Gus Baha: Alasan Mengapa Ulama Dahulu Wudhu Menggunakan Padasan

gus baha

Pecihitam.org – Pada sebuah kajian yang di isi oleh Gus Baha sebagai narasumber dan pada kesempatan itu beliau membahas tentang para ulama terdahulu memiliki sisa-sisa wirosah nubuwah. Jadi Gus Baha menjelaskan bahwa “saat ini sudah tidak ada wahyu makanya ulama itu seharusnya cerdas “al ulama waratsatul anbiya” walaupun ulama tidak sekolah namun harus cerdas dan pintar” kata Gus Baha.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Gus Baha menyebutkan bahwa setiap ulama yang sungguhan maka ia pernah bermukasyafah berapapun kadarnya. Seperti sebuah kisah seorang wali yaitu Imam Abu Hanifah yang pernah bermukasyafah dapat melihat jatuhnya dosa-dosa manusia hanya dari tetesan air wudhu.

Abu Hanifah berpendapat bahwa wudhu menggunakan air musta’mal itu tidak sah. Sehingga berwudhu di jeding (tempat mandi) yang airnya jatuh lagi itu juga tidak sah. Bahkan dulu gelombang besar yang di gunakan untuk berwudhu menurut Abu Hanifah juga tidak sah.

Sedangkan menurut Imam Syafi’I, air yang takarannya di atas dua kolah dan tidak tagaiyur maka sah untuk di gunakan meskipun sudah musta’mal.

Baca Juga:  Gus Baha: Kisah Santri Nakal Naksir Sama Putri Kyai

Gus Baha menceritakan sebuah kisah dari Abu Hanifah yang pernah bermukasyafah bahwa ada orang yang habis berzina kemudian berwudhu di sebuah kolam. Lalu Imam Abu Hanifah langsung berkata: ‘Ya Syekh tub’ani zina” kamu jangan suka melakukan dosa zina. Karena beliau tahu bahwa Rasulullah Saw bersabda kalau air wudhu bisa menggugurkan dosa. Abu Hanifah tahu kalau dosa zina orang itu jatuh dari air wudhu.

Setelah itu ada seorang anak muda, lalu Abu Hanifah berkata: “Kamu kalau mendengarkan suara gitar itu jangan terlalu sering”. Terakhir ada anak muda yang menyakiti orang tuanya kata Imam Abu Hanifah “ Kamu itu jangan suka menyakiti orang tua mu”.

Hal ini tentu saja membut ketiga anak muda tersebut terheran-heran kenapa Imam Abu Hanifah bisa mengetahui dosa mereka. Imam Abu Hanifah lalu menjelaskan : “ Saya mengetahui jatuhnya dosa kamu, sehingga saya tahu kadar dosa yang engkau perbuat”.

Baca Juga:  Ngaji Gus Baha; Ibadah yang Paling Dibenci Setan

Gus Baha menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah bermusyafakah mengenai sabda Rasulullah Saw tentang air wudhu yang dapat menggugurkan dosa sehingga beliau sangat memahami hal tersebut.

Menurut Gus Baha, Imam Abu Hanifah yang telah bermukasyafah seperti itu tidak mungkin kalau dia berpendapat secara fikih bahwa air yang kejatuhan najis dari dosa-dosa tersebut dapat di gunakan lagi. Oleh sebab itu, beliau bependapat bahwa air yang musta’mal tidak boleh di pakai lagi.

Sedangkan Imam Syafi’i tidak menghukumi bahwa air tersebut bukan tidak sah, namun lebih menganjurkan bahwa sebaiknya berwudhu itu menggunakan air yang mengalir. Itulah mengapa orang-orang kuno zaman dahulu menggunakan padasan atau kalau istilah modernnya adalah kran.

Gus Baha kembali menegaskan, “Perkarannya (memakai padasan) dosa yang rontok biar lewat, sudah pernah di pakai mensucikan najis kok di pakai lagi.”

Sementara itu, Imam Abu Hanifah terus menangis dan berdo’a, “ Ya Allah saya mohon mukasyafah ini engkau tutup karena dengan mukasyafah ini saya melihat aibnya, aurotnya atau kesalahan orang mukmin”.

Baca Juga:  Istimewa! Ternyata 70 ribu Malaikat Mendoakan Orang yang Membaca Surat Ini

Setelah beliau berdo’a kemudian Allah Swt menutupnya. Sehingga makom tertinggi adalah tidak mukasyafah. Karena bagaimanapun juga di antara syari’at Islam orang yang tidak tahu baik buruknya seseorang mukmin (Man Sataro musliman satarohu). Wallahua’lam bisshawab.

Note: *Naskah ini diterjemahkan dari kajian KH Bahaudin Nursalim yang menggunakan bahasa Jawa. Versi aslinya dapat dilihat disini.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik