’i, Bayani, Aulawi, dana lain sebagainya.

Baca Juga:  Perintah Membaca dalam al Quran dan Tantangan Literasi Umat

Pembagian keilmuan dalam Islam harus dipahami oleh Muslim ketika pantas digelari Ulama. Jangan sampai Islam tereduksi karena Ulama hanya sekedar Komoditas.

Kedudukan Ulama dalam Pandangan NU

Tidak samar lagi bahwa secara umum setiap Muslim akan mengakui kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya kedudukan, martabat, dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan. Mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka.

Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al- akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertakwa. Allah SWT berfirman;

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ (٩

Artinya; “Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (Qs. Az-Zumar: 9)

Dan Nabi Muhammad SAW sendiri menyebut Ulama sebagai penerus pejuangan beliau dalam hal menegakkan Islam. Bahwa Nabi SAW bersabda;

Baca Juga:  Kesantunan Dakwah Islam Kepada Non Muslim Ala KH Hasyim Asyari

إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Artinya; “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)

Ulama dalam pandangan NU adalah sebuah gelar keilmuan yang didapatkan dengan belajar dengan tekun serta dalam masa yang tidak sebentar.

Tidak ada instan dalam belajar Agama Islam kecuali hanya ingin menjadi Ulama ‘karbitan’ yang berfatwa dengan kebodohan. NU sendiri menempatkan Ulama dalam susunan Organisasi teratas, yaitu Rais ‘Amm PBNU.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan