Pecihitam.Org – Pernikahan jarak jauh atau biasa disebut dengan Long Distance Marriage merupakan fenomena yang tidak asing lagi termasuk di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada dampak pernikahan jarak jauh atau LDR.
Long Distance Marriage mengambarkan tentang situasi pasangan yang terpisah secara fisik, yaitu salah satu pasangan harus pergi ke tempat lain untuk kepentingan tertentu seperti bekerja dan pasangan yang lain harus tetap tinggal di rumah atau di daerah asalnya (Pistole, dalam Ramadhini dan Hendriani, 2015).
Ada berbagai alasan pasangan suami istri tidak dapat tinggal dalam satu rumah atau satu atap. Salah satu contohnya adalah suami yang harus dimutasikan ke lain kota oleh perusahaan tempat ia bekerja dan istri tetap tinggal di kota asal, sehingga harus menjalani hubungan jarak jauh. Umumnya, mereka memilih kondisi tersebut karena mempertahankan profesi atau pekerjaan masing-masing.
Perpisahan antara suami istri secara fisik merupakan suatu hal yang berat karena tidak dapat bertemu setiap saat (Purnamasari, 2008). Menjalin hubungan pernikahan jarak jauh bukanlah persoalan yang mudah dibandingkan dengan pasangan yang tinggal serumah serta memiliki intensitas waktu bertemu hampir setiap hari.
Pasangan yang menjalani hubungan pernikahan jarak jauh tentu memiliki conflict resolution (resolusi konflik) yang berbeda dengan pasangan yang tinggal serumah. Hal ini dikarenakan faktor jarak, pertemuan, serta komunikasi yang terbatas.
Namun, belum tentu setiap pasangan mampu menyelesaikan dampak Pernikahan Jarak Jauh dan memiliki resolusi konflik yang baik serta mendapatkan hasil yang diinginkan.
Dengan keadaan jarak jauh seperti ini, pasangan hanya dapat menyelesaikan permasalahannya melalui komunikasi via telepon karena tidak dapat bertemu langsung. Resolusi konflik yang baik adalah pasangan yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahannya dengan cara saling terbuka terhadap pasangan serta saling mendukung dan membangun kepercayaan (Fowers dan Olson, dalam Andromeda dan Noviajati, 2015).
Pada umumnya dalam Long Distance Marriage intensitas kebersamaan menjadi berkurang. Sehingga sangat sulit untuk membangun keintiman dalam keluarga serta dapat menimbulkan konflik-konflik tertentu akibat tidak terpenuhinya kebutuhan bersama.
Hal ini bisa saja mempengaruhi kepuasan perkawinan yang dirasakan. Terlebih lagi ketika pasangan yang menjalani hubungan pernikahan jarak jauh belum memiliki anak. Komitmen yang terbentuk, resolusi konflik yang dilakukan, serta kepuasan perkawinan yang dirasakan akan berbeda dengan pasangan yang memiliki anak.
Kepuasan perkawinan yang dirasakan pada istri yang menjalani hubungan pernikahan jarak jauh dengan istri yang tinggal serumah bersama sang suami belum tentu sama. Apalagi dari faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan mereka. Salah satunya adalah kehadiran seorang anak.
Menurut Duvall dan Miller (dalam Suryani, 2008) salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan adalah kehadiran seorang anak. Komitmen yang tidak terbentuk dengan baik, juga dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan yang dirasakan. Komitmen yang dibentuk sangat mempengaruhi suatu hubungan terlebih lagi pada hubungan pernikahan jarak jauh.
Seperti yang dijelaskan, komitmen merupakan keadaan batin untuk tetap mempertahankan suatu hubungan yang meliputi ketergantungan dan kepercayaan bahwa seseorang tidak akan meninggalkan hubungan yang telah dibangun sebelumnya (Cooper dan Makin, dalam Wulandari, 2009).
Resolusi konflik yang dilakukan ketika menyelesaikan permasalahan juga dapat mempengaruhi komitmen dan kepuasan perkawinan yang dirasakan. Dalam menyelesaikan permasalahan, dibutuhkan kemampuan untuk dapat berkompromi dengan pasangan agar menemukan hasil yang diinginkan.
Seperti yang dijelaskan Fowers dan Olson (dalam Andromeda dan Noviajati, 2015) bahwa salah satu aspek dari kepuasan perkawinan adalah conflict resolution atau resolusi konflik. Dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dibutuhkan sikap saling terbuka, saling mendukung dalam menyelesaikan permasalahan serta kerja sama.
Jika pasangan tidak dapat saling terbuka dan tidak saling mendukung dalam menyelesaikan permasalahan, hal ini akan berpengaruh pada kepuasan perkawinan yang dirasakan. Ketika kepuasan perkawinan yang dirasakan berkurang, maka akan mempengaruhi dengan komitmen yang telah terbentuk.
Seperti yang dijelaskan Johnson (dalam Latifatunnikmah, 2015) yaitu adanya kepuasan dalam perkawinan serta terbentuknya suatu kepercayaan individu terhadap pasangangannya akan menyebabkan individu itu tidak ingin meninggalkan hubungannya.