Tidak Semua Ajaran Islam Bersifat Tetap, Ada yang Boleh Diubah, Ini Contohnya

Tidak Semua Ajaran Islam Bersifat Tetap, Ada yang Boleh Diubah, Ini Contohnya

PeciHitam.org Islam adalah agama indah, islam sangat mengayomi seluruh manusia melalui ajaran-ajaran yang telah diturunkannya melalui Al-Quran dan Hadis dengan perantara Nabi SAW di umurnya yang singkat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Islam mengajarkan nash-nash yang begitu terbatas namun memiliki visi yang sanggup mewakili segala problematika yang ada. Tentu saja hal ini bisa tercapai melalui tafsir dan penggalian makna-maksud.

Hal tersebut menjelaskan bahwasanya nash bersifat interpretiple (membuka ruang penafsiran) terhadap problematika baru dengan tetap memegang teguh visi yang al-Quran bawa.

Tetapi perlu diketahui, tidak semua ajaran boleh ditafsirkan dan diubah seenaknya.

Daftar Pembahasan:

Ajaran yang Tidak Boleh Diubah

Terdapat hal-hal dari ajaran Islam yang berlaku baku (tetap, tidak berubah-ubah) dan ada hal hal yang bisa berubah-ubah. Hal-hal yang baku dan tidak berubah-ubah sepanjang masa;

Pertama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Utusan-utusan Tuhan, kitab-kitab suci, dan pada kehidupan sesudah kematian atau yang popular disebut hari akhirat.

Kedua, pokok-pokok ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji, dan

Ketiga adalah prinsip-prinsip kemanusiaan universal.

Ajaran yang Boleh Dirubah

Sementara hukum-hukum yang bisa berubah adalah masalah masalah yang menyangkut relasi atau pergaulan antar manusia dalam suatu komunitas, atau dalam konteks fikih Islam ia popular disebut “mu’amalat”.

Bidang ini meliputi aturan-aturan mengenai relasi manusia dalam keluarga, dan aturan-aturan mengenai relasi antar manusia dalam kehidupan rumah tangga, sosial, budaya, ekonomi, politik, serta pergaulan antar bangsa.

Baca Juga:  Syubhat dan Syahwat, Penyebab Penyakit Hati yang Berbahaya

Muamalah adalah dimensi hukum Islam yang paling luas, dinamis, dan terus bergerak dalam proses yang tidak akan pernah berhenti sejalan dengan keniscayaan perubahan kehidupan manusia sendiri.

Dalam konteks perubahan yang terus menerus ini, maka adalah kebijaksanaan Tuhan bahwa teks-teks keagamaan tidak mengatur detail-detail masalah dan hukum hukumnya, melainkan lebih banyak menetapkan dasar-dasarnya (mabadi) yang bersifat moral-etis. Beberapa di antaranya adalah :

  • ‘adam al-dharar (tidak merugikan/merusak),
  • ‘adam al-gharar (tidak menipu),
  • adam al-ihtikar (non diskriminatif),
  • ‘adam al-ikrah (non kekerasan),
  • al-taradhi (kerelaan pihak pihak yang terlibat),
  • mu’asyarah bi al-ma’ruf (pergaulan yang baik),
  • syura/ musyawarah (dialog konsultatif) dan sebagainya.

Semua dasar ini pada akhirnya bermuara pada satu dasar utama yang bernama maslahah atau kebaikan umum. Dengan kata lain, keputusan hukum terhadap problem problem muamalah (sosial/publik) didasarkan pada kemaslahatan umum ini. Para ulama ahli hukum telah sepakat bahwa kemaslahatan adalah tujuan hukum/syariat.

Pertanyaan yang selalu muncul terkait dengan isu ini adalah bagaimana apabila pertimbangan hukum atas dasar kemaslahatan tersebut bertentangan dengan bunyi literal teks suci, baik Al-Qur’an maupun hadis dan dengan ijma’ ulama (konsensus).

Mengenai hal ini, menarik sekali untuk dikemukakan pandangan Dr. Musthafa Syalabi dalam bukunya Ta’lil al-Ahkam :

Apabila kemaslahatan bertentangan dengan “nas” (teks), dalam bidang muamalat dan adat-kebiasaan (tradisi) yang kemaslahatannya telah berubah, maka kemaslahatanlah yang harus dipertimbangkan, dan hal ini tidaklah dapat dikatakan sebagai menentang “nas” melalui semata-mata pendapat nalar. Sebaliknya, ia justru mengaplikasikan “nas-nas” yang sangat banyak yang menunjukkan keharusan menjaga kemaslahatan tersebut. Akan tetapi, apabila kemaslahatan dalam “nas” tidak berubah, maka nas sama sekali tidak boleh diabaikan”. Syalabi selanjutnya mengatakan: “Siapa pun yang merenungkan secara mendalam tentang adanya kontradiksi tersebut, hal itu sebenarnya hanyalah dalam bentuk lahiriahnya saja.

Baca Juga:  Inilah 5 Hal yang Menjadi Keprihatinan Ulama Terhadap Keilmuan Islam Sekarang Ini

Hal ini karena nas sesungguhnya diturunkan (dibuat) dalam rangka menegakkan kemaslahatan tertentu. Manakala kemasalahatan tersebut telah hilang, maka ia tidak relevan lagi untuk diimplementasikan.

Demikian pula apabila nas disertai dengan “illat”-nya. Manakala illat tersebut hilang, maka hukum tersebut juga selesai. Ini adalah pemahaman para sahabat dan generasi sesudahnya.

Demikian juga halnya terhadap masalah hukum yang telah diputuskan secara konsensus (ijma’). Adalah benar bahwa kesepakatan ulama tidak boleh dilanggar.

Akan tetapi, hal ini terjadi hanya pada kesepakatan atas masalah hukum yang kemaslahatannya tidak berubah-ubah sepanjang masa. Syalabi mengatakan :

وانا اضم صوتی صوت هؤلاء في انه لا يجوز مخالفة الاجماع. ولكن اذا تحقق الاجماع وثبت منقولا الينامن طريق صحيح على حكم لا ت تغير مصلحته على مدى الأيام

Artinya: “Aku sepakat dengan para ulama bahwa ijma’ ulama tidak boleh dilanggar. Akan tetapi, hal ini apabila ijma’ tersebut telah benar-benar nyata dan disampaikan kepada kita melalui jalan (transimisi) yang sahih atas hukum yang kemaslahatannya tidak mengalami perubahan sepanjang zaman”.

Ijtihad Khalifah Umar dalam Mualamah

Umar bin Khattab, sahabat Nabi, adalah tokoh besar yang banyak sekali mendasarkan keputusannya berdasarkan prinsip kemaslahatan ini. Beberapa di antaranya adalah pembatalan hukuman potong tangan ketika masyarakat menghadapi situasi krisis ekonomi yang luas.

Baca Juga:  Maladewa, Negeri 90 Persen Air dengan Penduduk 100 Persen Muslim

la juga tidak membagikan tanah rampasan perang hanya kepada para tentera yang ikut dalam perang yang tak digaji (al-ghuzzat ghair al-murtaziqin), tetapi menyerahkannya kepada Negara untuk kepentingan masyarakat secara lebih luas, dan talak tiga yang diucapkan suami kepada isterinya menjadi jatuh tiga.

Keputusan-keputusan Umar ini berbeda dari keputusan Nabi. Hal ini tidaklah berarti bahwa dia menentang Nabi, Umar justru menegakkan maksud dan visi al-Qur’an. Ia memahami bahwa hukum yang diputuskan Nabi adalah relevan dengan kemaslahatan sosial beliau.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan