Bagaimanakah Hukum Menggauli Isteri Saat Istihadlah? Ini Penjelasan Ulama Syafiiyah

Bagaimanakah Hukum Menggauli Isteri Saat Istihadlah, Ini Penjelasan Ulama Syafiiyah

Pecihitam.org – Kebutuhan untuk melakukan hubungan badan antara suami isteri merupakan kebutuhan dasar biologis manusia. Apabila hasrat ini datang susah untuk membendungnya. Bagaimana kalau hasrat datang saat isteri istiglhadlah, bagaimanakah hukum menggauli isteri saat istihadlah?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Gambaran dari darah istihadlah merupakan kondisi di mana isteri sedang mengeluarkan darah. Darah itu bukan darah menstruasi atau haid. Bukan juga darah wiladah, bukan darah nifas atau darah pasca melahirkan. Darah ini sering orang menyebutnya dengan darah penyakit.

Darah istihadhah adalah darah yang berasal dari urat yang pecah atau putus dan keluarnya bukan pada masa haid atau nifas (kebanyakan), tapi terkadang juga keluar pada masa adat haid dan saat nifas.

Karena dia adalah darah berupa penyakit, maka dia tidak akan berhenti mengalir sampai wanita itu sembuh darinya. Karena itulah, darah istihadhah ini kadang tidak pernah berhenti keluar sama sekali dan kadang berhentinya hanya sehari atau dua hari dalam sebulan.

Menurut istilah Fiqh darah Istihadlah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita di luar kebiasaan bulannya (haid) atau di luar waktu haid, serta bukan disebabkan karena melahirkan.

Baca Juga:  Apakah Hukum Qisas Bagi Provokator yang Membuat Orang Lain Bertikai Juga Berlaku?

Pada umumnya, wanita mengalami haid selama enam sampai delapan hari. Paling lama lima belas hari. Ketika melebihi lima belas hari itulah disebut dengan darah istihadhah.

Seorang wanita yang mengalami istihadhah dilarang meninggalkan ibadahnya, seperti salat, puasa dan ibadah lainnya.

Ketika wanita istihadlah tidak dicegah untuk melakukan ibadah semacam shalat, maka saat itu pula tidak ada larangan untuk ‘mendekatinya’.

Karena sebagaimana dzahir QS. Al-Baqarah ayat 222 merupakan larangan melakukan hubungan dengan wanita yang sedang haid atau menstruasi, tidak mencakup larangan menggauli isteri saat istihadlah.

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.

Dari ayat inilah, kemudian para ulama beristinbath atau mengeluarkan produk hukum tentang kehalalan menggauli isteri saat istihadlah, terlebih jika dikhawatirkan melakukan zina sekiranya tidak melakukan ‘hubungan’.

Baca Juga:  Acara Selamatan Kehamilan, Apakah Ada Dalil dan Anjurannya dalam Islam?

Ibarat-ibarat tentang ini banyak dimuat dalam beberapa kitab Fiqh baik yang dasar hingga lanjutan. Berikut kami nukilkan dua di antaranya

Pertama, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra karya Ibnu Hajar al-Haitami

عِبَارَةُ الْمَجْمُوعِ يَجُوزُ عِنْدَنَا وَطْءُ الْمُسْتَحَاضَةِ في الزَّمَنِ الْمَحْكُومِ بِأَنَّهُ طُهْرٌ وَإِنْ كان الدَّمُ جَارِيًا وَهَذَا لَا خِلَافَ فيه عِنْدَنَا وَنَقَلَهُ جَمْعٌ عن أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ انْتَهَتْ

Redaksi dalam kitab al-Majmuu’ “Boleh menurut kami (syafi’iyyah) menggauli isteri saat istihadlah dalam masa yang ia dihukumi keadaan suci meskipun darahnya sedang mengalir. Yang demikian tidak ada perbedaan pendapat diantara kami (syafi’iyyah) dan bahkan segolongan ulama menyatakan keterangan tersebut sesuai mayoritas ulama”. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra Jilid I halaman 20)

Baca Juga:  Menjadi Tamu Tak Diundang dalam Pesta: Bagaimana Hukum Menyantap Hidangannya?

Kedua, Mughni al-Muhtaj karya Syaikh Khatib As-Syarbaini

ويجوز وطء المستحاضة في الزمن المحكوم عليه بأنه طهر ولا كراهة في ذلك وإن كان الدم جاريا

Boleh menggauli istri saat istihadhah dalam masa yang ia dihukumi keadaan suci dan yang demikian tidaklah makruh meskipun darahnya sedang mengalir. (Mughni al-Muhtaaj ila Ma’rifah Alfadz al-Minhaj Jilid I halaman 112].

Faisol Abdurrahman